Jumat, 30 Oktober 2015

Belanda Akan Dengar Klaim Filipina di Laut Sengketa


Belanda Akan Dengar Klaim Filipina di Laut Sengketa Beijing mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai miliknya, tanpa mengindahkan klaim dari Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam. (Reuters/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe)
 
 
Jakarta, CB -- Pengadilan Tetap Arbitrase Belanda memutuskan pada Kamis (29/10) bahwa mereka berkewajiban mendengar klaim teritorial yang diajukan Filipina melawan China di Laut China Selatan.

Manila mengajukan kasus itu pada 2013 demi mendapatkan haknya untuk mengeksploitasi zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, atau sekitar 370k m di Laut China Selatan, seperti yang diizinkan Konvensi PBB untuk Hukum Kelautan, UNCLOS.

Dilansir dari Reuters pada Jumat (30/10), Pengadilan Tetap Arbitrase di kota Den Haag, Belanda itu menolak klaim Beijing perihal kedaulatan teritorial dan mengatakan akan menggelar audiensi tambahan untuk mendengar argumen Filipina.

Sementara itu, China memboikot hasil tersebut dan menolak kewenangan pengadilan dalam kasusnya. Beijing mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai miliknya, tanpa mengindahkan klaim dari Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.


Menurut pengadilan, mereka berwenang untuk mendengarkan tujuh gugatan Manila di bawah UNCLOS. Penolakan China untuk berpartisipasi "tidak menghilangkan yurisdiksi pengadilan."

Menteri Luar Negeri China, Liu Zhenmin, menyatakan pemerintahnya tdak akan berpartisipasi maupun menerima hasil pengadilan.

"Hasil arbitrase ini tidak akan berdampak pada kedaulatan, hak, ataupun yurisdiksi China atas Laut China Selatan di bawah fakta historis dan hukum internasional," kata Liu menerangkan.

"Dari keputusan ini, Anda dapat melihat bahwa tujuan Filipina bukan untuk menyelesaikan sengketa, tetapi menolak hak China di Laut China Selatan dan membenarkan haknya sendiri," ujar Liu.

Sementara, pemerintah Filipina menyambut baik hasil tersebut.

Pengacara Jenderal Florin Hilbay, kepala pengacara Manila untuk kasus itu mengatakan keputusan pengadilan menunjukkan "langkah signifikan bagi usaha Filipina dalam mencari resolusi damai dan imbang untuk perselisihan antarpihak, serta klarifikasi haknya di bawah UNCLOS."

Sementara ahli Laut China Selatan di Pusat Studi Strategis dan Internasional, Washington D.C., menyebutnya "tamparan keras bagi China, mengingat opini tersebut secara eksplisit menolak argumen China bahwa Filipina tidak cukup bernegosiasi tentang isu itu dengan China."

Amerika Serikat, aliansi dekat Filipina yang pekan ini menantang klaim teritorial Beijing dengan berlayar dekat pulau buatan mereka di Laut China Selatan turut menyambut keputusan ini, menurut pejabat senior pertahanan AS.

"Ini menunjukkan isu peradilan berdasarkan hukum dan praktik internasional seperti ini merupakan cara yang layak untuk setidaknya mengelola konflik teritorial bila belum bisa menyelesaikannya," tutur pejabat yang enggan mengungkap identitasnya.

Pejabat AS lainnya mengatakan keputusan ini berhasil memotong klaim China atas 90 persen wilayah Laut China Selatan, atau seluas 3,5 juta kilometer persegi.

Batasan yang kabur itu dipublikasi secara resmi pada peta milik pemerintah nasionalis China tahun 1947, dan telah disertakan pada peta pemerintah komunis.

"Anda tidak bisa mengatakan batasan itu tidak dapat disangkal lagi, karena dengan mengakui yurisdiksi, pengadilan telah menunjukkan bahwa memang ada sengketa," kata pejabat AS tersebut.

"Bagi saya, hasil pengadilan ini menyasar tepat di jantung klaim batasan itu," ujarnya.

Hasil pengadilan tersebut bersifat mengikat, meskipun pengadilan tidak berhak memaksakannya dan tidak diindahkan oleh sejumlah negara.

Klaim yang dipertanyakan

Walau demikian, keputusan ini tetap menyorot China.

"Keputusan hari ini adalah langkah penting dalam menegakkan hukum internasional untuk melawan usaha China, dan menurut saya, klaimnya di Laut China Selatan," kata John McCain, ketua komite layanan bersenjata Senat AS.

Dalam kunjungannya ke Beijing hari Kamis kemarin, kanselir Jerman Angela Merkel menyarankan China agar menyelesaikan urusannya di pengadilan internasional.

China berpendapat Desember lalu bahwa sengketa itu tidak bisa dipersoalkan dengan UNCLOS, sebab itu benar-benar soal kedaulatan, bukan hak eksploitasi.

UNCLOS tidak mengatur ihwal kedaulatan, melainkan sistem teritori dan zona ekonomi yang bisa diklaim berdasarkan fitur-fitur seperti pulau, batuan, atau koral.

Namun menurut pengadilan, karang dan dangkalan di Laut China Selatan tidak terlalu penting sebagai dasar klaim teritori.

Mengenai tujuh gugatan Filipina, salah satunya terkait pelanggaran China atas hak kedaulatan Filipina untuk mengeksploitasi wilayah lautnya, pengadilan menyebut akan menampung penilaian tersebut hingga dapat menentukan arah kasus ini.

Pengadilan belum menetapkan tanggal untuk audiensi berikutnya.

Pengadilan Tetap Arbitrase didirikan di Belanda pada tahun 1899 untuk mendorong resolusi damai bagi percekcokan antarnegara, organisasi, dan pihak swasta. China dan Filipina adalah dua dari 117 negara anggotanya.

Credit  CNN Indonesia