Jumat, 22 Juli 2016

Kisah Mesra Pelaut Makassar dan Orang Aborigin pada Masa Lalu


 
DOK. AUSTRALIA TOURISM Suku Aborigin merekam jejak cerita selama ribuan tahun lewat lukisan dinding.

CB – Arnhem Land menyimpan segudang cerita mesra dari masa lalu antara suku Yolngu, penduduk Aborigin yang berdiam di timur laut Australia, dan para pelaut asal Makassar.
Memori tentang hubungan dagang dan interaksi budaya diceritakan turun-temurun secara lisan hingga kemudian dicatat sebagai sejarah yang kerap dibahas di berbagai forum akademik.
Kisahnya lalu menyisakan rindu yang terus meraung di sanubari keturunan penduduk asli Australia ini.
Embusan angin, debur ombak di sepanjang pantai di Arnhem Land, dan binar mata anak cucu suku Yolngu setia menyanyikan nostalgia tentang para pria pemberani dari Nusantara yang suka berdagang.

***
Bagi suku Yolngu yang tinggal di Arnhem Land, orang Indonesia bukanlah kawan baru.
Jauh sebelum Australia terbentuk, bahkan sebelum Matthew Flinders tiba di daratan negeri Kangguru itu, para pelaut dari Nusantara sudah tiba di Arnhem Land dengan kapal pinisi.
Sejarah mencatat, para pelaut asal Makassar itu bertemu dan memulai kontak dengan suku Yolngu menjelang akhir abad ke-17. Masyarakat Yolngu menyebut para pelaut dari Makassar ini sebagai Mangathara, sedangkan pelaut dari Makassar menyebut Arnhem Land sebagai Marege.
Mereka menaklukkan laut Arafuru selama 2-3 minggu demi mencari teripang di tanah Aborigin. Ada sekitar 40-50 pinisi sekali datang. Masing-masing pinisi berisi sekitar 20 awak.
Teripang atau trepang menjadi komoditas berharga bagi para pelaut dari Makassar untuk dijual ke pedagang China. Sementara itu, pesisir pantai utara Australia merupakan salah satu tempat terbaik penghasil teripang.
KOMPAS.com/Caroline Damanik Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS), memberdayakan suku Yolngu, penduduk Aborigin di Arnhem Land, Northern Territory, Australia, melalui siaran radio yang diudarakan secara swadaya dari rumahnya di Nhulunbuy, Semenanjung Gove. Richard juga menulis buku tentang penduduk asli Australia ini yang diberi judul "Why Warriors Lie Down and Die".
“Perdagangan yang dilakukan orang-orang Makassar adalah teripang. Kawasan pesisir pantai masyarakat Yolngu merupakan perairan dangkal di mana teripang bisa berkembang biak dalam jumlah besar,” kata Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS), tentang lingkungan tempat tinggal suku Yolngu. Para pelaut Makassar pun semakin rutin datang. Barra atau angin yang berhembus dari arah barat laut menjadi penanda bahwa pinisi atau perahu tradisional milik para pelaut Makassar segera kembali datang ke Arnhem Land.
Ketika barra berhembus, suku Yolngu sudah yakin bahwa para pedagang dari Makassar di Sulawesi Selatan akan segera datang,” ungkap Richard.
Penduduk asli Australia ini lalu akan segera bersiap memanen teripang, juga mutiara dari tiram dan kerang serta penyu sisik dan penyu hijau.
Hingga pada suatu waktu, tak hanya singgah untuk membeli, lama-kelamaan sebagian dari pelaut asal Makassar ini juga ikut tinggal sementara di Arnhem Land untuk membantu penduduk suku Yolngu membudidayakan dan memanen teripang, mengolah, mengeringkannya lalu mengirimkannya kembali ke Makassar dengan kapal untuk dijual.
Langgeng
Hubungan dagang terus berlanjut dan para pelaut dari Makassar selalu datang setiap barra berembus, tanda musim penghujan datang. Richard mencatat bahwa riwayat kedatangan dan jual beli antara suku Yolngu dan pelaut Makassar, termasuk pengaruh yang diberikan oleh Mangathara, dicatat oleh suku Yolngu dalam serangkaian lagu yang disebut manikay.
Manikay pada dasarnya berisi pengetahuan dari para leluhur mengenai bagaimana cara suku Yolngu hidup, biasanya dinyanyikan pada saat upacara adat.
Dari manikay diketahui bahwa teripang dibeli dengan cara barter dengan sejumlah benda seperti alkohol, tembakau, beras dan senapan dari para pelaut Makassar.
Cerita turun-temurun juga mencatat benda-benda berbahan logam, misalnya kapak, kait pancing, alkohol, selimut, pedang dan senapan, sebagai hasil barter.
“Sementara itu, catatan sejarah pemerintah South Australia dan parlemen menunjukkan barang-barang yang diterima dari orang Makassar hanyalah tembakau dan beras,” tutur penulis buku “Why Warriors Lie Down and Die” ini.
Paul Thomas, dosen yang menjabat sebagai koordinator dari Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University, mengatakan bahwa pada saat itu, beras menjadi komoditas yang penting bagi suku Yolngu.
Bahkan, Paul menyebutkan bahwa para pelaut dari Makassar-lah yang memperkenalkan logam untuk pertama kalinya kepada penduduk asli Australia. Sebelumnya, segala alat kerja suku Yolngu terbuat dari batu.
KOMPAS.com/Caroline Damanik Gambar pinisi yang berisi pelaut dari Makassar yang datang berlayar ke tanah suku Yolngu, penduduk Aborigin yang tinggal di Arnhem Land di timur laut Australia, sekitar akhir abad 17 hingga awal abad 19 ditunjukkan oleh Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University.
“Awalnya memang teripang, tetapi bagi suku asli, kunjungannya (pelaut dari Makassar) tentu lebih penting dari perdagangan biasa. Beras (di nusantara) tidak terlalu mahal waktu itu, tidak dianggap penting, tetapi bagi suku asli, beras sangat penting sekali. Jadi untuk mereka, perdagangan dengan orang dari Indonesia jauh lebih penting karena (mereka butuh) beras, pisau, logam, tembakau,” ucapnya saat ditemui di Monash University. Tak hanya saling memberikan keuntungan dari segi ekonomi, pertukaran budaya juga terjadi. Sejumlah anggota klan Yolngu ikut menempuh perjalanan laut ke Nusantara. Sejumlah pelaut dari Makassar pun ada yang tinggal sementara untuk memanen teripang.
Salah satu pengaruh kuat dari hubungan ini adalah dari segi bahasa. Bahasa Aborigin-Yolngu mengenal sejumlah kosa kata yang mirip dengan kata dalam bahasa Indonesia, misalnya rrothi yang berarti roti, Balanda dari kata Belanda merujuk kepada orang kulit putih, prau yang berasal dari kata perahu dan rupiah dari kata rupiah untuk merujuk pada uang di kehidupan suku Yolngu.
Paul mengatakan bahwa bahasa yang memengaruhi kosa kata suku Yolngu adalah Bahasa Melayu. Ini menjadi salah satu bukti bahwa tidak semua anak buah kapal pinisi dari Makassar itu adalah orang Makassar, Bugis atau Bone.
Tak hanya itu, penduduk Yolngu juga mengenal bendera yang diperkenalkan oleh pelaut dari Makassar. Penduduk asli memakai bendera untuk menunjukkan teritori kelompok tertentu dan sebagai simbol yang sangat penting dalam upacara adat. Mereka lalu mulai berinovasi dengan teknologi sederhana, misalnya membuat perahu kecil atau sampan yang disebut lipa-lipa.
“Itu semacam sampan yang digunakan penduduk asli, tapi dulu tidak ada teknologi semacam itu. Mereka belajar dari orang Indonesia. Jadi ini buktinya bahwa pengaruhnya cukup dalam karena biasanya agak sulit untuk belajar teknologi baru dengan mengunakan alat,” tutur Paul.
Namun demikian, menurut Paul, riwayat perjalanan Mangathara selama ini hanya berdasarkan catatan Belanda di Sulawesi yang tengah menjajah Nusantara dan lukisan orang Aborigin di dinding gua.
KOMPAS.com/Caroline Damanik Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University, menuturkan kisah kedatangan pelaut dari Makassar ke pantai utara Australia.
Belum ditemukan catatan para pelaut dari Makassar yang mengonfirmasi waktu kedatangan mereka di Arnhem Land sehingga belum bisa ada klaim bahwa pelaut pertama yang tiba di benua Australia adalah pelaut dari Nusantara. Berubah
Dari antara tahun 1760-1770, hubungan akrab suku Yolngu dan pelaut Makassar berlanjut hingga sekitar 1,5 abad kemudian.
Richard menuturkan bahwa hubungan ini bisa berlangsung langgeng dalam jangka waktu yang lama karena sikap para pelaut dari Makassar yang bersahabat dan memberi manfaat yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Yolngu di pesisir pantai Arnhem Land. Sikap seperti ini, lanjutnya, yang tidak ditemukan pada para pelaut Eropa ketika tiba di benua Australia.
“Ketika Makassar datang dan pergi selama beberapa abad, mereka menghormati kekuasaan suku Yolngu. Para pelaut Makassar hanya berada di sekitar pantai setelah berlabuh. Di tempat ini mereka menunggu para juragan Yolngu untuk bernegosiasi dalam hubungan dagang mereka. Hanya ada beberapa saja ketidaksepakatan yang kemudian menjadi perkelahian dalam hubungan dagang selama berabad-abad,” ucap Richard.
Namun, pada suatu musim hujan, saat mereka sudah menyiapkan teripang dan segala hasil laut yang menjadi komoditas perdagangan tanah Arnhem, para penduduk asli ini harus menerima kenyataan bahwa para pelaut Makassar tak akan pernah datang lagi.
Kisah mesra mereka harus berakhir setelah pemerintah Australia pada awal abad ke-19 mewajibkan setiap pelaut untuk memiliki izin dan membayar semacam pajak jika hendak memancing atau memanen teripang di kawasan Australia.
“Ada kabar bahwa sejumlah nakhoda dari Makassar sudah diberi tahu bahwa mereka tidak bisa lagi datang karena Balanda (sebutan penduduk asli untuk bangsa Eropa) yang ada di Pelabuhan Darwin tidak mengizinkan mereka berlabuh. Sejumlah tetua Yolngu ingat betul bagaimana ayah atau kakek mereka berurai air mata ketika para nakhoda dari Makassar itu menyampaikan kabar ini,” tutur Richard.
“Banyak penduduk Yolngu yang mengecam cerita itu. Mereka mengatakan ‘siapa Balanda-balanda itu? Mereka tak ada urusan dengan perjanjian kerja sama yang resmi antara klan kita dan pelaut dari Makassar’,” tambahnya kemudian.
Sejak saat itu, mulai tahun 1906, tak ada lagi pinisi yang datang ke Arnhem Land. Kehidupan menjadi sulit bagi penduduk Yolngu ketika perdagangan dengan pelaut Makassar berhenti.
Memang ada kapal-kapal baru yang datang dan pergi di perairan Arnhem Land yang kini termasuk dalam negara bagian Northern Territory, Australia. Namun, bukannya untuk berdagang seperti pelaut Makassar, mereka malah mencuri.
Segalanya telah berubah….

dok.Richard Trudgen Peta rute perjalanan pinisi yang berisi para pelaut dari Makassar menuju perairan Arnhem Land di timur laut Australia seperti yang tercantum dalam buku "Why Warriors Lie Down and Die" karya Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS).




Credit  KOMPAS.com