Rabu, 03 Agustus 2016

Retorika Perang China Lawan AS soal Laut China Selatan Memanas


 
Retorika Perang China Lawan AS soal Laut China Selatan Memanas
Manuver kapal perang China saat latihan di Laut China Selatan. | (Xinhua)
 
BEIJING - Retorika perang China melawan Amerika Serikat (AS) terkait polemik sengketa kawasan Laut China Selatan kian memanas. Retorika perang disuarakan oleh media Pemerintah China Global Times dan lembaga think-tank AS, Rand Corporation.

Media Beijing marah terhadap prediksi lembaga think-tank yang menyebut bahwa perang kedua kubu akan menimbulkan kerugian besar pada China. Media itu membalas dengan menulis Beijing justru akan membuat AS dan sekutunya lebih menderita.

Baca: 
Seteru Laut China Selatan Memanas, China Ingin Bikin AS Cs Berdarah

Rand Corporation dalam laporannya memprediksi bahwa konflik bisa pecah antara sekarang dan tahun 2025. ”AS tidak lagi bisa begitu yakin bahwa perang akan mengikuti rencana dan jadi penyebab penentu kemenangan,” bunyi laporan itu yang dikutip dari situs resminya, rand.org, Selasa (2/8/2016).

”Kerugian China akan jauh melampaui kerugian AS, dan kesenjangan hanya akan tumbuh sebagai (imbas) pertempuran,” lanjut laporan itu.

Retorika Perang China Lawan AS soal Laut China Selatan Memanas

Di luar tahun 2025, lanjut laporan Rand, teknologi dan angka kesenjangan akan ditutup secara signifikan. ”Bahkan kemudian, bagaimanapun China tidak bisa yakin untuk mendapatkan keuntungan militer, yang menunjukkan kemungkinan berkepanjangan dan merusak, namun tidak meyakinkan, perang.”

Sebagai balasan dari prediksi itu, Global Times yang merupakan bagian dari People Daily, media yang dikelola negara China melihat hal-hal yang berbeda.

”Kami akan sangat berhati-hati tentang melangkah ke perang, tetapi jika perang sudah dipicu, kami akan memiliki tekad yang lebih besar dari AS untuk melawannya sampai akhir dan kami bisa menanggung kerugian lebih dari AS,” tulis Global Times dalam editorialnya.

”Jelas, lembaga-lembaga tertentu di China dan AS sedang mempelajari skenario terburuk dari konflik militer,” lanjut editorial itu.

 

Sengketa kawasan Laut China Selatan sejatinya hanya melibatkan China dan beberapa negara ASEAN, seperti Filipina, Malaysia, Brunei dan Vietnam. Namun, AS ikut menolak klaim China karena berkeyakinan kawasan Laut China Selatan sebagai kawasan internasional.

Sebagai komitmen penolakan itu, AS bertekad melakukan patroli dengan kapal-kapal perang dan pesawat di kawasan itu dengan dalih menegakkan kebebasan bernavigasi.

Retorika Perang China Lawan AS soal Laut China Selatan Memanas

Seteru itu semakin sengit setelah putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) Laut China Selatan di Den Haag memenangkan gugatan Filipina atas China soal wilayah “Nine-Dash Line” di kawasan tersebut. China menolak putusan PCA yang keluar 12 Juli 2016 lalu.

Penolakan China itu memicu AS, Jepang dan Australia mengeluarkan pernyataan trilateral untuk mendesak Beijing agar menghormati aturan hukum.

Desakan AS dan sekutunya itu justru memicu respons marah dari Menteri Luar Negeri China Wang Yi. ”Ini adalah waktu untuk menunjukkan siapa mereka sebenarnya, apakah mereka pasukan penjaga perdamaian atau (pembuat) onar,” katanya.



Credit  Sindonews