Rabu, 06 Januari 2016

Sejarah Panjang Perselisihan Arab Saudi dan Iran


Sejarah Panjang Perselisihan Arab Saudi dan Iran  
Muslim di Michigan, AS, melakukan protes terhadap eksekusi seorang ulama Syiah yang vokal, Nimr al-Nimr, oleh Arab Saudi, akhir pekan lalu. (Reuters/Rebecca Cook)
 
Jakarta, CB -- Hubungan dua negara berkekuatan besar di Timur Tengah, Arab Saudi dan Iran, kembali memanas menyusul eksekusi mati seorang ulama Syiah, Nimr al-Nimr, oleh Riyadh pada Sabtu (2/1).

Keadaan mulai panas ketika pengunjuk rasa Iran menyerbu Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran pada Minggu (3/1). Massa mencoba merangsek masuk gedung, menghancurkan furnitur dan memantik api, sebelum akhirnya berhasil dibubarkan polisi. Saudi lantas memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran.

Eksekusi mati Nimr pun menjadi berita utama di berbagai media.


Nimr merupakan salah satu kritikus dari kelompok Syiah yang paling vokal memperjuangkan kesetaraan Syiah dengan Sunni di Saudi. Nimr dianggap sebagai teroris oleh Riyadh, tapi dipuji Iran sebagai pemerhati hak-hak kelompok Syiah yang minoritas dan terpinggirkan di Saudi.

Beberapa analis pun menganggap bahwa eksekusi Nimr dapat memperdalam jurang krisis sektarian antara Sunni dan Syiah di kawasan Timur Tengah.

Seperti dilansir CNN, jurang pemisah ini sebenarnya sudah mulai ada sejak pecahnya Islam menjadi Sunni dan Syiah pada 14 abad silam. Kala itu, ada perdebatan mengenai siapa yang seharusnya meneruskan kepemimpinan umat Muslim sepeninggal Nabi Muhammad.

Paham Sunni akhirnya mendominasi hingga merengkuh 90 persen populasi Muslim dunia, terutama karena pergerakan Wahhabi di Arab Saudi. Namun pada 1979, Muslim Syiah mulai unjuk kekuatan.

Revolusi di Iran berhasil menggulingkan pemerintahan sekuler, menggantinya menjadi teokrasi. Mereka mulai menyatakan dukungan terhadap isu-isu Syiah di Libanon, Irak, dan daerah lain di seluruh penjuru Timur Tengah.

"Transformasi Iran menjadi negara yang benar-benar Syiah setelah revolusi Islam memaksa Arab Saudi untuk meningkatkan pengaruh Wahhabi, seiring dengan meningkatnya kembali persaingan berabad-abad kedua negara untuk memperjuangkan interpretasi yang sesungguhnya mengenai Islam," tulis Dewan Hubungan Internasional, badan yang melakukan kajian tajam mengenai konflik sektarian.

Persaingan antara Arab Saudi dan Iran pun kian hebat dan semakin terang-terangan. Persaingan terbesar pertama terjadi pada 1987, ketika Saudi mendukung pemerintah Irak dalam perang berdarah dengan Iran.

Ketika perang mulai meluas, polisi antihuru-hara Saudi bentrok dengan jemaah haji Iran di Mekkah. Sekitar 400 orang tewas. Merujuk data Institute of Peace, sebagian besar korban merupakan umat Syiah Iran.

Balas dendam, pengunjuk rasa Iran menyerang kedutaan besar Saudi dan Kuwait. Seorang diplomat Saudi tewas.

 
Eksekusi ulama Syiah, Nimr al-Nimr oleh Saudi pada akhir pekan lalu memperburuk hubungan Saudi dan Iran. (Reuters/Saudi Press Agency/Handout)
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini, kemudian mendeklarasikan bahwa monarki Saudi bidah. Hubungan diplomatik kedua negara pun terputus selama empat tahun.

Hubungan membaik setelah Iran melakukan pemilihan umum presiden pada 1997. Puncaknya pada 2001, kedua negara menandatangani kesepakatan keamanan.

Namun dua tahun kemudian, hubungan kembali terpuruk, tepatnya ketika invasi Amerika Serikat di Irak berhasil menggulingkan Saddam Hussein.

Kekuatan politik Syiah di Irak yang sebelumnya tertekan mulai unjuk gigi sehingga hubungan dengan Iran semakin kuat. Iran pun memiliki pengaruh lebih besar di negara-negara tetangganya.

Gesekan pengaruh Iran dan Saudi akhirnya ikut memuncak pada gerakan protes Arab Spring yang dimulai di Tunisia pada 2010. Kerusuhan sempat mencapai Arab Saudi dan sekutunya, Bahrain, di mana pemerintahan Sunni berkuasa di atas warga mayoritas Syiah.

Saudi dan sekutunya menuding Iran sebagai dalang di balik kerusuhan di Bahrain dan kemudian membantu negara tersebut untuk mengatasinya.

Tahun lalu, hubungan kian buruk dengan perdebatan mengenai penyebab tewasnya jemaah haji Iran pada April dan September lalu dalam dua insiden berbeda di Mekkah.

Proxy war

Bagaimana pengaruh konflik ini terhadap Timur Tengah dan dunia?

Singkatnya, akan ada matriks proxy war, di mana dua negara tak baku hantam secara langsung, melainkan adu kekuatan di daerah konflik lain.

Di Suriah, Iran mendukung pemerintahan Bashar al-Assad yang melawan mayoritas masyarakat Sunni. Saudi pun hadir untuk membela para pemberontak.

Di Yaman, kelompok pemberontak Syiah, Houthi, diduga memiliki hubungan dengan Iran. Dengan alasan untuk mendukung pemerintahan resmi di bawah Presiden Abd Mansour Hadi, Saudi mengirimkan pasukan serangan udara untuk menggempur Houthi.

Proxy war juga dirasakan di beberapa negara mayoritas Syiah, seperti Libanon, di mana Saudi berupaya meredam pengaruh Hizbullah yang didukung Iran. Ketegangan kedua negara juga terlihat di Irak, negara di mana Sunni yang mendominasi panggung politik kini taringnya mulai tumpul.

"Perang dingin" di antara dua negara besar Timur Tengah ini tak ayal berpengaruh terhadap kestabilan kawasan. Banyak negara akhirnya angkat bicara.

China meminta kedua negara untuk melakukan dialog dan negosiasi. Rusia juga melontarkan hal serupa.

Dalam keterangan resminya, Perancis meminta kedua negara untuk "melakukan segala sesuatu dengan kekuatan mereka untuk mencegah ketegangan sektarian dan agama yang lebih buruk."

Negara mayoritas Sunni, Pakistan, mengecam serangan di kedubes Saudi di Teheran pada akhir pekan lalu. Mereka menyerukan resolusi perbedaan melalui jalur damai merujuk pada kepentingan persatuan Islam.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, pun turun tangan dengan menelepon menteri luar negeri kedua negara. Ia meminta agar perang segera dituntaskan karena hubungan kedua negara mulai sangat mengkhawatirkan.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, John Kirby, merangkum seruan beberapa negara dengan berkata, "Apa yang ingin kami lihat adalah peredaan ketegangan. Kami ingin ada dialog dan kami ingin melihat hubungan diplomatik diperbaiki secara damai dan tanpa kekerasan."

Credit  CNN Indonesia