Perompak Somalia
Sejak itu mereka dibawa berpindah-pindah. Selama hampir lima tahun, para sandera nyaris mati kelaparan dan kehausan. Makanan dan minuman dibatasi. Di tengah tengah kondisi Somalia yang panas terik dan gersang, para sandera hanya diberi air setengah gelas setiap hari. Termasuk untuk keperluan setiap hari seperti mandi dan sikat gigi.
Mereka juga hanya diberi nasi tanpa lauk pauk.
Pagi hari hanya diberi selembar roti India. Kadang karena kering, air teh mereka jadikan kuah. Dari 29 ABK yang disandera, selain satu yang tewas saat diserang, dua lagi meninggal karena sakit malaria. Salah satunya, Nasirin, 34 tahun, anak buah kapal asal Cirebon, Indonesia. Sisanya yang bertahan, empat dari Indonesia, yang lain Cina, Filipina, Vietnam, Taiwan dan Kamboja.
“Mereka semua menderita malnutrisi,” kata John Steed, dari Ocean Beyond Piracy, organisasi yang membantu pembebasan para sandera.
Sejak penyanderaan terjadi 26 Maret 2012, Somalia waktu itu dibawahi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo, Mesir. Saat itu KBRI Kairo berusaha berkomunikasi dengan sandera. Namun sulit karena hanya parsial. Selain Kairo, KBRI Riyadh, Arab Saudi dan KBRI Nairobi, Kenya juga berupaya namun tak berhasil juga.
Segera setelah mengetahui kasus tersebut, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi pun meminta restu dari presiden agar upaya pembebasan keempatnya bisa dimaksimalkan.
Presiden Joko Widodo meminta agar Menlu Retno memastikan upaya pembebasan keempat sandera diintensifkan. Tanpa hingar bingar pemberitaan media. Menlu meminta Badan Intelijen Negara (BIN) ikut disertakan dalam operasi. Kawat pun dikirim ke KBRI Singapura, KBRI Beijing, Cina, juga KBRI Oman serta Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, yang mengurus kekonsuleran warga Indonesia di Taiwan. Juga segala operator pemilik kantor. Intinya meminta pertanggung jawaban pemilik kapal dan apa rencana penyelesaiannya.
Namun sayang, perusahaan ternyata sudah tutup atau dibangkrutkan. Tidak ada satu pun mantan direktur yang dapat dihubungi. Jadi pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab tak ada.Karena negara tidak mungkin bernegosiasi dengan penjahat dan tidak mungkin membayar tebusan maka dicarilah mitra, untuk melakukan operasi pembebasan dan pendanaan.
Adapun Ocean Beyond Piracy dipilih sebagai lembaga yang melakukan upaya pembebasan. Organisasi itu pernah membebaskan kapal MV Albedo pada 2014. John Steed , ketuanya juga pernah menjadi atase militer Inggris di Kenya.
Setelah orang yang menangani operasional pembebasan diperoleh, BIN menggandeng firma hukum Holman Fenwick Willan yang berpusat di Hong Kong. Firma hukum ini berpengalaman dalam masalah perkapalan termasuk dengan isu penyanderaan.
Dari 26 kasus serupa sebagian besar dana diperoleh dari asuransi penculikan dan tebusan.Namun, sayangnya Naham 3 tidak diasuransi. Firma HFW lalu mencari jalan lain dengan mendorong sejumlah lembaga nirlaba ikut berperan mencarikan donatur. Yayasan-yayasan itulah yang bergerak.
Ada keharuan di antara para sandera saat mereka berpisah di bandara. Lima tahun, banyak duka yang ditanggung bersama. Ada sandera dari Cina yang menderita stroke yang mereka gendong bergantian. Ada sandera dari Kamboja yang tertembak kakinya.
Adapun empat anak buah kapal dari Indonesia, Sudirman, 24 tahun, asal Batam, Supardi, 34 tahun asal Cirebon, Adi Manurung, 32 tahun asal Medan dan Elson Pesireron, 32 tahun asal Seram, Maluku berencana beranjangsana ke rumah orang tua Nasirin.
Setelah Nasirin meninggal, penyandera sempat akan membuang barang-barangnya. Namun, keempatnya mencegah dan menyimpannya.
Credit TEMPO.CO