Perdana Menteri John Key pun didesak
untuk segera bertindak setelah media lokal menganalisis 61 ribu dokumen
yang berkaitan dengan Selandia Baru dari bocoran data Mossack Fonseca.
(Reuters/Osman Orsal)
Penyelidikan gabungan antara Radio New Zealand, TVNZ, dan jurnalis investigasi, Nicky Hager, ini menunjukkan bahwa Mossack Fonseca secara aktif mempromosikan Selandia Baru sebagai tempat yang baik untuk berbisnis karena status bebas pajak, kerahasiaan tinggi, dan keamanan hukum di negara itu.
Pemimpin partai oposisi di Selandia Baru, Andrew Little, mengatakan bahwa pemerintah harus bertindak untuk "mempertahankan reputasi Selandia Baru dengan menghapus semua sistem yang dapat membuat negara kami terlibat dalam jaringan global penghindar pajak."
Seperti dilansir Reuters pada Senin (9/5), kerangka hukum Selandia Baru memungkinkan negara itu menjadi bagian dari struktur internasional untuk menghindari pajak karena dana asing tidak dikenai pajak di sana.
Selandia Baru memang sudah mulai meninjau kembali aturan dagang asing mereka sejak bulan lalu, setelah Panama Papers menggarisbawahi sejumlah rentannya kerangka hukum negara itu terkait struktur penggelapan pajak internasional. Pasalnya, lembaga pendanaan asing di negara ini tidak dikenai pajak.
Namun, menurut salah satu pemimpin Partai Hijau, James Shaw, peninjauan itu tak berjalan jauh. Ia mendesak Key untuk "berhenti membela industri penghindar pajak."
Kendati demikian, laporan itu menyebutkan bahwa kontak utama Mossack Fonseca adalah dengan Robert Thompson, pendiri dan direktur perusahaan akuntan Bentleys di Selandia Baru. Nama Thompson tertera dalam 45 ribu dokumen Panama Papers.
Menanggapi laporan ini, Thompson mengatakan bahwa sepengalamannya, penggunaan kredit untuk menghindari pajak tidak umum dilakukan dan perusahaannya tak membantu orang menyembunyikan asetnya secara ilegal.
"Saya pikir, asumsi bahwa semua kredit asing Selandia Baru digunakan untuk maksud tidak berdasar dan hanya berdasarkan pada ketidaktahuan," katanya.
Sementara itu, pemerintah di berbagai negara juga memulai penyelidikan atas kemungkinan penyalahgunaan finansial bagi kaum hartawan setelah 11,5 juta dokumen dari Mossack Fonseca itu bocor.
Bocoran itu mengungkap pengaturan finansial dari beberapa tokoh besar, seperti teman dari Presiden Rusia, Vladimir Putin; kerabat Perdana Menteri Inggris, David Cameron; dan Presiden China, Xi Jinping; putra dari Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak; serta Presiden Ukraina, Petro Poroshenko.
Credit CNN Indonesia