Bengkel tidak hanya ada dalam dunia keseharian manusia. Dalam sel kita, tepatnya pada asam deoksiribosa (DNA), terdapat pula sistem bengkel atau reparasi. Sejumlah enzim punya tanggung jawab seperti montir yang mereparasi mobil.
Lewat riset, adanya "bengkel molekuler" itu terungkap. Temuan "bengkel molekuler" membawa tiga ilmuwan dunia, yaitu Tomas Lindahl, Paul Modrich, dan Aziz Sancar, meraih Nobel Kimia 2015 yang diumumkan Rabu (7/10/2015) sore ini.
"Riset ketiganya memberikan pengetahuan yang fundamental tentang bagaimana sel yang hidup bekerja dan itu bisa berguna untuk, misalnya, mengembangkan pengobatan anti-kanker," demikian pernyataan Panitia Nobel di situs webnya.
"Bengkel Molekuler"
Hingga tahun 1960-an, atau 20 tahun setelah struktur DNA terungkap, ilmuwan meyakini bahwa molekul dasar penyusun kehidupan itu stabil. Perubahan bisa terjadi tetapi sangat-sangat jarang.
Namun demikian, Thomas Lindahl yang kini bekerja di Francis Institute, Inggris, sejak awal meragukannya. "Seberapa stabil DNA?" begitu tanyanya.
Saat melakukan studi post doktoral di Princeton University, Lindahl meneliti molekul dasar sepupu DNA, asam ribosa atau RNA. Dia memanaskan molekul itu dan ternyata mengalami kerusakan cepat.
Kembali ke Karolinska Institute di Swedia, Lindahl kemudian memelajari DNA dan menemukan bahwa sama seperti RNA, DNA juga bisa mengalami degradasi.
Diuraikan dalam informasi di situs Nobel Prize, DNA mengandung komponen basa nitrogen yang disebut sitosin. Basa itu sayangnya sangat mudah kehilangan gugus amino penyusunnya sehingga memicu kejadian mutasi dalam DNA.
Saat memimpin Clare Hall laboratory di Inggris, Lindahl berhasil menemukan enzim yang berperan dalam koreksi DNA, salah satunya adalah glikosilase.
Ketika sitosin kehilangan amino, ia menjelma menjadi basa urasil. Enzim glikosilase berperan menemukan kecacatan itu dan mengoreksinya. Dua enzim lain berperan menyempurnakan proses koreksi.
Aziz Sancar, ilmuwan kelahiran Turki, juga mengungkap mekanisme "bengkel molekuler" namun dalam skenario berbeda: proses perbaikan ketika sel mengalami mutasi karena terpapar sinar ultraviolet.
Dengan melakukan studi pada bakteri yang telah dikloning, dia menemukan adanya enzim yang berperan mempertahankan sel dari kerusakan akibat sinar ultraviolet.
Sancar juga mengungkap, mekanisme perbaikan sel dari kerusakan akibat ultraviolet pada manusia dan bakteri sama. Salah satu enzim yang berperan adalah eksinuklease.
Saat DNA terpapar sinar ultraviolet, basa timin yang menyusunnya "lengket" satu sama lain. Enzim eksinuklease menemukan kelainan ini dan mengoreksinya. Selanjutnya, dua enzim lain yang bernama DNA polimerasi dan DNA ligase menyempurnakan.
Sementara Paul Mordich mengungkap proses reparasi ketika basa dalam DNA berpasangan dengan basa yang salah serta terjadi kesalahan dalam menyalin.
Mordich menemukan adanya dua enzim, disebut MutS dan MutL, yang berperan menemukan kesalahan dalam penyalinan DNA. Lalu, enzim lain bernama MutH berperan memotong bagian yang salah. Koreksi disempurnakan oleh DNA polimerasi dan ligase.
Terkejut
Tiga ilmuwan penerima Nobel diberitahu oleh panitia lewat telepon dan merasa terkejut serta beruntung karena menerima penghargaan tertinggi dalam dunia sains itu.
Sancar yang menjadi ilmuwan Turki pertama yang menerima Nobel mengatakan, "Saya tak menyangka mendapatkan ini. Saya sangat terkejut."
Sancar mengucapkan terima kasih atas penghargaan yang diberikan. Dia bangga atas dukungan keluarganya dan negara-negara tempat dia tumbuh dan bekerja. "Terutama Turki, ini sangat penting," katanya.
Lindahl seperti dikutip The Guardian mengatakan, "Saya terkejut. Saya tahu saya beberapa kali dipertimbangkan di antara ratusan orang. Saya merasa beruntung dan bangga dipilih."
Temuan koreksi DNA tidak ngawang-ngawang. Temuan ini sangat berharga bagi terapi kanker dan mencegah penyakit akibat faktor genetik.
Kanker terjadi karena mutasi DNA. Sel yang mengalami kanker kehilangan kemampuan untuk mereparasi sehingga mengalami mutasi dan resisten pada kemoterapi. Pada saat yang sama, sel kanker tergantung pada sel sehat.
Pemahaman koreksi DNA membantu ilmuwan mengembangkan obat atau terapi yang baik untuk kanker. Menghilangkan kemampuan sel kanker mereparasi mungkin lebih baik untuk mengobati kanker.
Claes Gustafsson, salah satu juri Nobel, mengungkapkan bahwa riset koreksi DNA sangat berguna. "saya kira sekarang sudah ada satu atau dua obat kanker yang tersedia yang dibuat berdasarkan pemahaman ini," katanya.
Credit KOMPAS.com