Selasa, 26 Juli 2016

NATO dinilai tidak siap hadapi armada kapal selam Rusia

 
NATO dinilai tidak siap hadapi armada kapal selam Rusia
Kapal selam Rusia kelas Severodvinsk, K-329, generasi keempat dari Project 885 kelas Yasen/Graney. embawa peluru kendali berkepala nuklir yang bisa menjelajah 5.000 kilometer, berbobot mati 13.800 ton, dengan panjang kapal 119 meter dan kecepatan selam 35 knot perjam. (wikipedia.org)
 
Washington (CB) - Setelah Perang Dingin usai, kekuatan kapal selam Pakta Warsawa (Rusia sebagai kekuatan utama) dan NATO sudah berbeda. Namun kekuatan Rusia mulai pelan-pelan bangkit dan NATO dinilai Center for Stretegic and International Studies, tidak siap menghadapi armada kapal selam Rusia. 

Amerika Serikat dan sekutu negara-negara Nordik-nya dinilai juga harus lebih banyak menanamkan investasi tentang teknologi kapal selam, menggelar dan meninjau pola pendidikan dan latihan kapal selam, dan di atas semua itu, menggalang kerja sama lebih intensif di antara mereka. 

Laman www.breakingdefense.com, dikutip di Jakarta dari Washington, Selasa, menyatakan, walau ekonomi Rusia masih dibayangi sanksi dan harga minyak dan gas Bumi merosot tajam sejak 2014, namun kekuatan kapal selamnya tetap mengagumkan. 

Sekali lagi, dalam laporan CSIS itu, disebutkan, jumlah kapal selam Rusia cuma seperlima dari inventori arsenalnya pada 1991, yaitu 56 unit kapal selam ketimbang 240 pada 1991.

Akan tetapi, Rusia telah membangun kader-kader profesional di bidang kapal selam modern. 

Sebut saja produk mereka di kelas Severodvinsk, kapal selam serang-serbu yang bisa dibandingkan dengan kapal selam Amerika Serikat dari kelas USS Virginia, dalam hal persenjataan, teknologi tak kasat mata alias stealth, dan teknologi sonar sebagai mata dan telinga utama kapal selam di kedalaman laut yang gelap. 

Aktivitas armada kapal selam Rusia juga sudah jauh lebih aktif lagi, banyak berlalu-lalang di kedalaman perairan Swedia dan Finlandia, bahkan mendekati pangkalan kapal selam Inggris di Faslane, Skotlandia. Ini dilaporkan menjadi insiden pertahanan negara itu kemudian. 

“Organisasi, hubungan, intelijen, dan kemampuan yang pernah ada untuk mendukung operasionalisasi peperangan anti kapal selam di Atlantik Utara dan Laut Baltik, kini tidak ada lagi,” sebagaimana dinyatakan laporan CSIS dalam www.breakingdefense.com itu. 

Menurut laman itu, ahli sejarah angkatan laut, Norman Polmar, berkata, “Ada dua hal terjadi. Pertama, kapal selam Rusia lebih senyap dan kedua, NATO harus meningkatkan kemampuan kapal selam mereka.” 

Pendapat Polmar diperkuat lagi dengan rekomendasi CSIS, yaitu meningkatkan kerja sama dengan Swedia dan Finlandia melalui forum Kerja Sama Pertahanan Nordik, dan hal-hal lain terkait. 

Inggris Raya sebagai misal, menjadi negara NATO dengan kekuatan laut cukup mengkhawatirkan setelah mereka memensiunkan HMS Illustrious pada 2014 dan pesawat terbang patroli Nimrod-nya pada 2011 lalu. 

Namun, menurut pejabat puncak di Kementerian Pertahanan Inggris, mereka kemudian membangun kapal induk kelas Elizabeth yang lebih mumpuni dan membeli sembilan Boeing P-8 Poseidon, yang kontrak pembeliannya ditandatangani di sela Farnborough Airshon 2016. 

Data CSIS menyatakan, kekuatan kapal anti kapal selam NATO kini cukup minim, yaitu enam unit di Finlandia, Polandia (tujuh unit), Denmark (sembilan unit), Belanda (delapan unit), Norwegia (11 unit), Jerman (12 unit), Swedia (14 unit), Inggris Raya (25 unit), Prancis (29 unit), dan Amerika Serikat di Armada Atlantik (61 unit)



Credit  ANTARA News