Photo :REUTERS/Beawiharta
CB– Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menetapkan peta baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Langkah itu, merupakan hasil dari serangkaian pembahasan sejak Oktober 2016, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Kemaritiman dan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait perundingan perbatasan maritim Indonesia.
Perubahan peta NKRI 2017 itu ditandatangani perwakilan kementerian dan lembaga di antaranya, Kementerian Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral.
Lalu, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, TNI-AL, Pusat Hidrograrif, Oseanografi TNI AL, Polri dan Badan Keamanan Laut, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, Arief Havas Oegroseno mengemukakan, ada perjanjian perbatasan yang baru ditandatangani, yaitu antara Indonesia dengan Singapura yang sudah diratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian, ada juga perjanjian batasan maritim Indonesia-Filipina.
"Sudah disepakati bersama dan diratifikasi. Tinggal diberlakukan dalam waktu yang tidak lama lagi," kata Arief di kantornya, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat 14 Juli 2017.
Menurut Arief, adanya keputusan arbitrase antara Filipina-Tiongkok, yang memberikan suatu yurisperudensi hukum international bahwa pulau, atau karang yang kecil di tengah laut yang bukan bagian dari negara kepulauan, tidak berhak atas 200 mil zona ekonomi eksklusif (ZEE) garis kontinen.
"Karena itu, ada beberapa pulau kecil milik negara tetangga kita yang kita beri garis batas 12 mil laut," ujarnya.
Selanjutnya, dalam Peta NKRI baru tersebut ada penambahan nama wilayah Utara Natuna. "Kita ingin update penamaan laut, khususnya di Utara Natuna. Di sini, kita berikan nama yang baru sesuai praktik yang sudah ada, nama Laut Natuna Utara," terang Arief.
Sementara itu, di Utara Laut Natuna, yang menjadi landasan kontinennya selama ini sudah ada sejumlah kegiatan minyak dan gas dengan menggunakan Natura Utara dan Natuna Selatan.
"Jadi, supaya ada suatu kejelasan dan kesamaan dengan landasan kontinen dan kolom air di atasnya jadi tim nasional sepakat, agar kolom air disebut sebagai Laut Natuna Utara," tuturnya.
"Kemudian, di Selat Malaka ada simplifikasi garis batas, kita klaim garis batas kita, sehingga mempermudah law enforcement dan di kawasan dekat Indonesia-Singapura, karena sudah ada garis batas yang jelas, itu perlu dimasukkan dalam peta update," tambahnya.
Dalam peta baru itu, selain penamaan Laut Natuna Timur di sebelah barat Pulau Kalimantan, ada penambahan luas wilayah yang berada di sebelah Barat Aceh.
"Kalau perluasan wilayah di sini (barat Aceh), ada satu luasan sekitar 4.000 kilometer persegi sebesar Pulau Madura. Kita itu oleh PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) diberikan hak, kita berhasil satu-satunya negara ASEAN yang punya wilayah di luar 200 mil laut," katanya lagi.
Tak hanya itu, pemerintah sedang memperjuangkan perluasan wilayah di perairan Sumba, Provinsi Nusa Tenggara dan di wilayah utara Provinsi Papua.
Tetapi, dia tak merinci berapa luas penambahan dari dua wilayah yang sedang dikerjakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman bersama lembaga lainnya tersebut.
"Kami sedang riset terus, kita menggunakan kapal riset, melakukan survei desktop, besarannya masih belum final. Prosesnya masih berjalan dengan PBB untuk Utara Papua (dan Selatan Sumba), kita lakukan terus menerus," kata dia.
Mantan Duta Besar RI untuk Belgia dan Uni Eropa itu juga belum menjelaskan kapan riset yang dilakukan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan lembaga terkait soal perluasan wilayah tersebut rampung.
"Kami sedang riset terus, kami enggak mau pakai pendekatan deadline, kami enggak mau buru-buru ternyata kurang, jadi harus pelan," ujarnya.
Dalam kajian itu, Kemenko Maritim akan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Energi Sumber Daya dan Ineral, Kementerian Luar Negeri, dan dari Universitas Institute Teknologi Bandung dan Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat.
Kendati demikian, ia memastikan bahwa perluasan wilayah yang berada di Barat Aceh, Selatan Sumba dan Utara Papua ini, terkait dengan potensi sumber daya alam yang ada di dalamnya, yakni mineral.
Meskipun demikian, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa penamaan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara dalam peta baru Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan secara menyeluruh. Saat ini, pemerintah masih terus mengkaji wilayah 200 mil laut yang masuk dalam kawasan zona ekonomi ekslusif (ZEE).
"Tidak mengganti semua itu (Laut China Selatan). Kami masih mengkaji yang ada di daerah kita saja," kata Luhut usai pembukaan kongres Teknologi Nasional 2017 di Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Luhut tak menampik jika penamaan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara oleh Indonesia mendapat protes dari China. Meski begitu, ia enggan menanggapi hal itu lebih jauh. "Ya, nanti kita lihat," ujarnya.
DPR Mendukung
Sejumlah anggota DPR, khususnya Komisi I yang membidangi masalah pertahanan pun memberikan dukungan atas kebijakan pemerintah tersebut. Salah satunya adalah anggota Komisi I yang berasal dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno, atau yang akrab disapa Dave Laksono.
"Kalau saya lihatnya ini kita sih mendukung, karena ini untuk menunjukkan kedaulatan negara kita khususnya di wilayah natuna. Karena, China kan selalu pakai alasan namanya saja Laut China Selatan, berarti terus ini milik China. Padahal, kan itu milik kita semua," kata Dave kepada VIVA.co.id, Senin 17 Juli 2017.
Menurutnya, langkah itu untuk membuat message yang tegas bahwa Indonesia menolak hegemoni China dan agar negeri Tirai Bambu itu tidak mengambil wilayah tersebut.
"Itu adalah satu strong diplomatic message kepada pemerintah China. Itu sih adalah langkah yang baik. Ya bahwa ini adalah wilayah kita dan tidak boleh diklaim oleh pihak-pihak lain,” ujarnya.
Mengenai kemungkinan adanya protes dari China, Dave tidak mempersoalkannya. Dia berpendapat tindakan itu sah-sah saja.
"Kalau protest, ya nanti kan China boleh-boleh saja protes. Mereka bisa minta ini sesuai nama awal (tetap LCS), tetapi kita kan juga bisa bilang ini wilayah kita dan kita berhak pakai nama apapun yang kita mau. Mereka kan enggak berhak mendikte kebijakan negara kita," lanjut putra dari politikus senior Golkar Agung Laksono tersebut.
Sedangkan untuk eksplorasi minyak bumi, Dave lagi-lagi memberikan dukungan. Dia menegaskan, sumber daya alam yang terkandung di perairan Natuna adalah milik Indonesia, sehingga menjadi hak negara ini untuk mengelolanya.
"Ya, kalau memang sudah resource-nya di negara kita, berarti itu ya milik kita, bukan milik negara lain, atau China. Yang dikhawatirkan itu kan misal resource-nya nyambung, jadi separuh di sana, separuh di wilayah kita. Atau, misalnya dia nge-drill dari wilayah sana, tetapi dia tancapkan penggaliannya panjang, sehingga harus diambil minyak di negara kita. Nah, itu harus menjadi bahan perhitungan juga, mana yang milik kita jatahnya," ujarnya.
Lebih lanjut, Dave mengusulkan, agar pembaruan peta itu juga diikuti dengan kebijakan menempatkan perwakilan. Apakah markas tentara, atau pos penjagaan pemerintah di perbatasan.
"Juga harus ada perhatian kepada masyarakat di sana. Supaya jangan sampai terlupakan. Kadang-kadang banyak yang di wilayah ujung itu, mereka lebih merasa sebagai warga negara tetangga dibanding negara kita," tutur Dave.
Dukungan juga disampaikan anggota Komisi I yang lainnya, yaitu Bobby Adhityo Rizaldi. "Saya mendukung, karena memang RI berdaulat untuk menamakan wilayah teritorialnya," kata pria yang juga politikus dari Partai Golkar tersebut kepada Viva.co.id, Senin, 17 Juli 2017.
Berdasarkan yang dia ketahui, Laut Natuna Utara, sudah dari 2002 diubah. Alasannya, karena banyak proyek pengeboran migas di sana dengan nama Natuna, seperti North East Natuna, Natuna Utara, dan lain-lain.
"Dan, wilayah tersebut memang perlu diperbaharui dari peta lama tahun 1953. Jadi, ini sejalan dengan kesamaan landasan kontinen dan kolom air di atasnya. Filipina juga pernah melakukan perubahan nama seperti ini di Laut Filipina Barat, yang sempat dibawa ke Mahkamah Internasional Den Haag th 2016 oleh Tiongkok, yang akhirnya dimenangkan Filipina," kata dia.
Sementara itu, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Gerindra, Elnino M. Husein Mohi menuturkan bahwa sejak dulu partainya menyarankan dalam rapat-rapat di Komisi I, agar nama-nama tempat diindonesiakan, terutama di seluruh wilayah perbatasan.
"Syukurlah kalau pemerintah mau melakukannya untuk menegaskan wilayah kita baik darat maupun laut dan udara," kata Elnino.
Elnino mengemukakan, tempat yang dinamai dengan nama Indonesia hanyalah darat/laut yang merupakan wilayah negara ini. Sehingga, jika ada dispute perbatasan, lebih mudah untuk mengidentifikasi sampai di koordinat mana yang termasuk darat/laut Indonesia. "Karena, namanya berbeda," kata dia.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Ahmad Hanafi Rais, menilai keputusan pemerintah terkait peta baru itu merupakan keputusan kolektif, antar departemen. Dengan demikian, dalam putusan itu sudah pasti mempertimbangkan risiko protes dari Cina.
"Perubahan Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Karena, sudah jadi kesepakatan dan ini dasarnya jelas untuk melindungi ZEE (zona ekonomi eksklusif) kita ya, tentu harus diperjuangkan untuk bisa diterima di kawasan dan tingkat internasional," kata Hanafi kepada VIVA.co.id, Senin 17 Juli 2017.
Secara terus terang, anak dari politikus senior Partai Amanat Nasional itu mengatakan bahwa keputusan pembuatan peta baru Indonesia, termasuk penyebutan nomenklatur atau nama baru itu satu nafas perjuangan dengan beberapa hak-hak Indonesia antara lain mengenai ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Menurutnya, langkah itu mestinya bisa diterima di Internasional.
"Artinya, keputusan apapun Indonesia terkait peta, ZEE, maupun juga geo politik yang lain menyangkut Indonesia menyangkut kepentingan nasional harus diperjuangkan, agar bisa diterima semuanya," katanya.
Menurutnya, langkah pemerintah itu tentu tidak berhenti di sana saja. Tetapi, akan ada langkah diplomatik lain yang pemerintah harus memperjuangkannya.
Hanafi menambahkan bahwa pemerintahan seharusnya sudah melibatkan semua kementerian seperti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan dalam merumuskan kebijakan itu. Karena merekalah pihak yang selalu ditanya apabila ada protes dari negara lain seperti China.
"Itu kan (seberapa penting peta baru itu) sudah menjadi domain dua kementerian itu. Mestinya, semua proses itu sudah dilakukan di internal pemerintah jangan sampai terlewatkan salah satu saja. Kemudian, itu dianggap faith a commpli. Kalau itu terjadi, berarti ada masalah di pemerintah itu sendiri. Kita tidak ingin itu," kata dia.
"Kalau sudah keputusan bersama bagaimana mempertahankan kepentingan nasional berupa kedaulatan wilayah NKRI untuk bisa diterima secara internasional. Tidak hanya satu pihak sendiri," lanjutnya.
Mengenai kemungkinan protes dari China, dia berpendapat sebaiknya pemerintah mendengarkannya dulu. Seperti apa protes mereka.
Sementara itu, ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan perlunya peta baru tersebut. Pertama, untuk merefleksikan batas-batas maritim yang Indonesia telah sepakati dengan negara berbatasan seperti Singapura.
Kedua, untuk merefleksikan klaim sepihak Indonesia selama ini meski belum ada kesepakatan dengan negara yang berbatasan yang didasarkan pada interpretasi hakim dalam sengeketa antara Filipina vs China di Mahkamah Internasional.
Ketiga, menegaskan (assertiveness) atas posisi Indonesia tidak mengakui klaim China atas sembilan garis putus mengingat sudah ada putusan PCA yang tidak mengakui. Bahkan, Indonesia menamakannya sebagai Laut Natuna Utara.
"Dengan peta baru ini pasti akan ada keberatan dari negara yang Indonesia belum membuat keeepakatan. Tapi itu yang akan memicu mereka mau melakukan perundingan dengan Indonesia. Kecuali dengan China kita tentu tidak akan lakukan perundingan karena kita tidak mengakui klaim sembilan garis putusnya tersebut.
Kalau ada protes dari China hal tersebut wajar dan pemerintah tidak perlu meresponsnya secara serius," kata Hikmahanto kepada VIVA.co.id, Senin, 17 Juli 2017.
Bagaimana reaksi China?
Penerbitan peta baru wilayah Indonesia dengan menerakan Laut Natuna Utara sebagai bagian Indonesia diduga akan membuat China gusar. Alasannya selama ini, China diketahui mengklaim wilayah itu dalam nine dash line yang diketahui juga sebagai sumber konflik China dengan sejumlah negara Asia Tenggara.
Dilansir dari Reuters, Jumat 14 Juli 2017, China menanggapi kebijakan tersebut dengan singkat. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan bahwa Beijing tak tahu detail soal peta baru Indonesia.
Namun, dia menyebut bahwa wilayah itu selama ini dikenal sebagai bagian Laut China Selatan, artinya mengacu pada China.
"Ada penamaan ulang, bisa tak berdampak apa-apa," kata Geng Shuang.
Sekedar diketahui, pada 2016 silam, China sempat menyeret Filipina ke Mahkamah Internasional di Den Hague atas perkara penamaan Laut China Selatan menjadi Laut Filipina Barat.
Namun. dalam putusan itu, mahkamah memutuskan bahwa China tak memiliki kewenangan untuk mengintervensi keputusan Filipina menamai wilayahnya.
Keputusan inilah yang kemudian dijadikan rujukan oleh Indonesia untuk menamai Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Gagasan ini, bahkan telah dirumuskan sejak 2016 lalu.
Credit viva.co.id