PARIS - Awan debu radioaktif terdeteksi melayang di Eropa. Dugaan insiden nuklir Rusia atau di Kazakhstan pun dicurigai.
Munculnya awan radioaktif di Eropa itu dikonfirmasi oleh laporan yang dikeluarkan oleh Institute for Radiological Protection and Nuclear Safety (IRSN).
”Tingkat konsentrasi Rutenium-106 di udara yang telah terdeteksi di Eropa dan terutama di Prancis tidak ada konsekuensinya bagi kesehatan manusia dan lingkungan,” bunyi laporan IRSN.
”Pelepasan tersebut, yang tidak disengaja berkenaan dengan kuantitas yang dikeluarkan, terjadi pada minggu terakhir bulan September 2017,” lanjut laporan tersebut.
Partikel Rutenium-106 merupakan hasil “sampingan” dari proses reaksi nuklir. Awan radioaktif yang terdeteksi sangat lemah.
Laporan tersebut mengatakan bahwa radiasi tersebut diukur pada 100-300 terabecquerels (ukuran untuk menghitung jumlah peluruhan inti per detik).
Sekadar diketahui, bencana nuklir Fukishima tahun 2011 memancarkan sekitar 900.000 terabecquerels. Sedangkan bencana nuklir Chernobyl tahun 1986 memancarkan 5,2 juta terabecquerels.
Kelompok yang berbasis di Prancis tersebut mengatakan bahwa sebuah kecelakaan nuklir skala yang menghasilkan awan radioaktif kemungkinan akan memerlukan evakuasi orang-orang dari radius beberapa kilometer di sekitar lokasi kebocoran.
Awan tersebut berpotensi mengontaminasi area pertanian dengan Ruthenium-106 yang sangat rendah.
”Untuk bahan makanan, kadar maksimum yang diizinkan (1250 Bq/kg untuk Rutenium 106 bagi produk non-susu) akan diamati dari jarak beberapa puluh kilometer di sekitar lokasi pelepasan,” lanjut laporan IRSN.
Tidak ada kecelakaan nuklir yang diakui oleh pihak berwenang Rusia. Tapi ISRN telah melacak awan radioaktif tersebut berasal dari sumber di antara Pegunungan Ural dan sungai Volga. Ini mencakup wilayah antara Rusia dan Kazakhstan.
Munculnya awan radioaktif di Eropa itu dikonfirmasi oleh laporan yang dikeluarkan oleh Institute for Radiological Protection and Nuclear Safety (IRSN).
”Tingkat konsentrasi Rutenium-106 di udara yang telah terdeteksi di Eropa dan terutama di Prancis tidak ada konsekuensinya bagi kesehatan manusia dan lingkungan,” bunyi laporan IRSN.
”Pelepasan tersebut, yang tidak disengaja berkenaan dengan kuantitas yang dikeluarkan, terjadi pada minggu terakhir bulan September 2017,” lanjut laporan tersebut.
Partikel Rutenium-106 merupakan hasil “sampingan” dari proses reaksi nuklir. Awan radioaktif yang terdeteksi sangat lemah.
Laporan tersebut mengatakan bahwa radiasi tersebut diukur pada 100-300 terabecquerels (ukuran untuk menghitung jumlah peluruhan inti per detik).
Sekadar diketahui, bencana nuklir Fukishima tahun 2011 memancarkan sekitar 900.000 terabecquerels. Sedangkan bencana nuklir Chernobyl tahun 1986 memancarkan 5,2 juta terabecquerels.
Kelompok yang berbasis di Prancis tersebut mengatakan bahwa sebuah kecelakaan nuklir skala yang menghasilkan awan radioaktif kemungkinan akan memerlukan evakuasi orang-orang dari radius beberapa kilometer di sekitar lokasi kebocoran.
Awan tersebut berpotensi mengontaminasi area pertanian dengan Ruthenium-106 yang sangat rendah.
”Untuk bahan makanan, kadar maksimum yang diizinkan (1250 Bq/kg untuk Rutenium 106 bagi produk non-susu) akan diamati dari jarak beberapa puluh kilometer di sekitar lokasi pelepasan,” lanjut laporan IRSN.
Tidak ada kecelakaan nuklir yang diakui oleh pihak berwenang Rusia. Tapi ISRN telah melacak awan radioaktif tersebut berasal dari sumber di antara Pegunungan Ural dan sungai Volga. Ini mencakup wilayah antara Rusia dan Kazakhstan.
”Pihak berwenang Rusia mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya kecelakaan (nuklir) di wilayah mereka,” kata Direktur IRSN Jean-Marc Peres kepada Reuters, yang dilansir Sabtu (11/11/2017). Pihak berwenang di Kazakhstan belum berkomentar.
Credit sindonews.com