Jumat, 01 Juli 2016

Nelayan, Pasukan Garda Depan China di Laut China Selatan

 
Nelayan, Pasukan Garda Depan China di Laut China Selatan  
Indonesia kini hendak menggunakan pola China: tangkap ikan di Laut Natuna, maka terbukti perairan tersebut berada di bawah kuasa dan kendali Indonesia. (REUTERS/Tim Wimborne)
 
Jakarta, CB -- Nelayan-nelayan China berperan penting sebagai perpanjangan tangan pemerintah Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan. Berlayar menyebar cukup jauh dari negaranya, mereka menebar jala di perairan-perairan yang disebut China sebagai zona perikanan tradisionalnya.

Zona perikanan tradisional yang diklaim China itu kerap lebih dekat dengan negara-negara Asia Tenggara ketimbang China sendiri, termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna yang amat jauh dari China. Perairan di barat daya Kalimantan tersebut jadi titik panas hubungan kedua negara beberapa bulan belakangan.

Staf Ahli Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Laksda Surya Wiranto, meyakini kehadiran kapal-kapal China di Natuna bukan sekadar soal menangkap ikan. Pun penangkapan ikan tanpa izin di ZEE Indonesia melanggar hukum laut internasional, yakni United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982.

“Itu bagian dari upaya state practice untuk menunjukkan kepada dunia positive occupation China terhadap wilayah maritim di Laut China Selatan. Tiongkok berupaya melakukan ekspansi ke wilayah berdaulat Indonesia. Jadi jika dibiarkan, status quo, dan Indonesia diam, China akan mengokupasi (menguasai) perairan Natuna,” kata Surya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).

Kecurigaan Surya itu persis dengan yang pernah dikemukakan Zhang Hongzhou, pakar di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura. Menurutnya, seperti dikutip dari The Washington Post, Selasa (12/4), nelayan-nelayan digunakan pemerintah China untuk misi politik.

“Nelayan-nelayan dan kapal mereka menjadi alat penting otoritas China untuk memperluas kehadiran mereka, serta memperkuat klaim China atas perairan yang dipersengketakan. Nelayan berperan kian penting, berada di garis depan sengketa Laut China Selatan, dan karenanya insiden perikanan bisa memicu ketegangan diplomatik lebih besar di antara China dan negara-negara kawasan itu,” kata Zhang.

Armada nelayan China yang bergentayangan hingga mendekati pantai negara-negara tetangganya, membuat Negeri Tirai Bambu lebih sering terlibat konflik. Insiden di Natuna yang membuat berang Indonesia misalnya, terjadi hanya beberapa mil laut dari garis pantai Natuna, namun berjarak 900 mil laut dari Hainan –wilayah paling selatan China.

 
Nine-dashed line, peta yang dibuat China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan. Perairan Natuna di Indonesia yang bahkan berjarak 900 mil laut dari China, ikut dimasukkan dalam peta itu, memicu ketegangan antara kedua negara. (CNN Indonesia/Fajrian)
Krisis meletup rutin di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya yang dimasukkan China ke dalam peta nine-dashed line buatannya, serta disebut sebagai zona perairan tradisionalnya. Tak tanggung-tanggung, China mengklaim 90 persen wilayah Laut China Selatan sebagai miliknya.

Selain dengan Indonesia, ketegangan juga berkobar antara China dengan Malaysia dan Vietnam. Nelayan-nelayan China yang mengembara jauh kerap dikawal oleh kapal penjaga pantai negaranya. Ini termasuk salah satu hal yang dikeluhkan Indonesia pasca-insiden terakhirnya dengan China di Natuna pada 17 Juni, saat kapal Han Tan Cou ditangkap TNI Angkatan Laut karena menurunkan jaring di ZEE Indonesia.

“Kapal ikan China berbeda dengan negara lain karena di-back up sama coast guard-nya. Kapal Vietnam misal tidak ada yang dikawal, dan kalau diperiksa tidak melawan karena sadar salah (telah mengambil ikan di ZEE Indonesia). Kapal China tidak begitu,” kata Asisten Operasi Panglima Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Barat, Kolonel Laut I Gusti Kompiang Aribawa.

Tak pelak, China dituding sedang bersiasat untuk mengukuhkan dominasinya di Laut China Selatan, termasuk dengan berekspansi atau memperluas wilayah maritimnya.

Sebelum insiden ketiga dengan Indonesia pada 17 Juni, China juga punya perkara nyaris serupa dengan Malaysia. Kantor berita Malaysia, Bernama, melaporkan 100 kapal China terdeteksi melanggar wilayah perairan Malaysia di Laut China Selatan pada 25 Maret, di titik yang berjarak kurang dari 100 mil laut dari Serawak di utara Kalimantan, dan 800 mil laut dari Hainan.

Seperti di perairan Natuna, kapal-kapal ikan di perairan Malaysia itu dikawal oleh kapal penjaga pantai China. Soal kapal penjaga pantai China itu, Indonesia melalui Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Muda A Taufiq R, menyatakan curiga kapal penjaga itu merupakan perpanjangan tangan resmi pemerintah China.

Enam hari sebelumnya, 19 Maret, China baru terlibat insiden –yang kedua– dengan Indonesia. Kala itu Kapal Pengawas Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan RI yang hendak menangkap kapal Kway Fey yang diduga mencuri ikan, diintervensi kapal penjaga pantai China dengan menabrak Kway Fey.

Kecurigaan terhadap China memuncak karena awal Maret itu, Vietnam menangkap kapal China yang disebut memasok bahan bakar untuk kapal-kapal nelayan China di perairan Vietnam.

Tangkap ikan, kuasai laut

The Washington Post yang menemui seorang nelayan China di pelabuhan perikanan Tanmen, selatan Hainan, melaporkan betapa sisi ekonomi dan politik dari misi Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan saling berkelindan.

“Itu air kami. Tapi jika kami tidak menangkap ikan di sana, bagaimana kami bisa mengklaim itu wilayah kami?” kata Chen Yuguo, kapten kapal nelayan berusia 50 tahun yang baru kembali dari pelayarannya ke Kepulauan Spratly, salah satu wilayah sengketa di Laut China Selatan.

Hasil tangkapan ikan di Spratly, kata Chen, jauh lebih baik ketimbang di perairan lepas pantai China. Kapal Chen dilengkapi sistem navigasi satelit canggih yang menurutnya disediakan oleh pemerintah China.

Sistem navigasi satelit yang diberikan cuma-cuma untuk sekitar 50 ribu kapal itu membuat nelayan-nelayan China yang mengalami kesulitan di laut, dapat dengan segera mengirim sinyal darurat ke kapal penjaga pantai China. Sinyal itu menunjukkan lokasi persis keberadaan mereka.

Pemerintah China memang murah hati kepada melayan-nelayan mereka. Selain menyediakan sistem navigasi satelit, subsidi bahan bakar minyak diberikan. Pun subsidi untuk membuat kapal pukat baja dengan ukuran lebih besar.

Nelayan-nelayan di Hainan bahkan berkata, kala ketegangan di Laut China Selatan sedang meningkat, pemerintah sering mengirim mereka berlayar ke Spratly dengan pengawasan kapal penjaga pantai China.

“Ketika negara membutuhkan kami, kami akan pergi tanpa berpikir dua kali untuk membela hak-hak kami,” ujar Chen.

Alan Dupont, profesor keamanan internasional di University of New South Wales, Sydney, Australia, menyebut strategi China di Laut China Selatan itu terbagi dalam empat tahap: menangkap (ikan), melindungi (kapal nelayan), menguasai (wilayah), dan mengendalikan (wilayah yang telah dikuasai).

Strategi tersebut belakangan membuat Indonesia, yang sesungguhnya netral dan tak memiliki klaim sengketa di Laut China Selatan, gerah karena ZEE-nya di Natuna ikut diklaim China. Indonesia dan China pun berbalas melayangkan nota protes.

Untuk mencegah upaya ekspansi China lebih dalam ke perairan Natuna, Indonesia segera membangun “benteng.” Pangkalan militer akan dibangun di Natuna sebagai salah satu basis pertahanan terluar negeri itu.

Industri minyak-gas dan perikanan di Natuna pun bakal dibangun besar-besaran. Pemerintah RI bahkan berencana mengirim nelayan-nelayan di pantai utara Jawa ke Natuna untuk memancing di perairan kaya ikan itu.

Guna mematahkan klaim China atas perairan Natuna, Indonesia kini menggunakan pola China: menangkap ikan di Laut Natuna akan jadi bukti bahwa perairan itu berada di bawah kuasa dan kendali Indonesia.


Credit  CNN Indonesia