CB - Penggunaan hak veto di Dewan Keamanan PBB oleh lima negara, yakni Amerika Serikat, Rusia, Prancis, China dan Inggris terus mengundang kritik. Salah satunya dari Indonesia.
Indonesia bahkan meminta penghapusan Hak Veto DK PBB tersebut yang mengakibatkan tidak demokratisnya keputusan organisasi internasional itu. Hal ini diungkapkan langsung oleh Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia, Hassan Kleib.
"Hak veto sangat tidak demokratis. Indonesia meminta, reformasi (DK PBB) diadakan menyeluruh," sebut Kleib di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (4/2).
Sebagai informasi, hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan, dan undang-undang atau resolusi PBB yang hanya dimiliki lima negara tadi.
"Reformasi bukan hanya penambahan keanggotaan (DK PBB) tapi keseimbangan keterwakilan negara maju dan berkembang dan yang pasti hak veto harus dihapuskan," tuturnya.
Selain tak demokratis, hak veto DK PBB dinilai tidak mewakili suara anggota PBB.
"Ya kita sangat mendukung reformasi DK PBB. Satu, tidak representatif, kurang negara berkembang, padahal dua pertiga anggota PBB adalah negara berkembang. Kedua, tidak demokratis di mana lima negara bisa memutuskan ya apa tidak kepentingan 193 negara dengan hak veto," paparnya.
Walaupun Indonesia mendukung penghapusan hak veto, namun tidak mudah untuk melakukannya. Pasalnya, untuk menghapuskan veto, harus ada persetujuan dari negara pemegang hak ini.
"Tapi kita mengerti hak veto (tak akan dihapus) kecuali dari persetujuan negara pemiliknya," jelasnya.
"Karena itu kami pernah mengusulkan kalau ada anggota tetap baru tak akan dikasih veto dengan artian kita akan keluarkan limitasi regulasi penggunaan hak veto mereka menuju penghapusan," jelas dia.
Hak veto DK PBB merupakan warisan dari Perang Dunia Kedua. Pemberian hak kepada AS, Rusia, China, Inggris dan Prancis dikarenakan lima negara ini dinilai sebagai pemenang perang.
Credit Merdeka.com
Indonesia Dukung Reformasi Dewan Keamanan PBB
CB, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menyatakan
akan terus mendukung langkah-langkah untuk melakukan reformasi dalam
Dewan Keamanan PBB agar menjadi lebih demokratis dan representatif bagi
semua pihak.
"Kita sangat mendukung reformasi Dewan Keamanan PBB karena sekarang masih tidak representatif dan kurang demokratis," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu RI Hasan Kleib, Kamis (4/2).
Hasan mengatakan Indonesia memandang Dewan Keamanan PBB tidak representatif karena kurangnya keterwakilan negara-negara berkembang di dalam DK PBB.
"Padahal dua pertiga dari jumlah negara anggota PBB adalah negara berkembang," ujar dia.
Selanjutnya, dia menilai Dewan Keamanan PBB masih bersifat kurang demokratis akibat adanya penggunaan hak veto dalam pengambilan keputusan pada berbagai kasus.
"Lima negara anggota tetap DK PBB yang merupakan pemegang hak veto bisa membuat keputusan terkait kepentingan 193 negara anggota PBB. Hak veto sangat tidak demokratis," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Hasan, Indonesia mendorong agar reformasi dalam DK PBB dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya dengan melakukan penambahan anggota tetap DK PBB.
"Jadi reformasi itu bukan hanya penambahan keanggotaan, tetapi keseimbangan keterwakilan antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu, hak veto harus dihapuskan," ucap dia.
Namun, Hasan mengaku penghapusan hak veto itu akan sangat sulit dilakukan dalam waktu dekat. Untuk itu, Indonesia mendukung adanya pembatasan penggunaan hak veto dalam beberapa kasus.
"Misalnya, pemilihan Sekjen PBB tidak bisa di-veto karena itu bukan substantif karena bukan dalam keadaan perang," jelas dia.
Selain itu, menurut Hasan, hak veto juga tidak boleh digunakan dalam penanganan kasus-kasus tertentu, seperti genosida dan pembantaian etnis.
"Kita sangat mendukung reformasi Dewan Keamanan PBB karena sekarang masih tidak representatif dan kurang demokratis," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu RI Hasan Kleib, Kamis (4/2).
Hasan mengatakan Indonesia memandang Dewan Keamanan PBB tidak representatif karena kurangnya keterwakilan negara-negara berkembang di dalam DK PBB.
"Padahal dua pertiga dari jumlah negara anggota PBB adalah negara berkembang," ujar dia.
Selanjutnya, dia menilai Dewan Keamanan PBB masih bersifat kurang demokratis akibat adanya penggunaan hak veto dalam pengambilan keputusan pada berbagai kasus.
"Lima negara anggota tetap DK PBB yang merupakan pemegang hak veto bisa membuat keputusan terkait kepentingan 193 negara anggota PBB. Hak veto sangat tidak demokratis," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Hasan, Indonesia mendorong agar reformasi dalam DK PBB dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya dengan melakukan penambahan anggota tetap DK PBB.
"Jadi reformasi itu bukan hanya penambahan keanggotaan, tetapi keseimbangan keterwakilan antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu, hak veto harus dihapuskan," ucap dia.
Namun, Hasan mengaku penghapusan hak veto itu akan sangat sulit dilakukan dalam waktu dekat. Untuk itu, Indonesia mendukung adanya pembatasan penggunaan hak veto dalam beberapa kasus.
"Misalnya, pemilihan Sekjen PBB tidak bisa di-veto karena itu bukan substantif karena bukan dalam keadaan perang," jelas dia.
Selain itu, menurut Hasan, hak veto juga tidak boleh digunakan dalam penanganan kasus-kasus tertentu, seperti genosida dan pembantaian etnis.
Credit REPUBLIKA.CO.ID