Komite tersebut meminta Myanmar merinci informasi terkait kasus kekerasan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh pasukan keamanannya. "Dan untuk memberikan rincian tentang jumlah perempuan dan anak perempuan Rohingya yang telah terbunuh atau telah meninggal karena penyebab non-alami lainnya selama wabah kekerasan terakhir," kata komite dalam sebuah pernyataan, Selasa (28/11).
Salah satu anggota dalam komite tersebut adalah Nahla Haidar. Dia mengatakan, laporan yang diminta kepada Myanmar terkait kasus kejahatan seksual ini akan menjadi laporan luar biasa. "Kami meminta laporan yang luar biasa dari sebuah negara ketika situasi pelanggaran serius, besar, serta sistematis terjadi dan isu-isu ini relevan dengan mandat Komite," ujar Haidar.
Haidar mengaku, pihaknya secara khusus mencari informasi tentang batalion yang melakukan pembantaian dan pemerkosaan terhadap Rohingya. Yakni ketika operasi militer digelar di Rakhine pada 25 Agustus lalu. Dia menilai, batalion tersebut telah memanfaatkan metode penyiksaan dan pemerkosaan sebagai senjata perang yang sistematis.
Di sisi lain, komite, kata dia, juga ingin mengetahui apakah pasukan keamanan Myanmar diberikan instruksi bahwa penyiksaan, kekerasan seksual, dan pengusiran dilarang dilakukan ketika menggelar operasi di Rakhine. Dan bahwa mereka yang bertanggung jawab akan diadili dan dihukum.
Haidar mengatakan, permintaan laporan luar biasa ini bertujuan untuk membantu Myanmar keluar dari krisis dan konflik. Myanmar diberi tenggat waktu enam bulan untuk menyusun dan menyerahkan laporan tersebut. Laporan ini nantinya akan diberikan kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Kekerasan di negara bagian Rakhine telah menyebabkan lebih dari setengah juta etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Amerika Serikat telah menyebut operasi militer Myanmar di Rakhine merupakan pembersihan etnis. Kendati demikian, klaim itu ditolak oleh militer Myanmar.
Credit REPUBLIKA.CO.ID