CB, Solo - Indonesia
akan mempelajari teknologi Reaktor Pendingin Gas Temperatur Tinggi (High
Temperature Gas Cooled Reactor/HTGR) untuk pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) dari Cina sebelum membuatnya sendiri.
"Untuk nuklir, kita mesti belajar dulu. Teknologi HTGR itu sebenarnya dari Jerman, Cina dan Jepang mempelajari dan ternyata Cina sekarang lebih maju, kita belajar sekarang dari mereka," kata Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir usai menandatangani tiga MoU dengan Menteri Riset dan Teknologi Cina Wan Gang dalam Pertemuan Pejabat Tinggi ke-3 Hubungan Antarmasyarakat Indonesia-Cina di Solo, Selasa, 28 November 2017.
Menurut Nasir, kesepakatan yang ingin dibuat adalah kerja sama riset khusus HTGR di mana harapannya akan ada pembangunan laboratorium di Indonesia. "HTGR ini tidak hanya bisa untuk jadi pembangkit listrik saja tapi sumber panasnya itu juga bisa untuk keperluan macam-macam," lanjutnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto kepada Antara mengatakan kerja sama penelitian Reaktor Pendingin Gas Temperatur Tinggi untuk tujuan keamanan dan energi antara Indonesia dan Cina ini akan memperkuat program pengembangan Reaktor Daya Eksperimen (RDE) yang sedang dikerjakan di Puspiptek, Serpong.
"Kebetulan Cina sudah miliki teknologi ini dan sedang membangun yang lebih besar," kata Djarot.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kedua negara memang menginginkan adanya "joint laboratory" di mana kedua belah pihak bisa saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam program HTGR tersebut.
Saat ditanya apakah akan ada pendanaan pembangunan RDE, ia mengatakan belum ada pembicaraan ke arah sana. Belum ada pembicaraan soal harga ataupun kontrak, karena Indonesia sebenarnya tetap terbuka dengan negara lain.
Selain itu, Batan ingin membangun sendiri apa yang memang sudah dikuasai, dan sisi yang baru belum dikuasai akan dipelajari dari negara yang lebih maju. "Tapi kemungkinan mereka ingin lebih ke arah ekspor teknologi," ujar Djarot.
Teknologi HTGR sendiri, menurut Djarot, memiliki masa depan bagus terutama untuk industri smelter, pencairan batubara dan lain sebagainya. Jadi teknologi ini tidak hanya dipergunakan untuk PLTN saja.
"Untuk nuklir, kita mesti belajar dulu. Teknologi HTGR itu sebenarnya dari Jerman, Cina dan Jepang mempelajari dan ternyata Cina sekarang lebih maju, kita belajar sekarang dari mereka," kata Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir usai menandatangani tiga MoU dengan Menteri Riset dan Teknologi Cina Wan Gang dalam Pertemuan Pejabat Tinggi ke-3 Hubungan Antarmasyarakat Indonesia-Cina di Solo, Selasa, 28 November 2017.
Menurut Nasir, kesepakatan yang ingin dibuat adalah kerja sama riset khusus HTGR di mana harapannya akan ada pembangunan laboratorium di Indonesia. "HTGR ini tidak hanya bisa untuk jadi pembangkit listrik saja tapi sumber panasnya itu juga bisa untuk keperluan macam-macam," lanjutnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto kepada Antara mengatakan kerja sama penelitian Reaktor Pendingin Gas Temperatur Tinggi untuk tujuan keamanan dan energi antara Indonesia dan Cina ini akan memperkuat program pengembangan Reaktor Daya Eksperimen (RDE) yang sedang dikerjakan di Puspiptek, Serpong.
"Kebetulan Cina sudah miliki teknologi ini dan sedang membangun yang lebih besar," kata Djarot.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kedua negara memang menginginkan adanya "joint laboratory" di mana kedua belah pihak bisa saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam program HTGR tersebut.
Saat ditanya apakah akan ada pendanaan pembangunan RDE, ia mengatakan belum ada pembicaraan ke arah sana. Belum ada pembicaraan soal harga ataupun kontrak, karena Indonesia sebenarnya tetap terbuka dengan negara lain.
Selain itu, Batan ingin membangun sendiri apa yang memang sudah dikuasai, dan sisi yang baru belum dikuasai akan dipelajari dari negara yang lebih maju. "Tapi kemungkinan mereka ingin lebih ke arah ekspor teknologi," ujar Djarot.
Teknologi HTGR sendiri, menurut Djarot, memiliki masa depan bagus terutama untuk industri smelter, pencairan batubara dan lain sebagainya. Jadi teknologi ini tidak hanya dipergunakan untuk PLTN saja.
Credit TEMPO.CO