Jumat, 09 Oktober 2015

Dalai Lama: Saya Mungkin yang Terakhir


Dalai Lama: Saya Mungkin yang Terakhir Dalai Lama mengatakan bahwa ia mungkin jadi yang terakhir, namun China menurutnya lebih peduli pada institusi Dalai Lama daripada dirinya. (Reuters/Dylan Martinez)
 
Jakarta, CB -- Bagi Dalai Lama ke-14, pemerintah China dirasanya lebih peduli pada institusi Dalai Lama ketimbang siapa yang tengah mengemban nama itu.

"Saya tidak khawatir", Dalai Lama bertutur kepada Christiane Amanpour dari CNN, di London. Ia menambahkan, ada "kemungkinan" dirinya bakal menjadi Dalai Lama yang terakhir.

Menurut pria itu, pemerintah China masih menganggapnya pemimpin politik, seperti Dalai Lama yang sudah-sudah sejak berabad lalu. Namun sejak 2011, ia hanyalah seorang pemimpin spiritual. "Saya sudah secara total pensiun dari tanggung jawab politis—bukan hanya saya yang pensiun, namun juga tradisi empat ratus tahun lamanya." katanya kepada Amanpour.

Buddhisme di Tibet telah hadir jauh sebelum Dalai Lama, dan ia mengatakan, “Di masa depan, Buddhisme Tibet akan tetap ada tanpa Dalai Lama."

Puluhan tahun lalu, Dalai Lama pernah mengatakan kepada Amanpour, "Saya, secara resmi dan sah di depan umum—mengumumkan apakah institusi Dalai Lama harus lanjut atau tidak—(semuanya) tergantung rakyat Tibet."

Dilansir CNN, Rabu (7/10), Amanpour berbincang dengan Dalai Lama sebelum ia dirawat di rumah sakit dan terpaksa membatalkan beberapa agenda di Amerika Serikat. Sementara ia meyakinkan para pengikutnya di Dharamsala, India, bahwa kondisinya sudah “sangat baik.”

Pemerintah China telah lama berselisih dengan pemimpin agama Buddha Tibet itu. Ia dilabeli sebagai "pemecah belah anti-China", serta menuduhnya menginginkan Tibet—yang sekarang berada di bawah  okupasi China—menjadi negara merdeka.


"Kami tidak mencari kemerdekaan. Dalam sejarahnya, kami adalah negara merdeka. Itulah yang diketahui para ahli sejarah—kecuali ahli sejarah pemerintah China; mereka tidak menerima itu."

Bagi Dalai Lama, cap yang diterimanya itu sesuai dengan "kebijakan garis keras" China.

"Masa lalu adalah masa lalu. Kami sedang menuju masa depan."

Tibet, katanya, "miskin secara materi", dan mendapat manfaat karena menjadi bagian dari China.

"Itu merupakan kepentingan kami, untuk perkembangan negara lebih lanjut—asalkan kami tetap punya bahasa dan spiritualitas kami sendiri."

Ketika ditanya apakah dirinya memiliki pesan untuk Presiden China, Xi Jinping, yang saat itu sedang dalam kunjungan negara ke Washington, awalnya ia keberatan.

Sambil tertawa, Dalai Lama berkata pada Amanpour bahwa ia mesti memikirkannya dulu.

"Saya mungkin akan bilang kepada dia, Xi Jinping, pemimpin bangsa dengan populasi terbanyak, harus berpikir lebih realistis."

"Saya ingin mengatakan (kepadanya), tahun lalu, dia berbicara kepada publik di Paris dan New Delhi, (bahwa) Buddhisme adalah bagian yang sangat penting dari kebudayaan China. Dia berkata begitu. Jadi saya juga—mungkin terdengar seperti mendukungnya—berkomentar seperti itu."

Menurutnya, tiada lagi tradisi agama yang amat dijaga dengan "kemurnian otentik" di dunia selain di Tibet.

"Negara Buddha yang lain daripada yang lain. Oleh karenanya di China, pelestarian tradisi Buddha Tibet dan kebudayaan Buddha memberi manfaat yang sangat besar bagi jutaan penganut Buddha di China.”

Tak seperti di Tibet, di negara Buddha lainnya, Myanmar, citra damai para biksu justru tercoreng belakangan ini akibat penganiayaan dan bentrok dengan etnis minoritas Rohingya yang beragama Islam.

Kapanpun seorang Buddha merasa "tak nyaman" dengan Muslim maupun penganut agama lain, kata Dalai Lama, mereka seharusnya mengingat "wajah Buddha".

"Jika Buddha (ada) di sana—ia pasti melindungi, dan membantu para korban. Tidak ada keraguan. Jadi, sebagai seorang Buddha, Anda harus mengikutinya dengan kesungguhan. Kepentingan nasional itu belakangan."

"Anggap mereka sebagai saudara sesama manusia, tidak peduli apa agamanya."

"Bagi sebagian orang, Muslim, Islam, lebih berguna. Biarkan mereka mengikutinya. Kita harus menerima itu."


Credit  CNN Indonesia