MEDAN - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim mengatakan sedikitnya ada
16 pulau dan gugusannya di Indonesia telah dikuasai asing sejak tahun
2014.
"Fakta ini menunjukkan bahwa praktek privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung. Padahal Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan bahwa kedua praktek ini melawan konstitusi, yakni Pasal 28 dan 33 UUD Tahun 1945," ujar Halim dalam keterangannya yang diterima Okezone, Rabu (7/10/2015).
Pusat Data dan Informasi KIARA, sambungnya, menemukan fakta bahwa 16 pulau yang dikuasai asing dan tidak bisa diakses tanpa izin tersebar di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
"Lima pulau kecil sudah dikelola oleh investor pada tahun 2014 dengan nilai investasi Rp3,074 triliun. Lima pulau akan direalisasikan pada tahun 2015 dan enam pulau dalam penjajakan," tuturnya.
Lebih parah lagi, kata dia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil mengatur bahwa, Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri (Pasal 26 A Ayat 1).
"Ironisnya, juga disebutkan bahwa Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional," tegasnya.
Dia pun menilai logika berpikir para pengambil kebijakan di Indonesia tidak masuk akal. Menyandingkan penanaman modal asing dengan kepentingan nasional adalah bentuk kesesatan berpikir.
"Sebaliknya, kepentingan nasional akan dikebiri atas nama investasi. Dalam konteks inilah, Menteri Kelautan dan Perikanan harus mengajukan upaya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di dalam Prolegnas 2016," sambungnya.
Halim pun membeberkan hal itu, di dalam Nota Keuangan APBN 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan anggaran sebesar Rp6.726,0 miliar. Salah satu program kerja yang ingin dijalankan pada tahun 2015, adalah program pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Lalu, pengelolaan pulau kecil juga tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Menindaklanjuti mandat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mendaftar sekitar 100-300 pulau potensial dan ditawarkan kepada investor.
Dan pada tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp5 triliun atau sebesar Rp15.801,2 triliun.
"Salah satu program prioritasnya adalah pengembangan ekonomi di pulau-pulau kecil terluar. Indikator kinerja yang dipatok adalah jumlah pulau-pulau kecil terluar yang difasilitasi pengembangan ekonominya sebanyak 25 pulau," tutur Halim.
Munculnya Pasal 26A, kata dia, mempermudah penguasaan asing atas pulau-pulau kecil. Pasal 26A mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecilm, dan perairan di sekitarnya dalam skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri.
"Fakta ini menunjukkan bahwa praktek privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung. Padahal Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan bahwa kedua praktek ini melawan konstitusi, yakni Pasal 28 dan 33 UUD Tahun 1945," ujar Halim dalam keterangannya yang diterima Okezone, Rabu (7/10/2015).
Pusat Data dan Informasi KIARA, sambungnya, menemukan fakta bahwa 16 pulau yang dikuasai asing dan tidak bisa diakses tanpa izin tersebar di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
"Lima pulau kecil sudah dikelola oleh investor pada tahun 2014 dengan nilai investasi Rp3,074 triliun. Lima pulau akan direalisasikan pada tahun 2015 dan enam pulau dalam penjajakan," tuturnya.
Lebih parah lagi, kata dia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil mengatur bahwa, Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri (Pasal 26 A Ayat 1).
"Ironisnya, juga disebutkan bahwa Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional," tegasnya.
Dia pun menilai logika berpikir para pengambil kebijakan di Indonesia tidak masuk akal. Menyandingkan penanaman modal asing dengan kepentingan nasional adalah bentuk kesesatan berpikir.
"Sebaliknya, kepentingan nasional akan dikebiri atas nama investasi. Dalam konteks inilah, Menteri Kelautan dan Perikanan harus mengajukan upaya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di dalam Prolegnas 2016," sambungnya.
Halim pun membeberkan hal itu, di dalam Nota Keuangan APBN 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan anggaran sebesar Rp6.726,0 miliar. Salah satu program kerja yang ingin dijalankan pada tahun 2015, adalah program pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Lalu, pengelolaan pulau kecil juga tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Menindaklanjuti mandat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mendaftar sekitar 100-300 pulau potensial dan ditawarkan kepada investor.
Dan pada tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp5 triliun atau sebesar Rp15.801,2 triliun.
"Salah satu program prioritasnya adalah pengembangan ekonomi di pulau-pulau kecil terluar. Indikator kinerja yang dipatok adalah jumlah pulau-pulau kecil terluar yang difasilitasi pengembangan ekonominya sebanyak 25 pulau," tutur Halim.
Munculnya Pasal 26A, kata dia, mempermudah penguasaan asing atas pulau-pulau kecil. Pasal 26A mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecilm, dan perairan di sekitarnya dalam skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri.
Credit Okezone