"Anda pernah berkata, 'Hidup adalah sebuah perjalanan. Saat kita berhenti, semuanya tidak berjalan dengan baik.' Dalam kunjungan pertemanan dan perdamaian ini, dengan senang hati kami meminta Anda tidak berhenti menggunakan kata 'Rohingya' dalam kunjungan itu, yang menunjukkan identitas masyarakat yang telah berusaha dimusnahkan oleh rezim militer dan pemerintahan Aung San Suu Kyi selama beberapa dekade," tulis Rafique, dikutip Anadolu.
Rafique menyayangkan pemerintah Myanmar telah menyarankan Paus untuk tidak menggunakan istilah 'Rohingya' selama kunjungannya ke negara itu. "Dan mereka mengatakan hal itu dapat mempengaruhi masyarakat, terutama masyarakat minoritas Kristen," jelasnya.
Rafique menjelaskan, selama ini Rohingya telah dilucuti kewarganegaraannya, ditolak HAM dasarnya, seperti kebebasan beragama, berkebangsaan. Mereka juga kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan.
Ia menggunakan istilah yang diadopsi oleh PBB untuk menggambarkan operasi militer yang diluncurkan pada Agustus lalu di Negara Bagian Rakhine. Menurut PBB, krisis Rohingya adalah 'contoh buku teks dari pembersihan etnis" dan 'genosida'.
Menurutnya, tidak pernah ada aksi genosida skala besar di zaman modern, seperti yang tengah terjadi terhadap Rohingya. Ia juga menuduh para pemimpin dunia telah menutup mata akan krisis ini.
"Kami tidak memiliki pilihan selain berharap dan mempercayai individu seperti Anda yang berani menentang kekejaman dan membela hak asasi manusia. Kami, Rohingya, berharap agar perjalanan Anda membawa cinta dan kedamaian dan menambahkan suara untuk menentang penindasan," tulisnya kepada paus.
Selama tindakan keras tersebut, pasukan keamanan dan masyarakat Buddha telah membunuh pria, wanita, dan anak-anak, serta menjarah rumah dan membakar desa Rohingya. Hal ini didasarkan pada laporan para pengungsi.
Pada September lalu, Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali mengatakan sekitar 3.000 warga Rohingya tewas dalam operasi tersebut. Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Rohingya telah digambarkan oleh PBB sebagai minoritas yang paling teraniaya di dunia. Mereka telah menghadapi ketakutan atas serangan sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
Credit REPUBLIKA.CO.ID
Kepada Paus, panglima militer katakan "tak ada diskriminasi agama" di Myanmar
Yangon, Myanmar (CB) - Panglima militer Myanmar Min Aung
Hlaing menyatakan dia memberi tahu Paus Fransiskus bahwa "tidak ada
diskriminasi agama" di negaranya setelah mereka melakukan pertemuan pada
Senin malam (27/11) di tengah eksodus kelompok minoritas muslim
Rohingya.
"Sama sekali tidak ada diskriminasi agama di Myanmar," katanya di Facebook. "Begitu juga militer kita… bekerja untuk perdamaian dan stabilitas negara."
Kantor Min Aung Hlaing menyatakan jenderal senior itu menyambut Paus dalam pertemuan 15 menit di Yangon dan memberi tahu Paus bahwa tidak ada "diskriminasi antara kelompok-kelompok etnis di Myanmar". Rohingya tidak diakui sebagai kelompok etnis resmi di negara itu.
Tatmadaw, demikian tentara Myanmar dikenal, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson melakukan pembersihan etnis karena melakukan operasi yang mendorong 620 ribu warga Rohingya dari wilayah barat Myanmar mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus.
Myanmar membantah melakukan kesalahan meski para pengungsi memberikan kesaksian mengenai maraknya kasus pemerkosaan, pembunuhan dan aksi pembakaran oleh militer.
Rohingya, yang secara efektif tidak memiliki kewarganegaraan, dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah Myanmar, yang menganggap mereka sebagai imigran ilegal "Bengali".
Pekan lalu Amnesty International menyebut Negara Bagian Rakhine sebagai "tempat kejahatan", menggambarkan pembatasan-pembatasan terhadap Rohingya serupa dengan "apartheid", demikian siaran kantor berita AFP.
"Sama sekali tidak ada diskriminasi agama di Myanmar," katanya di Facebook. "Begitu juga militer kita… bekerja untuk perdamaian dan stabilitas negara."
Kantor Min Aung Hlaing menyatakan jenderal senior itu menyambut Paus dalam pertemuan 15 menit di Yangon dan memberi tahu Paus bahwa tidak ada "diskriminasi antara kelompok-kelompok etnis di Myanmar". Rohingya tidak diakui sebagai kelompok etnis resmi di negara itu.
Tatmadaw, demikian tentara Myanmar dikenal, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson melakukan pembersihan etnis karena melakukan operasi yang mendorong 620 ribu warga Rohingya dari wilayah barat Myanmar mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus.
Myanmar membantah melakukan kesalahan meski para pengungsi memberikan kesaksian mengenai maraknya kasus pemerkosaan, pembunuhan dan aksi pembakaran oleh militer.
Rohingya, yang secara efektif tidak memiliki kewarganegaraan, dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah Myanmar, yang menganggap mereka sebagai imigran ilegal "Bengali".
Pekan lalu Amnesty International menyebut Negara Bagian Rakhine sebagai "tempat kejahatan", menggambarkan pembatasan-pembatasan terhadap Rohingya serupa dengan "apartheid", demikian siaran kantor berita AFP.
Credit antaranews.com
Paus tak Sebut Rohingya Saat Berpidato di Myanmar
Dilansir di BBC, Selasa (28/11), Kelompok hak asasi telah mendesak Paus untuk menggunakan istilah tersebut sebagai bentuk dukungan. Namun, Gereja Katolik di negara tersebut telah memberitahu Paus istilah tersebut dapat menyebabkan kesulitan bagi umat Katolik di Myanmar.
Myanmar telah dituduh melakukan pembersihan etnis, dengan 620 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus. Pemerintah Myanmar menolak istilah Rohingya. Mereka menyebut Rohingya orang Bengali yang bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh sehingga tidak terdaftar sebagai salah satu kelompok etnis di negara tersebut.
Meskipun pidato Paus tidak mengacu langsung pada Rohingya, namun apa yang ia sampaikan adalah bentuk pembelaan yang kuat terhadap hak-hak etnik.
"Masa depan Myanmar harus damai, damai berdasarkan penghormatan terhadap martabat dan hak setiap anggota masyarakat, menghormati setiap kelompok etnis dan identitasnya, menghormati peraturan undang-undang, dan menghormati tatanan demokrasi. yang memungkinkan setiap individu dan setiap kelompok - tidak ada yang dikecualikan - untuk menawarkan kontribusi yang sah untuk kebaikan bersama," katanya.
Paus Francis mengatakan harta karun terbesar Myanmar adalah rakyatnya. Rakyat akan sangat menderita dengan konflik sipil dan permusuhan yang telah berlangsung lama dan menciptakan perpecahan.
"Seiring bangsa sekarang berupaya memulihkan perdamaian, penyembuhan luka-luka itu harus menjadi prioritas politis dan spiritual yang terpenting," tambahnya.
Menurutnya, perbedaan agama tidak perlu menjadi sumber perpecahan dan ketidakpercayaan, melainkan kekuatan untuk persatuan, toleransi dan pembangunan bangsa. Dalam sebuah pertemuan sebelumnya di Yangon dengan para pemimpin agama Buddha, Islam, Hindu, Yahudi dan Kristen, Paus juga tidak merujuk langsung ke Rohingya.
Sebelum pidatonya, Paus Francis bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Dalam sambutannya, Suu Kyi juga tidak membuat referensi langsung ke Muslim Rohingya. Namun, dia menerima situasi di negara bagian Rakhine menarik perhatian dunia.
Dia mengatakan isu sosial, ekonomi dan politik telah mengikis kepercayaan dan pemahaman, harmoni dan kerja sama antara berbagai komunitas di Rakhine. Suu Kyi telah dikritik karena kurangnya tindakan atas masalah ini. Pada Senin, Oxford mencabut penghargaannya untuk Suu Kyi. Para anggota dewan Oxford mengatakan mereka tidak lagi ingin menghormati orang-orang yang menutup mata terhadap kekerasan.
Myanmar telah menolak tuduhan PBB bahwa perlakuan terhadap komunitas Muslim sebagai bentuk pembersihan etnis. Dikatakan tindakan keras di negara bagian Rakhine, yang dimulai setelah serangan mematikan terhadap pos polisi oleh militan Rohingya adalah untuk membasmi gerilyawan dengan kekerasan.
Umat Katolik berjumlah satu persen dari 53 juta populasi Myanmar. Buddha adalah agama mayoritas dengan sekitar 88 persen.
Sekitar 90 persen umat Katolik di negara ini berasal dari etnis minoritas Karen, Kachin, Chin, Shan dan Kaw. Sensus selama 40 tahun terakhir menunjukkan agama Kristen adalah kelompok agama yang paling cepat berkembang
Credit REPUBLIKA.CO.ID