ANKARA
- Uni Eropa mengkritik keras rencana Pemerintah Presiden Tayyip Erdogan
untuk menghidupkan kembali hukuman mati usai kudeta militer Turki yang
berakhir dengan kegagalan. Erdogan membalas kritik dengan meminta untuk
menengok penerapan serupa di negara maju seperti Amerika Serikat (AS).
Kendati demikian, Presiden Erdogan bersikeras bahwa keputusan Turki
untuk menghidupkan kembali hukuman mati tidak akan mempengaruhi hubungan
dengan Uni Eropa.
”Jika Uni Eropa menghormati demokrasi, itu
akan menerima kehendak rakyat,” katanya. "Dunia ini tidak hanya Uni
Eropa. Apakah Anda memiliki hukuman mati di AS, Rusia, China dan di
banyak negara lain? Ya,” katanya lagi dalam wawancaranya dengan penyiar Al Jazeera yang dikutip Kamis (21/7/2016).
Keputusan untuk menghidupkan kembali hukuman mati di Turki, menurut Erdogan, tergantung keputusan parlemen.
“Jika parlemen membuat keputusan, maka tugas pemerintah yang berkuasa
adalah untuk membuka jalan bagi hukuman ini diperkenalkan kembali.
Orang-orang telah menyuarakan tuntutan ini. Mereka turun ke jalan dan
terus berkata 'hukuman mati, hukuman mati’,” imbuh Erdogan.
Presiden Erdogan juga menolak anggapan bahwa dia menjadi sosok otoriter.
Menurutnya, kudeta merupakan kejahatan terhadap negara dan pembersihan
dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi.
Erdogan mengatakan bahwa demokrasi Turki berada di bawah ancaman. ”Kami
akan tetap berada di dalam sistem parlementer yang demokratis, kami
tidak akan pernah mundur dari itu,” katanya.
”Namun, apa pun itu yang diperlukan untuk perdamaian dan stabilitas bangsa akan dilakukan,” lanjut Erdogan.
Komentar Erdogan muncul menjelang pengumuman status darurat selama tiga
bulan sebagai respons Pemerintah Turki dalam menganggapi kudeta militer
yang gagal.
Credit Sindonews