Kamis, 03 September 2015

Australia Waspadai Persaingan di Laut China Selatan

Laut yang sedang disengketakan. (Foto: Reuters)
Laut yang sedang disengketakan. (Foto: Reuters)
NEW DELHI (CB) - Australia waspada terhadap peningkatan persaingan strategis di Laut China Selatan. Pasalnya, risiko kesalahan militer di kawasan itu dapat menimbulkan konsekuensi yang besar.
Agresivitas Beijing di Laut China Selatan baru-baru ini memang memunculkan ketegangan militer dan diplomatik antara pihak-pihak yang bersengketa, termasuk Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia.
Menteri Pertahanan Australia, Kevin Andrews, mengaku bahwa negaranya tidak akan memihak dalam sengketa wilayah di kawasan tetangga. Tapi di sisi lain, dia juga menegaskan bahwa kekhawatiran terbesar Australia terletak pada pembangunan fasilitas militer oleh Tiongkok di wilayah yang status kepemilikannya belum jelas.
"Kami berpendapat bahwa pembangunan landasan militer di atas terumbu karang (yang kepemilikannya masih disengketakan) tidak akan meningkatkan perdamaian dan keamanan di kawasan," kata Andrews, saat mengunjungi India, seperti diberitakan Reuters, Rabu (3/9/2015).
"Bahaya terbesar di wilayah ini adalah kesalahan perhitungan," tambahnya.
Dalam 20 bulan terakhir, China telah mereklamasi wilayah yang luasnya 17 kali lipat lebih besar dibanding yang dilakukan oleh negara-negara lain selama 40 tahun terakhir, demikian data dari Pentagon menunjukkan.
Di satu sisi, Australia adalah sekutu Amerika Serikat--negara yang mendukung Filipina dalam kasus sengketa wilayah di Laut China Selatan. Namun di sisi lain, China juga merupakan rekan dagang terbesar bagi Canberra.
Menurut Andrews, adalah sangat penting bagi Australia untuk mempertahankan hubungan baik di atas.
"Kami belum mengambil sikap mengenai klaim-klaim berseberangan di wilayah Laut Tiongkok Selatan," kata Andrews saat berbicara di Institute for Defence Studies and Analysis di New Delhi.
"Tetapi kami juga menegaskan bahwa persoalan ini harus diselesaikan dengan cara yang damai," tutur Andrews.
Dia menambahkan bahwa pihaknya mendesak agar Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) segera menyetujui sistem berbasis aturan untuk penyelesaian sengketa.
Pada 2030, Australia memperkirakan bahwa kawasan Indo-Pasifik akan menjadi rute perdagangan paling ramai, baik melalui laut maupun udara. Selain itu, dua pertiga pengapalan minyak dunia dan sepertiga kargo besar akan melewati wilayah ini.
"Kami akan terus mempertahankan hak internasional kami untuk melewati --baik dari udara maupun laut-- di Laut China Selatan," kata Andrews.
"Kami ingin terus menjadi sahabat dan rekan dagang besar dengan Tiongkok, sebagaimana dengan negara-negara lain di kawasan yang sama. Tapi kami juga mendesak agar semua negara itu untuk memperjelas niat strategis mereka," kata dia.


Credit  Okezone