Selasa, 08 September 2015

RI Terus Berupaya Rebut Kembali Ruang Udara yang Dikuasai Singapura


RI Terus Berupaya Rebut Kembali Ruang Udara yang Dikuasai SingapuraIlustrasi (Foto: Rachman Haryanto

Jakarta (CB) - Sejak tahun 1946, Flight Information Region (FIR) di wilayah Kepulauan Riau mencakup Batam, Tanjungpinang, dan Natuna berada dalam kendali Singapura. Jika pesawat hendak melintas di wilayah tersebut, selain harus meminta izin kepada ATC Indonesia, diwajibkan untuk meminta clearance kepada negeri seribu satu larangan tersebut.

"FIR di sana contoh dari Jakarta mau ke Medan lewat situ harus izin ke Singapura. Ada radiusnya," ungkap anggota Wantimpres bidang Pertahanan dan Keamanan Subagyo AS usai menghadiri wisuda pilot NAM Flying School di Pangkalpinang, Bangka Belitung, Jumat (4/9/2015).

Dilansir dari berbagai sumber, luas penguasaan Singapura atas wilayah udara Indonesia mencapai 100 nautical mile. Itu artinya Singapura memegang kendali lalu lintas udara Indonesia sekitar 200 km dari garis batas kedua negara. Kontrol udara Singapura itu bahkan hampir nyaris masuk ke wilayah Pangkalpinang.

"FIR ni sudah ditangani, ada rapat-rapat yang membicarakan gimana jalan terbaiknya untuk kita ambil lagi. semua concern," ucap Subagyo.

Keadaan seperti ini berpotensi dapat mengancam pertahanan. Sebab pesawat militer pun yang ingin mendarat, berangkat, atau hanya sekedar melintas di wilayah tersebut harus mendapat izin Singapura terlebih dahulu. Meski begitu ada informasi sebagian penerbang TNI AU mengabaikan kewenangan Singapura itu. Bahkan KSAU Marsekal Agus Supriatna mengakui dirinya tak pernah meminta izin Singapura jika melintas saat ia masih aktif sebagai penerbang F-16.

Kontrol Singapura akan ruang udara Indonesia itu memungkinan mereka untuk bisa 'mencium' operasi pertahanan Indonesia bahkan sebelum pesawat terbang. Ini tentu saja membahayakan.

Penyebab mengapa Singapura berhasil menguasai ruang udara tersebut adalah karena Indonesia kala itu belum memiliki bandara. Sebenarnya usaha untuk merebut kembali telah dilakukan beberapa kali namun selalu gagal karena ICAO merasa Indonesia belum cukup mampu dan kurang dalam infrastruktur.

Bukan hanya sekedar mengatur lalu lintas udara, mandat ICAO itu juga membuat Singapura berhak memungut fee dari seluruh maskapai yang melintasi FIR, termasuk maskapai negara selain Indonesia. Tarifnya dalam dolar Amerika dan besarnya berbeda-beda tergantung jenis dan kapasitas pesawat. Namun fee itu juga harus dibagi kepada pemerintah pusat Indonesia.

Banyaknya pesawat yang melalui wilayah tersebut, termasuk maskapai Malaysia, bisa membuat fee yang diterima Indonesia sangat besar andai tidak di-share dengan Singapura. Namun penguasaan ruang udara negara oleh negara lain menjadi keprihatinan karena seolah-olah untuk masuk ke rumah sendiri, Indonesia harus izin kepada tetangga.

Pengaturan mengenai kontrol udara Indonesia oleh Singapura sudah diperbaharui beberapa kali sejak 1946. Ini juga merujuk pada perjanjian pendelegasian FIR kepada Singapura pada tahun 1995 dan diperpanjang lagi pada 2013. Itu diatur melalui Keppres No.7/1996.

Pertemuan antara Indonesia dengan Singapura terkait pengembalian FIR wilayah Batam dan Kepri sempat dilakukan. Kesepakatannya adalah sesuai UU No.1 tahun 2009, pengembalian otoritas pengelolaan udara tersebut dikembalikan paling lambat 15 tahun sejak UU itu diberlakukan.

"Harus koordinasi antar instansi yang terkait, termasuk dengan delegasi Singapura untuk permasalahan ini. Kita sangat concern apalagi itu mencakup wilayah perbatasan. Masalah perbatasan diupayakan termasuk dengan disiapkannya drone," jelas purnawirawan TNI itu.

"Wilayah perbatasan laut kita juga masih masalah dengan 10 negara, untuk darat 3 negara dan udara dengan Singapura itu. Kita akan terus upayakan," sambung Subagyo.

Sementara itu Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Suprasetyo saat dikonfirmasi mengenai FIR ini mengatakan pihaknya masih terus berusaha. Selain masalah infrastruktur Indonesia yang belum siap, aturan perjanjian dengan Singapura juga menjadi kendala.

"Kita sedang mempersiapkan, begitu sudah siap akan dibahas di ICAO, karena harus minta persetujuan ke sana. Tapi kita oordinasi terus. Target (pengambilalihan paling lama) kalau sesuai UU masih agak jauh. Kita harus bersatu memang (untuk kembali merebutnya)," tukas Suprasetyo di lokasi yang sama.


Credit  Detiknews