Kota Tembagapura, konsentrat yang
digali Freeport berupa tembaga, emas dan perak, dan kegiatan operasional
di tambang Papua. (Dok. Freeport)
Salah satu perusahaan tambang yang mendapat sorotan adalah PT Freeport Indonesia (PTFI) yang pada Oktober 2015 harus melepas 10,64 persen sahamnya guna melengkapi 9,36 persen saham yang telah dikantongi pemerintah.
Divestasi tersebut merupakan bagian dari kewajiban perseroan melepas 30 persen sahamnya ke nasional sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
|
"Yang terlihat sekarang kan, pemerintah seakan setengah hati mengambil alih saham Freeport. Coba kita lihat, persiapan apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengambil alih saham Freeport. Tidak ada info yang jelas kan?" ujar Budi Santoso, pengamat Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRSS) di Jakarta, Senin (31/8).
Budi pun mengingatkan pemerintah untuk seksama dalam menghitung nilai wajar saham (valuasi) saham perusahaan tambang emas Amerika Serikat (AS) itu. Hal itu dinilai penting agar pembelian saham Freeport tidak melewati harga wajar yang didasarkan pada aset murni perusahaan saat ini.
"Jadi yang harus dihitung itu adalah aset Freeport yang tidak termasuk dengan cadangan mineral pada 2021 atau 2041 jika dia diperpanjang. Karena cadangan mineral itu sejatinya punya negara, bukan perusahaan," jelas Budi.
Sementara itu, mantan Direktut Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon Sembiring menilai terdapat sejumlah kejanggalan di dalam penerbitan PP 77/2014 yang mengatur soal divestasi saham perusahaan tambang. Satu diantaranya ihwal mekanisme penerbitan PP yang baru diterbitkan dua minggu menjelang lengsernya Soesilo Bambang Yudhoyono dari (SBY) dari kursi orang nomor satu di Indonesia.
"Yang kedua soal penetapan besaran saham yang wajib dilepas Freeport yakni 30 persen karena perusahaan ini mau mengembangkan underground mining. Ingat, ketentuan dari kewajiban divestasi itu awalnya bukan dari metode pertambangan, melainkan keinginan pemerintah untuk mengedepankan kepentingan nasional dengan memiliki 51 persen saham perusahaan tambang asing," katanya menegaskan.
Credit CNN Indonesia