Mayoritas dari mereka yang terbunuh adalah warga sipil. Dilansir dari Aljazirah,
Senin (27/11), di provinsi timur Deir Az Zor, diduga pesawat tempur
Rusia menyerang desa al-Shaf'ah di tepi timur Sungai Efrat pada Ahad,
menewaskan sekitar 51 orang.
Empat lainnya tewas dalam serangan di desa al-Darnaj yang mengakibatkan meningkatnya jumlah korban tewas di provinsi tersebut menjadi 55 orang. Provinsi Deir Az Zor adalah salah satu dari negara-negara Suriah terakhir yang berada di bawah kendali negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Sementara itu, di Ghouta Timur, sebuah distrik di luar ibu kota Damaskus, setidaknya 25 orang tewas. Serangan ini diduga dilakukan oleh pemerintah Rusia dan Suriah yang menembak di beberapa wilayah yang dikuasai oposisi pada Ahad.
Serangan tersebut menargetkan pasar lokal di lingkungan perumahan Misraba, di mana 16 orang terbunuh. Sedikitnya sembilan lainnya tewas dalam baku tembak di lingkungan Medyara dan Douma.
Ghouta Timur secara konsisten ditargetkan meskipun terdaftar sebagai "zona de-eskalasi", di mana aktivitas militer dilarang berdasarkan sebuah kesepakatan yang disahkan oleh Turki, Rusia dan Iran, yang ditandatangani pada September.
Namun karena lokasinya yang strategis di dekat ibu kota, di mana pemerintahan Presiden Bashar al-Assad berada, serangan di wilayah tersebut belum dihentikan, melanggar kesepakatan yang ada.
Kepala Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah, Fadel Abdul Ghanymengatakan Ghouta Timur merupakan target utama pemerintah Suriah sekarang.
"Rezim tidak tertarik untuk mengalami de-eskalasi, setelah mereka merebut kembali Aleppo, mereka pergi ke Deir Az Zor, dan sekarang Ghouta. Ini adalah target utama mereka sekarang," kata Abdul Ghany.
Menurut pusat medis dan pekerja pertahanan sipil, sejak pelaksanaan kesepakatan tersebut, setidaknya 250 orang telah tewas dalam dugaan serangan udara pemerintah Rusia dan Suriah di distrik tersebut.
Oposisi bersenjata di Ghouta Timur telah berhasil mempertahankan pasukan pemerintah Suriah selama perang. Pada gilirannya, pemerintah telah memberlakukan pengepungan di wilayah tersebut untuk menekan oposisi bersenjata, yang menyebabkan krisis kemanusiaan.
Di bawah kesepakatan "zona de-eskalasi", kelompok oposisi dan pasukan pemerintah diharuskan menghentikan permusuhan, termasuk serangan udara, untuk jangka waktu enam bulan, demi melindungi warga sipil yang tinggal di wilayah tersebut.
Lebih dari 2,5 juta orang diyakini tinggal di zona tersebut, termasuk Ghinka, dan provinsi-provinsi di Idlib, Homs, Latakia, Aleppo dan Hama.
Empat lainnya tewas dalam serangan di desa al-Darnaj yang mengakibatkan meningkatnya jumlah korban tewas di provinsi tersebut menjadi 55 orang. Provinsi Deir Az Zor adalah salah satu dari negara-negara Suriah terakhir yang berada di bawah kendali negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Sementara itu, di Ghouta Timur, sebuah distrik di luar ibu kota Damaskus, setidaknya 25 orang tewas. Serangan ini diduga dilakukan oleh pemerintah Rusia dan Suriah yang menembak di beberapa wilayah yang dikuasai oposisi pada Ahad.
Serangan tersebut menargetkan pasar lokal di lingkungan perumahan Misraba, di mana 16 orang terbunuh. Sedikitnya sembilan lainnya tewas dalam baku tembak di lingkungan Medyara dan Douma.
Ghouta Timur secara konsisten ditargetkan meskipun terdaftar sebagai "zona de-eskalasi", di mana aktivitas militer dilarang berdasarkan sebuah kesepakatan yang disahkan oleh Turki, Rusia dan Iran, yang ditandatangani pada September.
Namun karena lokasinya yang strategis di dekat ibu kota, di mana pemerintahan Presiden Bashar al-Assad berada, serangan di wilayah tersebut belum dihentikan, melanggar kesepakatan yang ada.
Kepala Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah, Fadel Abdul Ghanymengatakan Ghouta Timur merupakan target utama pemerintah Suriah sekarang.
"Rezim tidak tertarik untuk mengalami de-eskalasi, setelah mereka merebut kembali Aleppo, mereka pergi ke Deir Az Zor, dan sekarang Ghouta. Ini adalah target utama mereka sekarang," kata Abdul Ghany.
Menurut pusat medis dan pekerja pertahanan sipil, sejak pelaksanaan kesepakatan tersebut, setidaknya 250 orang telah tewas dalam dugaan serangan udara pemerintah Rusia dan Suriah di distrik tersebut.
Oposisi bersenjata di Ghouta Timur telah berhasil mempertahankan pasukan pemerintah Suriah selama perang. Pada gilirannya, pemerintah telah memberlakukan pengepungan di wilayah tersebut untuk menekan oposisi bersenjata, yang menyebabkan krisis kemanusiaan.
Di bawah kesepakatan "zona de-eskalasi", kelompok oposisi dan pasukan pemerintah diharuskan menghentikan permusuhan, termasuk serangan udara, untuk jangka waktu enam bulan, demi melindungi warga sipil yang tinggal di wilayah tersebut.
Lebih dari 2,5 juta orang diyakini tinggal di zona tersebut, termasuk Ghinka, dan provinsi-provinsi di Idlib, Homs, Latakia, Aleppo dan Hama.
Credit REPUBLIKA.CO.ID
Serangan Udara Rusia ke Suriah, 53 Warga Sipil Tewas
Serangan yang dilancarkan pada Ahad (26/11) pagi waktu setempat itu masuk dalam provinsi Deir Al Zour, yang merupakan basis terakhir kelompok ISIS. Sebelumnya Rusia telah mengkonfirmasi bahwa pasukannya melakukan serangan udara ke wilayah tersebut, namun pihaknya mengaku menyerang militan dan kubu mereka.
Awalnya SOHR mengatakan korban tewas berjumlah 34 orang. Namun kepala kelompok pemantau tersebut mengatakan kepada AFP bahwa jumlah tersebut diyakini telah meningkat. "Korban meningkat setelah dilakukan evakuasi menyingkirkan puing-puing bangunan dalam operasi penyelamatan yang telah berlangsung lama," kata kepala SOHR Rami Abdel Rahman, dikutip BBC, Senin (27/11).
Rusia adalah sekutu penting Presiden Bashar Assad dalam perang saudara di Suriah yang telah berlangsung lama itu. Perundingan damai yang didukung PBB diperkirakan akan dilanjutkan di Jenewa pekan depan. Namun beberapa perundingan sebelumnya gagal.
Credit REPUBLIKA.CO.ID