ANKARA
- Turki mengatakan telah memecat 10 ribu PNS dan menutup 15 lebih
outlet media karena diduga terkait dengan organisasi teroris dan ulama
yang berbasis di Amerika Serikat (AS) Fethullah Gulen. Gulen dituding
pemerintah Turki sebagai dalang kudeta yang gagal pada bulan Juli lalu.
Berdasarkan
dekrit yang dikeluarkan, media yang dibredel adalah koran dan majalah
yang terbit dari wilayah mayoritas Kurdi di wilayah tenggara Turki .
Total organisasi media yang ditutup sejak aturan keadaan darurat
diberlakukan pada bulan Juli lalu menjadi hampir 160.
Menanggapi
hal itu, partai-partai oposisi menggambarkannya sebagai kudeta itu
sendiri. Tindakan keras pemerintah Turki juga telah memicu keprihatinan
atas fungsi negara.
"Apa yang pemerindah dan Erdogan lakukan
sekarangan adalah kudeta langsung terhadap supremasi hukum dan
demokrasi," kata Sezgin Tanrikulu, seorang anggota parlemen dari oposisi
Partai Republik Rakyat utama (CHP), mengatakan dalam sebuah siaran
Periscope yang diposting di Twitter dikutip dari Reuters, Senin (31/10/2016).
Meluasnya
operasi pembersihan yang dilakukan oleh rezim Erdogan memicu
kekhawatiran kelompok hak asasi manusia dan negara Barat yang menjadi
sekutu Turki. Barat takut jika Erogan akan menggunakan aturan keadaan
darurat untuk memberangus perbedaan pendapat. Namun, pemerintah
mengatakan tindakan tersebut dibenarkan mengingat upaya kudeta 15 Juli
yang menewaskan 240 orang tewas.
Lebih dari 100.000 orang sudah
dipecat atau diskors dan 37.000 ditahan sejak kudeta yang gagal, dalam
tindakan keras yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah Turki
mengatakan tindakan itu diperlukan untuk membasmi semua pendukung
Fethullah Gulen dari aparatur negara. Pemerintah Turki juga menghapuskan
kebijakan pemilihan rektor secara mandiri.
Lale Karabiyik,
anggota parlemen CHP lainnya, mengatakan langkah itu merupakan
penyalahgunaan dari keputusan keadaan darurat. Sedangkan oposisi
pro-Kurdi mengatakan keputusan digunakan sebagai alat untuk membangun
'one-man rezim'.
Credit Sindonews