Cina menuntut maskapai internasional tak menyebut Taiwan sebagai negara
CB,
CANBERRA -- Tiga dari 44 maskapai penerbangan internasional yang
diminta untuk mengubah cara mereka menyebut Taiwan telah memenuhi
tuntutan tepat sebelum tenggat waktu berakhir. Hal itu menimbulkan
kemenangan besar bagi Pemerintah Cina.
Cina mengancam untuk menghukum maskapai penerbangan yang menyebut Taiwan sebagai negara
American Airlines, Delta, dan United Airlines kini telah memenuhi
permintaan tersebut, bergabung dengan Qantas dan 40 maskapai lainnya
Anggota Parlemen Taiwan mengatakan tindakan Cina "brutal, sepihak" dan akan makin menjauhkan Taiwan
American
Airlines, Delta, dan United Airlines semuanya tak lagi memakai nama
"Taiwan" di situs mereka untuk memenuhi batas waktu 25 Juli yang
diberlakukan oleh Beijing. Tuntutan itu sebelumnya disebut Pemerintah AS
sebagai "Omong kosong tiran".
Qantas adalah salah
satu perusahaan penerbangan yang ditargetkan dalam surat milik lembaga
Penerbangan Sipil Cina awal tahun ini. Cina mengancam hukuman bagi
operator yang menyebut Taiwan sebagai negara.
Qantas
menegaskan akan memenuhi permintaan Beijing, dan sekarang menyebut
kota-kota seperti Taipei dan Kaohsiung sebagai bagian dari Taiwan, Cina.
CEO Qantas, Alan Joyce, membela langkah tersebut pada saat itu,
mengutip bahwa Australia menganut Kebijakan Satu Cina yang mengakui
daratan utama dan Taiwan sebagai milik satu negara
Tapi
ketegasan Cina mendapat kecaman dari Menteri Luar Negeri Australia,
Julie Bishop, yang mengatakan pemerintah seharusnya tidak "mengancam
operasi bisnis umum".
Beberapa maskapai penerbangan
lain telah menanggapi permintaan Beijing dengan mencabut penyebutan
negara dan hanya menulis kota sebagai tujuan.
"Saya pikir operator AS akhirnya tak punya pilihan," kata Tom Ballantyne, kepala koresponden di media Orient Aviation Magazine.
"Pasar Cina terlalu penting."
Disebut aksi brutal
"Tidak
ada ruang untuk negosiasi atau konsultasi ketika menyangkut prinsip
Satu China," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang,
menjelang tenggat waktu di Beijing.
Otoritas Cina
belum menentukan hukuman apa yang bisa dihadapi oleh operator
internasional karena mengabaikan permintaan, tetapi mengindikasikan
bahwa hal itu bisa membahayakan akses mereka ke apa yang diharapkan
menjadi pasar penerbangan terbesar di dunia dalam lima tahun terakhir.
Photo: Foto layar dari bulan Januari 2018 menunjukkan Taiwan sebagai negara di situs Penumpang Setia Qantas. (Supplied)
Di
Taiwan, seorang anggota Parlemen dari Partai Progresif Demokratik yang
berkuasa, Lo Chih-Cheng, menggambarkan langkah Beijing sebagai "tindakan
brutal, sepihak" yang menciptakan "lingkaran setan".
"Cina
ingin menggunakan metode seperti mengubah nama Taiwan untuk mendorong
Taiwan lebih dekat ke Cina, tetapi hasilnya adalah sebaliknya - itu akan
membuat Taiwan melangkah semakin jauh - itu kontraproduktif," katanya.
Tekanan
pada maskapai penerbangan hanyalah cara terbaru yang digunakan Beijing
untuk semakin meminggirkan kehadiran Taiwan di dunia internasional.
Dalam beberapa bulan terakhir, Cina merangkul dua sekutu diplomatik
Taiwan yang tersisa, hanya menyisakan 19 negara kecil atau miskin yang
mengakui pemerintahan di Taipei.
Baru minggu ini,
tekanan Cina memaksa panitia Olimpiade Asia Timur untuk menangguhkan
pertandingan pemuda yang direncanakan digelar tahun depan di kota
Taichung, Taiwan. Beijing diyakini sangat marah karena LSM dan warga
sipil mulai mendesak adanya referendum untuk menentukan apakah tim olah
raga nasional harus menyebut dirinya Taiwan, bukannya Taipei Cina yang
diminta Beijing.
"Ini akan membuat generasi muda di
Taiwan membangun kebencian mereka terhadap Cina daripada memenangkan
hati mereka," kata Alexander Huang, seorang profesor dan mantan wakil
menteri.
Kampanye sukses Cina untuk mendikte
kata-kata yang digunakan di situs maskapai penerbangan asing mengikuti
serangkaian permintaan maaf tahun ini dari perusahaan-perusahaan yang
dianggap "menyakiti perasaan" masyarakat Cina.
Pada
Januari, pihak berwenang Cina menutup situs jaringan hotel Marriot
selama seminggu karena mencantumkan Hong Kong dan Tibet sebagai negara
dalam survei daring mereka.
Produsen pakaian Zara juga dipaksa untuk mengubah situsnya karena melanggar standar Cina untuk menyebut Taiwan.
Mercedes-Benz
juga meminta maaf pada Februari karena mengutip pemimpin spiritual
Tibet, Dalai Lama, dalam apa yang seharusnya menjadi postingan motivasi
di Instagram. Cina menganggap Dalai Lama sebagai separatis yang
berbahaya.