Kamis, 28 Juli 2016
China Membangkang soal Laut China Selatan, Jokowi Diminta Proaktif
JAKARTA - Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) diminta bermain lebih proaktif dalam manajemen ASEAN untuk mengatasi krisis sengketa Laut China Selatan. Permintaan dari kelompok analis, akademisi, jurnalis dan praktisi kebijakan luar negeri ini muncul setelah China membangkang terhadap putusan Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan.
Putusan Majelis Arbitrase yang diselenggarakan di bawah Annex VII dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) keluar pada 12 Juli 2016 lalu. Putusan itu mengabulkan sebagian besar dari 15 gugatan hukum Filipina terhadap China pada 2013 dan menolak posisi China atas klaim “Nine-Dash Line” Laut China Selatan.
“Kami mengambil pemberitahuan lebih lanjut dari pernyataan Kementerian Luar Negeri Indonesia menyusul putusan, yang menyerukan semua pihak untuk menahan diri, menahan diri dari meningkatnya ketegangan regional, dan menghormati hukum internasional,” bunyi pernyataan kelompok itu yang dirilis online di newmandala, Rabu (27/7/2016).
China seperti diketahui menolak putusan Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag tersebut. China yang mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan menganggap putusan itu tidak sah.
Pemerintah China bahkan memperingatkan Filipina untuk berunding di luar putusan Pengadilan Tetap Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa maritim dan bila menolak konfrontasi bisa pecah.
Kelompok ini mengeluarkan tujuh poin pernyataan atas pembangkangan China terhadap putusan Pengadilan Tetap Arbitrase Laut China Selatan. Tujuh pernyataan itu salah satunya menyerukan kebangkitan kepemimpinan Indonesia di tubuh ASEAN sebagai kunci dalam mengelola Laut China Selatan.
“Kami ingin menyerukan Presiden Joko Widodo untuk sepenuhnya mendukung dan memobilisasi seluruh pembentukan kebijakan luar negeri untuk bermain lebih proaktif, konsisten, dan kepemimpinan produktif dalam manajemen ASEAN dari masalah Laut China Selatan,” bunyi pernyataan kelompok itu.
“Karena kawasan ini terus menjalani masa fluktuasi, terutama setelah putusan Tribunal, tidak ada waktu yang lebih baik bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya terhadap tatanan aturan dan arsitektur regional yang dipimpin ASEAN,” lanjut pernyataan mereka.
Mereka menyadari telah terjadi peredupan “cahaya” ASEAN dan tumbuhnya marjinalisasi dalam mengelola ketegangan di Laut China Selatan.
Kelompok yang menandatangani pernyataan bersama itu terdiri dari Evan A. Laksmana (Peneliti di Pusat Studi Strategis dan Internasional atau CSIS), Dr Dewi Fortuna Anwar (Co-Founder of Foreign Policy Community Indonesia atau FPCI), Jurnalis senior yang juga Ketua Pusat Studi China Rene L Pattiradjawane.
Selanjutnya, Alexander R Arifianto (peneliti pada Lembaga Studi Pertahanan dan Strategis, di Singapura), Alexander C. Chandra (Fellow Associate The Habibie Center), Yohanes Sulaiman (Dosen Universitas Jendral Achmad Yani, Bandung), Beni Sukadis (analis Keamanan Nasional di Lesperssi, Jakarta), Heru Prama Yuda (analis kebijakan luar negeri), Fitriani (Peneliti di Lembaga Pertahanan Keamanan Studi Perdamaian atau IDSPS di Jakarta) dan beberapa akademisi lain.
Credit Sindonews