Kamis, 28 Juli 2016

Turki Kembali Pecat Hampir 1.700 Tentara Terkait Upaya Kudeta

 
Turki Kembali Pecat Hampir 1.700 Tentara Terkait Upaya Kudeta  
Lebih dari 15 ribu orang, termasuk 10 ribu tentara telah ditahan terkait kudeta yang menewaskan 246 orang pada pekan lalu. (Reuters/Umit Bektas)
 
Jakarta, CB -- Turki kembali memberhentikan hampir 1.700 personel militer dan menutup 131 media, yang diduga terkait upaya kudeta pada 15-16 Juli lalu.

Sejauh ini, puluhan ribu orang—termasuk polisi, hakim, guru, telah dipecat atau diskors untuk diselidiki apakah terkait dengan ulama Fethullah Gulen atau tidak.

Gulen, yang kini hidup dalam pengasingan di Pennsylvania, AS, dituding menjadi dalang percobaan kudeta yang gagal itu. Namun Gulen, yang tadinya merupakan sekutu Erdogan, membantah terlibat dalam kudeta itu.

Pada Rabu (27/7), militer memberhentikan dengan tidak hormat tepatnya 1.684 personelnya, menurut seorang pejabat Turki yang berbicara dengan syarat anonim. Di antara mereka, termasuk 149 jenderal dan laksamana yang berarti sekitar 40 persen dari semua jenderal dan laksamana di militer Turki.

CNN Turk melaporkan lebih dari 15 ribu orang, termasuk 10 ribu tentara telah ditahan terkait kudeta yang menewaskan 246 orang dan melukai lebih dari 2.000 orang itu, mengutip menteri dalam negeri Turki.

Selain itu, pemerintah mengatakan bahwa tiga kantor berita, 16 stasiun televisi, 45 surat kabar, 15 majalah, dan 29 usaha penerbitan lain diperintahkan untuk ditutup.

Pada Rabu, sebanyak 47 jurnalis yang dianggap terkait dengan Gulen juga ikut ditahan.

“Jaksa tidak tertarik apa yang ditulis atau dikatakan oleh individu kolomnis ini, kata pejabat itu. “Pada titik ini, alasannya adalah bahwa petinggi di [surat kabar] Zaman sepertinya memiliki pengetahuan intim soal jaringan Gulen dan itu bisa berguna untuk investigasi.”

Langkah Erdogan ini menarik kekhawatiran dari pemerintah negara Barat dan kelompok hak asasi manusia, yang mengkritik Erdogan melakukan pengekangan berlebihan terhadap kebebasan berpendapat.




Credit  CNN Indonesia