Rabu, 06 Januari 2016

Saudi Akan Pulihkan Hubungan Jika Iran Berhenti Ikut Campur


Saudi Akan Pulihkan Hubungan Jika Iran Berhenti Ikut Campur  
Protes atas eksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr diprotes oleh Muslim AS di New York, AS, 3 Januari lalu. (Reuters/Shannon Stapleton)
 
Jakarta, CB -- Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran memuncak ketika Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran. Namun pada Senin (4/1), Saudi mengatakan bahwa mereka akan memulihkan hubungan diplomatik jika Iran berhenti mencampuri urusan negara lain.

"Sangat sederhana. Iran harus berhenti ikut campur dalam urusan internal negara lain, termasuk kami," ujar Duta Besar Saudi untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Abdallah Al-Mouallimi, saat ditanya kapan hubungan diplomatik dengan Iran akan pulih.

Menurut Al-Mouallimi, hal tersebut tidak mustahil karena Saudi bukanlah musuh bebuyutan Iran.

"Jika mereka melakukan itu, kami tentu akan memiliki hubungan yang normal dengan Iran. Kami bukan musuh bebuyutan Iran," katanya.

Ketegangan tali hubungan diplomatik ini memang bermula ketika Saudi mengeksekusi mati seorang ulama Syiah, Nimr al-Nimr, bersama 46 terpidana kasus terorisme lainnya pada Sabtu (2/1).

Nimr merupakan salah satu kritikus dari kelompok Syiah yang paling vokal memperjuangkan kesetaraan Syiah dengan Sunni di Saudi. Nimr dianggap teroris oleh Riyadh, tapi dipuji Iran sebagai pemerhati hak-hak kelompok Syiah yang minoritas dan terpinggirkan di Saudi.

Gelombang protes pun tak dapat dibendung lagi di Iran. Puncaknya, para demonstran yang awalnya melakukan aksi damai di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran mulai mencoba merangsek masuk gedung, menghancurkan furnitur dan memantik api, sebelum dihentikan oleh polisi.

Saudi pun memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Menteri Luar Negeri Saudi, Adel al-Jubeir, bahkan melontarkan ancaman lebih jauh.

"Kami juga akan menghentikan semua penerbangan dari dan menuju Iran. Kami akan memotong semua hubungan komersial dengan Iran. Dan kami akan melarang warga untuk bepergian ke Iran," kata Jubeir.

Menunjukkan dukungan, Bahrain, Sudan, dan Uni Emirat Arab pun mengikuti jejak Saudi untuk memutus tali diplomasi dengan Iran.

Seorang peneliti senior dari Universitas Oxford, Toby Matthiesen, menilai bahwa peristiwa ini dapat menambah runyam skala besar isu di kawasan, dari krisis Suriah hingga Yaman.

Iran dan Arab Saudi mendukung kelompok yang bertentangan di Suriah dan Yaman. Di Suriah Iran mendukung rezim Bashar al-Assad, sementara di Yaman, Iran dituding mendukung kelompok pemberontak al-Houthi.

Sementara itu, beberapa negara lain menyerukan perdamaian di kawasan.

China meminta kedua negara untuk melakukan dialog dan negosiasi. Rusia juga melontarkan hal serupa.

Dalam keterangan resminya, Perancis meminta kedua negara untuk, "melakukan segala sesuatu dengan kekuatan mereka untuk mencegah ketegangan sektarian dan agama yang lebih buruk."

Negara mayoritas Sunni, Pakistan, mengecam serangan di kedubes Saudi di Teheran pada akhir pekan lalu. Mereka menyerukan resolusi perbedaan melalui jalur damai merujuk pada kepentingan persatuan Islam.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, pun turun tangan dengan menelepon menteri luar negeri kedua negara. Ia meminta agar perang segera dituntaskan karena hubungan kedua negara mulai sangat mengkhawatirkan.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, John Kirby, merangkum seruan beberapa negara dengan berkata, "Apa yang ingin kami lihat adalah peredaan ketegangan. Kami ingin ada dialog dan kami ingin melihat hubungan diplomatik diperbaiki secara damai dan tanpa kekerasan."

Indonesia bahkan menawarkan diri menjadi mediator guna mencari solusi terbaik melalui jalan damai.

Credit  CNN Indonesia