Senin, 31 Oktober 2016

Cerita Dirut PTDI, Bikin Pesawat Perintis Tanpa Bantuan Tenaga Asing



Cerita Dirut PTDI, Bikin Pesawat Perintis Tanpa Bantuan Tenaga Asing
Foto: Agung Pambudhy



Jakarta - PT Dirgantara Indonesia (PTDI) tengah mengembangkan pesawat produksi terbarunya N219, pesawat perintis perdana yang menghubungkan wilayah pedalaman dan kepulauan Indonesia.

Direktur Utama PTDI, Budi Santoso mengatakan, pengerjaan N219 menjadi langkah PTDI dalam melakukan regenerasi kepercayaan kepada para penerus, untuk bisa diberi kepercayaan dalam pengambilan keputusan.

Selama ini, PTDI mengandalkan tenaga kerja asing untuk mengambil keputusan dalam membuat sebuah pesawat, seperti pembuatan pesawat N250.

"N219 adalah suatu yang kita inginkan, kita tidak ingin tergantung tenaga asing. Kalau saya ambil lagi tenaga asing di sini, adik-adik saya ini akan tergantung kalau mendesain pesawat," katanya kepada detikFinance, saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis malam (28/10/2016).

"Yang ada di tempat kami adalah mantan-mantan orang yang mendesain N250. Meskipun situasi dulu berbeda. Waktu kami mendesain N250, ada 300 lebih tenaga asing yang mensupervisi kita. Jadi kalau ada mentor, harus memutuskan sesuatu nggak ada yang memutuskan, harus ada mentor. Bahkan Pak Habibie punya asisten khusus, satu dari Wiena, satu dari Jerman," tambahnya.

Pesawat ini dijadwalkan terbang perdana pada akhir tahun ini. Jadwal ini terbilang molor, lantaran proses desain pesawat terbang jenis fixed wing ini sepenuhnya dikerjakan oleh para ahli Indonesia, dan juga memakan sertifikasi yang lumayan lama.

Dengan mendesain pesawat sederhana N219 ini, diharapkan para karyawan PTDI tidak hanya mempunyai kemampuan untuk mendesain pesawat, tetapi juga keputusan. Kemampuan mengambil keputusan inilah yang paling berat untuk ditimbulkan.

"Karena ini pengalamannya setengah-setengah, mereka butuh waktu lebih lama. Itu makanya saya juga tidak ingin keluar dari keinginan awal, yaitu regenerasi di PTDI," katanya.

Semua komponen yang akan dipasang di pesawat harus ada sertifikasinya yang akan disetujui oleh Kementerian Perhubungan. Namun, badan sertifikasi Kemenhub juga belum punya pengalaman yang sama untuk melakukan ini.

Proses administrasi kemudian menjadi panjang, karena harus memvalidasi teori penerbangan pesawat terbukti menghasilkan yang sesuai dengan teori.

"Waktu membuat N250 dulu, mereka juga mempunyai technical assistant dari FAA dari Amerika. Sekarang mereka nggak punya itu, jadi kita harus sama-sama belajar. Text book berbeda dengan realitas. Jadi ini yang membuat kita agak perlu waktu untuk meyakinkan," ungkapnya.

Saat ini, proses pengerjaan pesawat N219 sendiri telah memasuki tahap akhir, yakni uji statik sayap pesawat.

"Sekarang wings sudah mulai kita tes. Kita statik. Nanti setelah operasional, kita ada dynamic test-nya. Naik turun berapa cycle. Sekarang kita tes berapa kekuatan sayapnya," jelas dia.

Pesawat N219 menjadi pesawat perintis pertama yang memiliki bobot ringan dengan teknologi avionik modern dan berfungsi menghubungkan daerah-daerah terpencil seperti di Papua dan Sulawesi. sendiri

Pesawat ini diproyeksikan untuk penerbangan ke wilayah-wilayah pedalaman pegunungan di timur Indonesia, yang memiliki medan sulit jika ditempuh melalui jalur darat.

"Jarak yang tadinya ditempuh pakai mobil dengan waktu 8 jam, dengan pesawat terbang ini mungkin 1,5 jam. Khususnya daerah timur Indonesia. Akhir tahun kita harapkan bisa melakukan penerbangan perdana," pungkasnya.




Credit  detikFinance