CB, Mogadishu -
Bagi Iman Elman, mengenakan rok di garis depan melawan Al-Shabab
bukanlah suatu pilihan. Namun berkat kerja kerasnya, kini perempuan 24
tahun itu menjadi seorang kapten di angkatan bersenjata Somalia.
Bahkan ia merupakan salah satu wanita yang paling menonjol di Tentara Nasional Somalia (SNA). Tentu hal itu tak didapatkan dengan mudah, melainkan setelah menghadapi berbagai tantangan sejak bergabung dengan militer pada 2011.
Untuk berada di posisi itu, Elman harus mengenyampingkan gender dan mengabaikan komentar diskriminatif yang dialamatkan padanya. Termasuk soal seragam untuk kaum hawa yang seharusnya mengenakan rok bukan celana.
"Banyak orang berpikir bahwa seorang wanita yang mengenakan celana panjang tak dapat diterima dan dianggap tak sopan. Tapi aku ingin berjuang bersama tentara lain, dan mengenakan rok dalam situasi yang tak realistis kurang tepat," kata dia.
Persentase kaum hawa di garis depan Somalia untuk melawan militan di
sana sangat kecil. Hanya ada sekitar 1.500 dari 20.000 pejuang, atau 7,5
persen.
Bahkan lebih sedikit lagi yang mencapai pangkat kapten, yang memimpin pasukan tentara yang mayoritas laki-laki. Sebagian besar terbatas pada peran di balik layar pertempuran, seperti memberikan rasa aman sebagai polisi -- bukan berjuang di medan 'perang'.
Hanya ada sedikit yang cukup berani mengenakan celana -- bertempur di medan perang -- seperti Elman, meskipun tetap mengenakan jilbab.
Perlawanan untuk Militan
Menurut Elman, pola pikir di balik perubahan seragamnya adalah produk sampingan dari pemberontakan Al-Shabab di Somalia. Sejak kemunculannya di awal 2000-an, Al Qaeda yang berafiliasi telah mengobarkan perang terhadap pemerintah federal di Somalia, serta pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika (AU) -- 22.000 anggota pasukan kuat di Somalia yang dikenal sebagai AMISOM -- dan pasukan negara konstituen itu.
Al-Shabab kehilangan kendali kota-kota kunci Somalia setelah serangan AU pada 2011-2012, namun masih menguasai banyak wilayah pedesaan di negara itu. Di daerah yang berada dalam kendalinya, diberlakukan hukum Syariah yang ketat.
Al-Shabab mewajibkan tata cara berpakaian untuk perempuan, mereka harus memakai cadar --atau niqab-- dan hanya menyisakan bagian mata yang dapat dilihat orang lain. Mereka yang dituduh melakukan perzinahan pun akan dikenai hukum rajam.
"Dengan ideologi Al-Shabab, mereka mengubah pola pikir masyarakat dan Anda dapat melihat itu benar-benar mempengaruhi warga lokal, karena sekarang Anda harus berpakaian dengan cara tertentu. Banyak perempuan Somalia saat ini berpakaian tak seperti 25 atau 30 tahun yang lalu," kata Elman seperti dikutip dari Newsweek, Senin (29/2/2016).
"Somalia adalah negara yang dihuni mayoritas Muslim, diperkirakan ada 99,8 persen umat Islam di sana. Sebagian besar adalah Sunni sebelum munculnya Al-Shabab -- agar sesuai dengan perintah kelompok militan. Perempuan Somalia saat ini begitu tertindas."
"Wanita tradisional Somalia dulunya mengenakan pakaian longgar yang disebut guntiino, dikombinasikan dengan hiasan kepala. Sekarang mereka semua harus memakai niqab, terutama di daerah yang dikuasai pemberontak."
Perjuangan Elman
Perjalanan Elman untuk mencapai posisinya saat ini bukanlah hal mudah. Perempuan kelahiran Mogadishu ini harus keluar dari Somalia bersama saudara-saudaranya, Ilwad dan Almas serta sang ibu, Fartuun Adan ke Ottawa, Kanada.
Saat itu usianya masih 2 tahun, dan terpaksa melarikan diri karena pecah perang di bawah pemerintahan Siad Barre pada 1991.
Ayahnya, Elman Ali Ahmed, adalah seorang pengusaha elektronik Somalia yang tinggal di Somalia dan menjadi aktivis perdamaian, mencegah anak-anak terlantar atau yatim piatu karena perang agar tak menjadi tentara anak. Dia dikenal sebagai simbol perdamaian di sana.
Pria yang terkenal dengan slogan "Put down the gun, pick up the pen" itu juga mendirikan sebuah klub sepak bola, Elman FC, pada tahun 1993. Klub untuk anak-anak jalanan itu bahkan memenangkan sejumlah gelar di Liga Somalia.
"Dia dibunuh pada tahun 1996, mungkin oleh panglima perang yang jengkel oleh aktivitasnya. Meskipun identitas pembunuhnya belum pernah diketahui hingga saat ini," ucap Elman.
Setelah kembali ke Somalia pada tahun 2007, sang ibu, Fartuun meneruskan langkah suaminya dengan mendirikan kembali Elman Peace and Human Rights Center, di mana ia berjuang bersama putranya, Ilwad.
Lembaga itu awalnya didirikan oleh suami sekaligus ayah Elman pada tahun 1993, bekerja sama dengan orang-orang muda korban perang. Setelah kembali pada awal 2010, Elman melihat bagaimana Al-Shabab membuat Somalia membara.
Kelompok itu melancarkan serangan besar-besaran di Mogadishu pada pertengahan 2009, mengambil kendali banyak kota, sementara anggota garis keras dari kelompok itu membawa dan mencambuk perempuan di depan publik karena memakai bra -- yang mereka klaim melanggar ajaran Islam.
Termotivasi oleh penderitaan rakyat Somalia saat itu, Elman mencari cara untuk menolong dengan jalan berbeda dari kakak dan ibunya. Ia memutuskan bergabung dengan militer.
"Orang-orang tak percaya aku memutuskan 'memilih pistol' -- berperang," tutur Elman. "(Tapi) kami masih berjuang untuk tujuan yang sama, untuk perdamaian bagi rakyat Somalia."
"Aku seorang aktivis yang kuat, bekerja keras untuk melindungi hak-hak perempuan, dan aku merasa bisa menjadi panutan dan berada di garis depan dengan bergabung di militer."
Meski sisa keluarganya khawatir akan keselamatannya, Elman mengatakan mereka mengagumi jalan yang telah dipilihnya. "Mereka bangga denganku yang telah membuat perbedaan," ucapnya.
Elman berharap dalam waktu 5 tahun bisa pindah ke bagian kebijakan militer dan terlibat aktif untuk merekrut lebih banyak perempuan untuk bergabung dengannya. Dia juga ingin berfungsi sebagai mentor bagi perempuan muda yang tertarik untuk bergabung militer, sesuatu yang tak pernah dilakukannya."
"Aku tahu aku sudah menjadi inspirasi bagi kaum perempuan dan laki-laki, tapi aku ingin melihat lebih banyak perempuan yang memiliki wewenang juga memberikan bimbingan kepada anak perempuan lainnya dengan menjadi mentor," tegas Elman.
"Itu sebabnya aku selalu mencoba untuk memprioritaskan gadis-gadis muda yang datang bertanya kepadaku. Kita perlu membangun jembatan untuk mendukung kaum perempuan."
Bahkan ia merupakan salah satu wanita yang paling menonjol di Tentara Nasional Somalia (SNA). Tentu hal itu tak didapatkan dengan mudah, melainkan setelah menghadapi berbagai tantangan sejak bergabung dengan militer pada 2011.
Untuk berada di posisi itu, Elman harus mengenyampingkan gender dan mengabaikan komentar diskriminatif yang dialamatkan padanya. Termasuk soal seragam untuk kaum hawa yang seharusnya mengenakan rok bukan celana.
"Banyak orang berpikir bahwa seorang wanita yang mengenakan celana panjang tak dapat diterima dan dianggap tak sopan. Tapi aku ingin berjuang bersama tentara lain, dan mengenakan rok dalam situasi yang tak realistis kurang tepat," kata dia.
Bahkan lebih sedikit lagi yang mencapai pangkat kapten, yang memimpin pasukan tentara yang mayoritas laki-laki. Sebagian besar terbatas pada peran di balik layar pertempuran, seperti memberikan rasa aman sebagai polisi -- bukan berjuang di medan 'perang'.
Hanya ada sedikit yang cukup berani mengenakan celana -- bertempur di medan perang -- seperti Elman, meskipun tetap mengenakan jilbab.
Perlawanan untuk Militan
Menurut Elman, pola pikir di balik perubahan seragamnya adalah produk sampingan dari pemberontakan Al-Shabab di Somalia. Sejak kemunculannya di awal 2000-an, Al Qaeda yang berafiliasi telah mengobarkan perang terhadap pemerintah federal di Somalia, serta pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika (AU) -- 22.000 anggota pasukan kuat di Somalia yang dikenal sebagai AMISOM -- dan pasukan negara konstituen itu.
Al-Shabab kehilangan kendali kota-kota kunci Somalia setelah serangan AU pada 2011-2012, namun masih menguasai banyak wilayah pedesaan di negara itu. Di daerah yang berada dalam kendalinya, diberlakukan hukum Syariah yang ketat.
Al-Shabab mewajibkan tata cara berpakaian untuk perempuan, mereka harus memakai cadar --atau niqab-- dan hanya menyisakan bagian mata yang dapat dilihat orang lain. Mereka yang dituduh melakukan perzinahan pun akan dikenai hukum rajam.
"Dengan ideologi Al-Shabab, mereka mengubah pola pikir masyarakat dan Anda dapat melihat itu benar-benar mempengaruhi warga lokal, karena sekarang Anda harus berpakaian dengan cara tertentu. Banyak perempuan Somalia saat ini berpakaian tak seperti 25 atau 30 tahun yang lalu," kata Elman seperti dikutip dari Newsweek, Senin (29/2/2016).
"Somalia adalah negara yang dihuni mayoritas Muslim, diperkirakan ada 99,8 persen umat Islam di sana. Sebagian besar adalah Sunni sebelum munculnya Al-Shabab -- agar sesuai dengan perintah kelompok militan. Perempuan Somalia saat ini begitu tertindas."
"Wanita tradisional Somalia dulunya mengenakan pakaian longgar yang disebut guntiino, dikombinasikan dengan hiasan kepala. Sekarang mereka semua harus memakai niqab, terutama di daerah yang dikuasai pemberontak."
Perjuangan Elman
Perjalanan Elman untuk mencapai posisinya saat ini bukanlah hal mudah. Perempuan kelahiran Mogadishu ini harus keluar dari Somalia bersama saudara-saudaranya, Ilwad dan Almas serta sang ibu, Fartuun Adan ke Ottawa, Kanada.
Saat itu usianya masih 2 tahun, dan terpaksa melarikan diri karena pecah perang di bawah pemerintahan Siad Barre pada 1991.
Ayahnya, Elman Ali Ahmed, adalah seorang pengusaha elektronik Somalia yang tinggal di Somalia dan menjadi aktivis perdamaian, mencegah anak-anak terlantar atau yatim piatu karena perang agar tak menjadi tentara anak. Dia dikenal sebagai simbol perdamaian di sana.
Pria yang terkenal dengan slogan "Put down the gun, pick up the pen" itu juga mendirikan sebuah klub sepak bola, Elman FC, pada tahun 1993. Klub untuk anak-anak jalanan itu bahkan memenangkan sejumlah gelar di Liga Somalia.
"Dia dibunuh pada tahun 1996, mungkin oleh panglima perang yang jengkel oleh aktivitasnya. Meskipun identitas pembunuhnya belum pernah diketahui hingga saat ini," ucap Elman.
Setelah kembali ke Somalia pada tahun 2007, sang ibu, Fartuun meneruskan langkah suaminya dengan mendirikan kembali Elman Peace and Human Rights Center, di mana ia berjuang bersama putranya, Ilwad.
Lembaga itu awalnya didirikan oleh suami sekaligus ayah Elman pada tahun 1993, bekerja sama dengan orang-orang muda korban perang. Setelah kembali pada awal 2010, Elman melihat bagaimana Al-Shabab membuat Somalia membara.
Kelompok itu melancarkan serangan besar-besaran di Mogadishu pada pertengahan 2009, mengambil kendali banyak kota, sementara anggota garis keras dari kelompok itu membawa dan mencambuk perempuan di depan publik karena memakai bra -- yang mereka klaim melanggar ajaran Islam.
Termotivasi oleh penderitaan rakyat Somalia saat itu, Elman mencari cara untuk menolong dengan jalan berbeda dari kakak dan ibunya. Ia memutuskan bergabung dengan militer.
"Orang-orang tak percaya aku memutuskan 'memilih pistol' -- berperang," tutur Elman. "(Tapi) kami masih berjuang untuk tujuan yang sama, untuk perdamaian bagi rakyat Somalia."
"Aku seorang aktivis yang kuat, bekerja keras untuk melindungi hak-hak perempuan, dan aku merasa bisa menjadi panutan dan berada di garis depan dengan bergabung di militer."
Meski sisa keluarganya khawatir akan keselamatannya, Elman mengatakan mereka mengagumi jalan yang telah dipilihnya. "Mereka bangga denganku yang telah membuat perbedaan," ucapnya.
Elman berharap dalam waktu 5 tahun bisa pindah ke bagian kebijakan militer dan terlibat aktif untuk merekrut lebih banyak perempuan untuk bergabung dengannya. Dia juga ingin berfungsi sebagai mentor bagi perempuan muda yang tertarik untuk bergabung militer, sesuatu yang tak pernah dilakukannya."
"Aku tahu aku sudah menjadi inspirasi bagi kaum perempuan dan laki-laki, tapi aku ingin melihat lebih banyak perempuan yang memiliki wewenang juga memberikan bimbingan kepada anak perempuan lainnya dengan menjadi mentor," tegas Elman.
"Itu sebabnya aku selalu mencoba untuk memprioritaskan gadis-gadis muda yang datang bertanya kepadaku. Kita perlu membangun jembatan untuk mendukung kaum perempuan."
Credit Liputan6.com