RIYADH, SELASA — Sedikitnya 150.000 personel militer dari 20 negara muslim, terutama di kawasan Timur Tengah, yang saat ini tengah terlibat dalam latihan perang besar-besaran bertajuk "Guntur Utara", diyakini bakal semakin meningkatkan kerja sama di antara mereka.
Penegasan itu disampaikan pihak Kerajaan Arab Saudi sebagai tuan rumah, Senin (22/2/2016), yang membuka latihan perang gabungan tersebut sejak 14 Februari dan rencananya akan diakhiri pada 10 Maret mendatang.
Diyakini, latihan perang kali ini digelar seiring terus menguatnya peran serta pengaruh negara "musuh bebuyutan" Iran di kawasan Timur Tengah, terutama pasca pencabutan sanksi embargo terhadap "Negeri Para Mullah" itu oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat.
Sejumlah negara yang ikut terlibat dalam latihan perang itu antara lain negara-negara Teluk Arab, Mesir, Maroko, Pakistan, Banglades, Jordania, Sudan, dan Senegal.
"Dewan para menteri mengharapkan latihan perang ini dapat mencapai apa yang sejak awal ditetapkan menjadi tujuan utama, seperti saling tukar kemampuan dan juga meningkatkan level koordinasi militer di antara negara yang terlibat," ujar pihak kabinet Arab Saudi dalam pernyataan tertulis.
Dalam pernyataan itu juga disampaikan pujian peningkatan kemampuan dan kesiapan administratif serta pasokan logistik negara-negara yang terlibat dalam latihan perang Guntur Utara tersebut.
Arab Saudi yang mayoritas dikuasai kelompok muslim beraliran Sunni saat ini diyakini tengah khawatir dengan semakin menguatnya pengaruh seteru mereka, Iran, yang didominasi aliran Syiah.
Pihak Riyadh juga mengkhawatirkan kondisi itu juga berdampak pada semakin berkurangnya kendali serta pengaruh mereka terutama di kawasan Timur Tengah dan juga terhadap sekutu terkuat mereka, AS.
AS memang tengah mencari sekaligus membangun alternatif persekutuan militer dengan semakin "merapatkan diri" ke Iran.
Perang di Yaman bertujuan memulihkan kembali pemerintahan dukungan Arab Saudi, yang sebelumnya digulingkan oleh kelompok milisi sekutu Iran. Kejadian tersebut semakin menguatkan agresivitas Arab Saudi dalam upayanya menangkal penguatan pengaruh Iran di kawasan.
Arab Saudi juga menyebut akan menambah jumlah pasukan mereka di lapangan jika Washington bersedia memimpin operasi perang darat melawan kekuatan kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) di Suriah.
Sementara itu, surat kabar Arab News pada Minggu kemarin mengutip pernyataan Pangeran Turki Al-Faisal, mantan kepala badan intelijen Arab Saudi, yang juga mantan duta besar untuk sejumlah negara Inggris, Irlandia, dan AS.
Menurut Al-Faisal, Arab Saudi harus tetap menjadi pemimpin dalam memerangi terorisme. Dia juga berpendapat, persekutuan kontra terorisme 34 negara Islam seharusnya bisa didirikan sejak awal.
"Sudah bukan rahasia lagi, mayoritas para korban aksi-aksi terorisme justru dari kalangan warga muslim sendiri. Untuk itulah, sudah menjadi tanggung jawab kita negeri-negeri muslim untuk memainkan peranan utama dalam memerangi penyakit (terorisme) yang selama ini berdampak pada diri kita ini," ujarnya.
Lebih lanjut terkait harapan upaya perbaikan hubungan, Al-Faisal menyatakan, "Bola itu sekarang ada di pihak Iran."
Pihak Kerajaan Arab Saudi, ujarnya, telah menegaskan secara terbuka kalau intervensi yang dilakukan Iran terhadap urusan- urusan Arab Saudi selama ini sama sekali tak bisa diterima.
Credit print.kompas.com