Kepolisian Papua Nugini memulai operasi untuk
memaksa keluar para pengungsi yang masih berada di kamp milik Australia
di Pulau Manus, Kamis (23/11) sore. (AAP/Refugee Action Coalition/via
Reuters)
Komisioner kepolisian Papua Nugini, Gari Baki, mengatakan bahwa pada awal operasi ini, banyak pengungsi masih menolak pergi karena takut tidak diterima di lingkungan baru mereka.
Menurut Baki, sejumlah pengungsi juga khawatir kamp penampungan sementara mereka nantinya tak memiliki fasilitas yang memadai.
Amnesty International pun menyatakan kekhawatiran ini sangat wajar mengingat selama berada di Kamp Manus saja, sudah banyak warga lokal yang menyerang para pengungsi.
Namun, kepolisian akhirnya berhasil menyeret 50 dari sekitar 320 orang itu keluar dengan mengatakan bahwa keamanan dan fasilitas di kamp sementara sudah terjamin.
"Kami mengupayakan yang terbaik dan para pengungsi tak bisa terus keras kepala. Kami tidak memindahkan mereka ke hutan. Mereka akan dipindahkan ke dua pusat yang memiliki air, listrik, makanan, dan layanan kesehatan," katanya.
Puluhan pengungsi itu pun dibawa ke kamp-kamp penampungan sementara, sembari menunggu Australia mendapatkan negara ketiga yang mau menerima para pencari suaka itu.
"Masih banyak yang harus dikerjakan. Kami berharap, jumlah kedatangan orang yang hingga pagi ini mencapai sekitar 370 orang di pusat penampungan itu, dapat mulai berkurang sekarang," ujar Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton.
Dutton juga mengatakan, pemerintah masih harus mengurus sejumlah imigran yang ditahan karena melakukan protes ketika polisi Papua Nugini memaksa mereka keluar dari Kamp Manus, termasuk seorang jurnalis asal Iran, Behrouz Boochani.
Australia sendiri sebenarnya sudah menutup kamp itu sejak 30 Oktober lalu, setelah Mahkamah Agung Papua Nugini menyatakan pusat detensi itu tak sesuai konstitusi.
Tak lama setelah itu, Australia memutus aliran listrik dan menghentikan pasokan air ke kamp tersebut, kemudian meminta 600 pencari suaka yang ada di sana untuk pindah ke tiga pusat transisi terdekat.
Namun, sekitar 400 pengungsi menolak pergi. Mereka berkeras ingin dibawa ke Australia, sementara Canberra terus menegaskan bahwa mereka akan menempatkan para pengungsi itu di negara ketiga, termasuk Amerika Serikat.
Melalui kesepakatan pada masa pemerintahan Barack Obama, AS bersedia menampung 1.250 pengungsi dan pencari suaka Australia yang kini masih ditampung di kamp-kamp di Nauru dan Papua Nugini.
Sebagai timbal balik, Australia akan menerima pengungsi dari El Salvador, Guatemala, dan Honduras.
Namun hingga kini, baru 54 pengungsi yang terbang ke Washington, sementara ratusan imigran lainnya terperangkap di kamp-kamp di mana banyak pelanggaran HAM terjadi.
Credit cnnindonesia.com
Papua Nugini Tutup Kamp Imigran Milik Australia
Sekitar 400 pengungsi di Kamp Manus, Papua
Nugini, menolak pergi karena takut tak diterima oleh warga di sekitar
pusat penampungan sementara lainnya. (Social Media/Handout via Reuters)
Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton, memastikan adanya operasi tersebut dan mengatakan bahwa Canberra "sangat berharap semua orang keluar dari pusat penampungan Manus."
"Saya pikir, sangat memalukan melihat orang-orang masih di sana. Saya ingin semua orang keluar," ujar Dutton, sebagaimana dikutip AFP.
Operasi ini menjadi sorotan setelah seorang jurnalis asal Iran, Behrouz Boochani, berkicau melalui akun Twitter pribadinya dari dalam kamp.
"Polisi, pasukan khusus, ratusan pasukan polisi, masuk ke kamp penjara dan sekitar penjara. Pasukan angkatan laut sudah bersiaga di luar kamp penjara. Kami dalam waspada tinggi sekarang. Kami diserang," tulis Boochani.
Boochani mengatakan, situasi semakin genting, sementara dua pengungsi terluka dan butuh perawatan medis secepatnya.
Sejumlah pengungsi lain merilis foto melalui jejaring sosial, memperlihatkan polisi masuk ke kamp tersebut.
Seorang aktivis hak asasi manusia dari GetUp, Shen Narayanasamy, mengatakan bahwa dia sudah mendengar laporan kekerasan di luar kamp, meski kepolisian belum mengusir paksa para pencari suaka.
Australia sudah menutup kamp itu sejak 30 Oktober lalu, setelah Mahkamah Agung Papua Nugini menyatakan pusat detensi itu tak sesuai konstitusi.
|
Tak lama setelah itu, Australia memutus aliran listrik dan menghentikan pasokan air ke kamp tersebut, kemudian meminta 600 pencari suaka yang ada di sana untuk pindah ke tiga pusat transisi terdekat.
Namun, sekitar 400 pengungsi menolak pergi. Mereka mengaku takut warga di sekitar pusat transisi itu menolak keberadaan para pengungsi tersebut.
Mereka juga mengatakan, ketiga pusat transisi itu tak sepenuhnya beroperasi karena tak ada aliran air mau pun listrik. Keamanan di kamp tersebut pun dianggap sangat longgar.
|
Nasib para pengungsi ini pun terkatung-katung, sementara Australia tetap berkeras tak mau menampung para pengungsi yang sebenarnya mencari suaka ke negara mereka itu.
Australia terus menegaskan bahwa mereka akan menempatkan para pengungsi itu di negara ketiga, termasuk Amerika Serikat.
Melalui kesepakatan pada masa pemerintahan Barack Obama, AS bersedia menampung 1.250 pengungsi dan pencari suaka Australia yang kini masih ditampung di kamp-kamp di Nauru dan Papua Nugini.
Sebagai timbal balik, Australia akan menerima pengungsi dari El Salvador, Guatemala, dan Honduras.
Namun hingga kini, baru 54 pengungsi yang terbang ke Washington, sementara ratusan imigran lainnya terperangkap di kamp-kamp di mana banyak pelanggaran HAM terjadi.
Asosiasi Medis Australia pun mendesak Canberra untuk mengizinkan dokter masuk ke kamp-kamp tersebut untuk menolong para pengungsi, mengingatkan bahwa "situasi di Manus semakin buruk dan berbahaya."
Credit cnnindonesia.com