Presiden Uhuru Kenyatta (kiri) resmi dilantik sebagai presiden Kenya untuk masa jabatan kedua. (AFP Photo/Tony Karumba)
Kenyatta memenangi pemilihan umum ulang pada 26 Oktober yang diboykot oleh pemimpin oposisi, Raila Odinga, karena dianggap tidak bebas dan adil.
Mahkamah Agung menganulir hasil pemilu pertama pada Agustus lalu karena sejumlah ketidakwajaran.
Musim pemilu lebih panjang memecah belah Kenya yang merupakan sekutu Barat di kawasan labil ini. Selain itu, pesta demokrasi juga menumpulkan pertumbuhan di negara dengan ekonomi terbesar Afrika Timur tersebut.
Pendukung Odinga yang lebih banyak berasal dari kawasan miskin di Kenya, merasa tidak bisa mendapatkan kekuasaan dan dukungan dari para penguasa.
Argumen politik kerap diwarnai masalah etnis, seperti pendukung Odinga yang mengklaim keempat presiden negara tersebut berasal dari satu kelompok tertentu, meski pemerintah secara resmi mengakui 44 kelompok etnis.
Namun, argumen semacam itu tampaknya jauh dari massa yang gembira di acara pelantikan, bersorak-sorai sementara Kenyatta disumpah kemali menjadi presiden dan disambut 21 tembakan peringatan.
"Saya ... bersumpah ... akan selalu dengan tulus dan giat melayani masuarakat Republik Kenya," kata Kenyatta, dengan tangan diletakkan di atas alkitab.
Sebelum ia tiba, band militer berseragam emas dan biru menghibur para kepala negara dari Somalia, Rwanda, Uganda, Sudan Selatan, Ethiopia, Djibouti, Zambia dan negara-negara lainnya saat mereka tiba di stadion tempat upacara pelantikan.
Sebagian besar mengenakan pakaian merah dan kuning dan membawa bendera Kenya, lebih dari 60 ribu pendukung Kenyatta tampak memenuhi bangku-bangku stadion.
Ribuan lainnya menunggu di luar. Sebagian di antara mereka melanggar aturan dan membuat polisi kewalahan dengan menerobos masuk. Para petugas menembakkan gas air mata untuk mengendalikan mereka.
Sementara itu, oposisi yang berencana menggelar pertemuan ibadah di ibu kota di hari yang sama menyatakan ingin mengenang para pendukung Odinga yang tewas dalam konfrontasi dengan pasukan keamanan selama masa pemilu.
Lebih dari 70 orang meregang nyawa dalam kekerasan politis dalam musim pemilu kali ini. Sebagian besar di antara mereka tewas di tangan polisi dan kasus-kasusnya jarang kali diselidiki.
Tim Reuters di lokasi melaporkan area pertemuan itu diblokade oleh tujuh truk yang berisi polisi dengan pakaian anti-huruhara. Dua meriam air disiagakan dan helikopter terbang tepat di atas wilayah tersebut.
olisi mulai menembakkan gas air mata di wilayah permukiman dekat lokasi, dua jam sebelum perkumpulan dimulai. Tampaknya, langkah itu dilakukan untuk mencegah para pendukung oposisi untuk berkumpul.
Credit cnnindonesia.com