Kamis, 27 Oktober 2016

Kisruh Filipina-AS, Menang jadi Abu Kalah jadi Arang


Kisruh Filipina-AS, Menang jadi Abu Kalah jadi Arang  
Duterte berkonflik dengan AS melalui ancaman putus hubungan, namun sejatinya kerugian dialami oleh kedua negara jika hal itu terwujud. (AFP Photo/ Ye Aung Thu)
 
Jakarta, CB -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte tak main-main saat mengatakan ingin ‘menjaga jarak’ dengan sekutu terdekatnya selama hampir 65 tahun, Amerika Serikat. Sejak menjabat sebagai Presiden Filipina pada Juni lalu, Duterte memiliki gaya pemerintahan yang bertolak belakang dengan pemimpin sebelumnya, Benigno Aquino III.

Di kala Manila berusaha memperkuat kehadiran AS di kawasan dengan menyetujui pakta pertahanan Enhanced Defence Cooperation Agreement (EDCA) sekitar 2014 lalu, Duterte malah menegaskan keinginannya untuk ‘berpisah’ dengan AS dan merapat ke China dan Rusia.

“Saya umumkan perpisahan saya dengan AS, baik dalam segi militer dan ekonomi. Amerika sudah kalah,” tutur Duterte dalam kunjungan kenegaraan di Beijing, China, Kamis pekan lalu seperti dikutip Reuters.
“Mungkin saya juga akan mendatangi Rusia dan berbicara pada [Presiden Vladimir] Putin bahwa ada tiga negara bersatu menghadapi dunia – China, Filipina, Rusia. Ini satu-satunya cara,” lanjut dia.

Sejak itu Duterte semakin kencang melontarkan sikapnya menjauhi AS. Baru-baru ini dia mengatakan Filipina tidak akan lagi menjadi “anjing” Amerika, untuk menanggapi kritikan dan ancaman penyetopan bantuan oleh Barat. Pemerintah Amerika Serikat memang gencar mengecam Filipina karena kebijakan perang ‘brutal’ Duterte dalam memberantas narkoba yang dianggap melanggar HAM.

Para menteri Filipina memang selalu berusaha mengklarifikasi pernyataan Duterte, namun mantan wali kota Davao itu selalu mengungkapkan makian yang sama terhadap AS. Jika Filipina benar-benar menjauhi AS, maka ini akan jadi kemunduran bagi kebijakan Presiden Barack Obama di Asia, atau yang dikenal dengan nama ‘Pivot to Asia’.
Duterte merapat ke China dalam pertemuan dengan Presiden Xi Jinping. (Reuters/Thomas Peter) 
Duterte merapat ke China dalam pertemuan dengan Presiden Xi Jinping. (Reuters/Thomas Peter)
Dengan kebijakan ini, Obama mengalihkan fokus kebijakan luar negerinya dari Timur Tengah dan beralih ke Asia. Obama ingin mempertahankan eksistensi AS di Asia guna membendung ancaman perkembangan ekonomi dan politik China yang sangat pesat.

“Jika China berhasil membuat Filipina jauh dari AS, ini akan menjadi kemenangan besar bagi usaha Beijing dalam melemahkan aliansi AS di kawasan itu," tutur Penasihat Senior Center for Strategic and International Studies Andrew Shearer, dikutip dari Washington Post.

Menurut Shearer, perpecahan aliansi AS-Filipina dapat mempengaruhi mitra AS lainnya di kawasan. Filipina bukan satu-satunya negara Asia yang akan menjauh dari Amerika.
Salah satunya Thailand yang perlahan namun pasti mulai jaga jarak dengan AS pasca kudeta militer 2014 lalu. Sempat terjadi beberapa insiden diplomatik antara AS dan Thailand. Menurut AS, catatan pelanggaran HAM junta militer menghambat proses demokratisasi di Thailand.

Menurut Direktur Eksekutif Collaborative Innovation Center of South China Sea Studies di Universitas Nanjing, Zhu Feng, mendekatnya Filipina dan Thailand merupakan sinyal positif bagi China, terutama untuk mengamankan misi Beijing di Laut China Selatan (LCS).

Zhu berujar, China akan dengan senang hati meminta Filipina menghentikan penggunaan pangkalan udara militer AS di Palawan. Sekitar 160 kilometer dari Palawan adalah kepulauan Spratly, wilayah sengketa yang telah berdiri pangkalan militer China.

Bagi AS, Palawan sangat penting dalam mengidentifikasi perkembangan sengketa di LCS. Terganggunya operasi militer di Palawan dapat menyulitkan misi AS di kawasan.

Filipina juga merugi

Kerugian atas renggangnya hubungan kedua negara tidak hanya akan dirasakan Amerika Serikat, namun juga Filipina. Menurut ahli ekonomi di Capital Economics, Mark Williams, Filipina akan rugi besar di sektor ekonomi.

Diberitakan CNN, berdasarkan data Kementerian Luar negeri AS, jumlah perdagangan barang dan jasa antara Filipina dan AS mencapai US$25 miliar setiap tahunnya. AS merupakan mitra dagang terbesar bagi Filipina setelah Jepang dan China.

Jika Duterte benar-benar ingin memutuskan hubungan ekonominya dengan AS, Filipina berpotensi kehilangan US$1,3 miliar investasi asing langsung (FDI), belum lagi US$ 150juta bantuan pembangunan dari AS.

"Jika hubungan dengan AS benar-benar terhenti ini akan menjadi kekhawatiran bagi Filipina karena banyak investasi-investasi AS yang mengalir di negara itu," ucap Williams.

Perusahaan-perusahaan AS telah berinvestasi di Filipina lebih dari US$4,7 miliar. Duterte seakan sudah tahu risiko ini, itulah sebabnya dia kian mendekat ke China. Duterte berharap kedekatan dengan China bisa menutupi kerugian akibat putusnya hubungan dengan AS.

Dalam kunjungannya ke Beijing, Duterte menandatangani 13 kesepakatan dagang dan ekonomi dengan China. Menteri Perdagangan dan Industri Filipina Ramon Lopez menyebutkan, perjanjian perdagangan senilai US$13,5 miliar disepakati kedua negara saat Duterte melawat ke negara itu.

Namun, menurut Williams, China tidak akan banyak menolong Filipina. "Fokus Filipina ke China tidak akan menolong karena investasi China di Filipina tidak begitu besar dan relatif lebih kecil," kata Williams.

Artinya, baik AS dan Filipina sama-sama merugi jika memutus hubungan kedua negara, menang jadi abu kalah jadi arang.

Credit  CNN Indonesia