Taipei terancam kehilangan kedaulatannya atas Pulau Taiping.
Kepulauan Spratly, yang masih jadi sengketa di Laut China Selatan. China berencana membuka jalur wisata ke pulau ini. (REUTERS/Rolex Dela Pena/Pool)
CB – Putusan Tetap Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, yang menolak klaim China atas klaim ‘9 dash line’ atau garis sembilan putus-putus di Laut China Selatan ternyata berdampak ke wilayah kedaulatan Taiwan.
Pasalnya, Pulau Taiping, pulau terbesar bagian dari mata rantai Kepulauan Spartly di Laut China Selatan, adalah wilayah yang dikelola Taiwan.
Untuk itu, delapan anggota parlemen dari Partai Demokrat Progresif bersama kelompok nelayan Taiwan mengunjungi Taiping sebagai bentuk protes atas putusan arbitrase, hari ini.
"Keputusan ini benar-benar tidak dapat diterima. Kami mempertegas posisi dengan mengunjungi Taiping untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa itu adalah sebuah pulau (kami), bukan batu," kata salah satu anggota parlemen, Johnny Chiang, seperti dikutip situs Channel News Asia, Rabu, 20 Juli 2016.
Secara terpisah, ke delapan anggota parlemen itu menumpang pesawat militer ke Taiping. Sementara, lima orang nelayan berlayar melalui jalur selatan Pingtung. "Mereka (para nelayan) akan tiba dalam waktu lima hari," ungkap Chiang.
Para anggota parlemen itu akan memantau situasi melalui layar monitor di pesawat militer. Chiang juga berjanji akan menempatkan kapal dan pasukan penjaga pantai di Taiping serta fasilitas pendukung di sana.
Pada pekan lalu, Taipei mengirim sebuah kapal perang ke Laut China Selatan sebagai bentuk pertahanan diri dari ancaman. Presiden Tsai Ing-wen berada di dalam kapal tersebut. Langkah ini sehari setelah putusan arbitrase keluar.
Pasalnya, Pulau Taiping, pulau terbesar bagian dari mata rantai Kepulauan Spartly di Laut China Selatan, adalah wilayah yang dikelola Taiwan.
Untuk itu, delapan anggota parlemen dari Partai Demokrat Progresif bersama kelompok nelayan Taiwan mengunjungi Taiping sebagai bentuk protes atas putusan arbitrase, hari ini.
"Keputusan ini benar-benar tidak dapat diterima. Kami mempertegas posisi dengan mengunjungi Taiping untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa itu adalah sebuah pulau (kami), bukan batu," kata salah satu anggota parlemen, Johnny Chiang, seperti dikutip situs Channel News Asia, Rabu, 20 Juli 2016.
Secara terpisah, ke delapan anggota parlemen itu menumpang pesawat militer ke Taiping. Sementara, lima orang nelayan berlayar melalui jalur selatan Pingtung. "Mereka (para nelayan) akan tiba dalam waktu lima hari," ungkap Chiang.
Para anggota parlemen itu akan memantau situasi melalui layar monitor di pesawat militer. Chiang juga berjanji akan menempatkan kapal dan pasukan penjaga pantai di Taiping serta fasilitas pendukung di sana.
Pada pekan lalu, Taipei mengirim sebuah kapal perang ke Laut China Selatan sebagai bentuk pertahanan diri dari ancaman. Presiden Tsai Ing-wen berada di dalam kapal tersebut. Langkah ini sehari setelah putusan arbitrase keluar.
Credit VIVA.co.id