DUBAI
- Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, menuduh Rusia dan
Angkatan Udara pemerintah Suriah melanggar penghentian permusuhan di
Suriah. Ia pun mengatakan, Riyadh akan membahas masalah tersebut dengan
kekuatan internasional.
Hal itu diungkapkan Juberi saat menggelar konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Denmark Kristian Jensen di Riyadh seperti dikutip dari laman Reuters, Senin (29/2/2016).
Jubeir mengatakan, bahwa adanya rencana cadangan atau Plan B menjadi jelas dibutuhkan, karena pemerintah Presiden Suriah, Bashar al-Assad, dan sekutunya tidak serius melakukan gencatan senjata. Namun, Jubeir tidak memberikan rincian rencana cadangan tersebut.
"Saya percaya, mematuhi gencatan senjata akan menjadi indikator penting dari keseriusan untuk mencapai solusi damai terhadap krisis Suriah yang akan mencakup pengaturan otoritas transisi dan transfer kekuasaan dari Bashar ke dewan ini," kata Jubeir.
Dalam kesempatan itu, Juberi kembali menegaskan jika Bashar al-Assad tidak akan mempunyai masa depan di pemerintahan Suriah. "Tidak ada tempat untuk Bashar di Suriah," tegasnya.
Hal itu diungkapkan Juberi saat menggelar konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Denmark Kristian Jensen di Riyadh seperti dikutip dari laman Reuters, Senin (29/2/2016).
Jubeir mengatakan, bahwa adanya rencana cadangan atau Plan B menjadi jelas dibutuhkan, karena pemerintah Presiden Suriah, Bashar al-Assad, dan sekutunya tidak serius melakukan gencatan senjata. Namun, Jubeir tidak memberikan rincian rencana cadangan tersebut.
"Saya percaya, mematuhi gencatan senjata akan menjadi indikator penting dari keseriusan untuk mencapai solusi damai terhadap krisis Suriah yang akan mencakup pengaturan otoritas transisi dan transfer kekuasaan dari Bashar ke dewan ini," kata Jubeir.
Dalam kesempatan itu, Juberi kembali menegaskan jika Bashar al-Assad tidak akan mempunyai masa depan di pemerintahan Suriah. "Tidak ada tempat untuk Bashar di Suriah," tegasnya.
Credit Sindonews
Menlu Saudi Tuduh Rusia dan Suriah Langgar Gencatan Senjata
Reruntuhan bangunan di wilayah selatan
kota Bosra al-Sham, Deraa, yang dikuasai oleh kelompok pemberontak
Suriah, pada 23 Februari 2016, beberapa hari menjelang gencatan senjata
dimulai. (Reuters/Alaa Al-Faqir)
Berbicara dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Denmark Kristian Jensen di Riyadh pada Minggu (28/2), Jubeir menyatakan Riyadh tengah mendiskusikan masalah ini dengan sejumlah kekuatan besar dunia.
Jubeir mengungkapkan bahwa akan ada "rencana B" jika militer Presiden Suriah Bashar al-Assad dan sekutunya tidak mengimplementasikan gencatan senjata ini dengan serius. Meski demikian, Jubeir tidak merinci rencana B yang dimaksud.
"Tidak ada tempat untuk Bashar di Suriah," ujarnya melanjutkan.
Sebelumnya, CNN melaporkan bahwa kelompok pemantau Syrian Observatory for Human Rights menyatakan serangan udara itu terjadi di wilayah Aleppo, wilayah di selatan Suriah, yang berdekatan dengan Raqqa—yang diklaim sebagai ibu kota ISIS. Namun dalam laporan itu tidak disebutkan dengan jelas siapa yang melakukan serangan udara.
Sementara, kelompok oposisi utama, Komite Negosiasi Tinggi, mengatakan bahwa 97 faksi mereka sepakat untuk menghormati gencatan senjata selama dua minggu. Namun mereka memperingati Rusia dan Suriah untuk tidak menargetkan mereka dengan dalih menyerang teroris.
Rusia tuduh pemberontak
Sementara, RT News melaporkan bahwa pihak Rusia memonitor adanya sembilan pelanggaran gencatan senjata di Suriah selama 24 jam terakhir. Sejumlah gencatan senjata dikaitkan dengan kelompok pemberontak.
Sebanyak 17 kelompok pemberontak "moderat" dan para pemimpin daerah dari 35 kota dan desa berjanji akan mengawasi jalannya pelanggaran gencatan senjata. Mereka juga berjanji akan mengusir siapa pun yang tidak mau menegakkan kesepakatan gencatan senjata, menurut Pusat Rekonsiliasi Rusia.
"Sembilan pelanggaran terhadap masa penghentian kekerasan tercatat kemarin, termasuk sejumlah serangan dari kota Kabana di Provinsi Latakia," ujar Letjen Sergei Kuralenko, Kepala Pusat Rekonsiliasi Rusia kepada kantor berita Interfax pada Minggu.
RT News menyebutkan bahwa enam dari sembilan pelanggaran tercatat dari tembakan yang berasal dari daerah pinggiran kota Damaskus yang dikendalikan oleh salah satu kelompok pemberontak moderat yang terdaftar oleh pihak Amerika, menurut laporan tersebut.
Pusat Rekonsiliasi Rusia juga melaporkan bahwa di provinsi Raqqa, sekitar 100 militan menyeberang ke Suriah dari Turki. Kelompok ini kemudian bergabung dengan militan lain dan menyerang kota Tel Abyad, yang mayoritas dihuni etnis Kurdi.
Sementara di provinsi Latakia, pejuang dari kelompok Front al-Nusra, yang tidak termasuk ke dalam kesepakatan gencatan senjata, menembakkan mortir ke arah pasukan milisi lokal, yang kemudian membalas tembakan.
Sejumlah posisi teroris berada di sebuah daerah di bawah kendali kelompok pemberontak moderat, menurut laporan tersebut. Bentrokan itu juga dilaporkan menyebabkan sejumlah orang menjadi korban.
Selain itu, seorang pelaku bunuh diri meledakkan bom mobilnya di ruas jalan yang berjarak 1 km sebelah timur dari kota Hama. Mobil itu datang dari daerah yang dikuasai oleh pemberontak moderat.
Credit CNN Indonesia