Kurangnya standard etika di Amerika Serikat terlihat jelas dalam debat presiden, kata Rouhani, sebagaimana diberitakan Xinhua. Ia berbicara dalam satu pertemuan di Kota Arak, Iran Tengah, pada Ahad.
"Kita telah menyaksikan cara calon (presiden AS) berbicara, menuduh dan (saling) mencemooh; dan ini adalah proses pemilihan umum serta demokrasi Amerika," kata Rouhani sebagaimana dikutip.
Pada 20 Oktober, Pemimpin Spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei juga mengecam retorika calon presiden AS selama debat mereka.
"Kampanye pemilihan umum di Amerika dan masalah yang diangkat oleh kedua calon merupakan contoh dan bukti jelas mengenai konsekuensi kurangnya kerohanian dan kepercayaan di kalangan mereka yang berkuasa," kata Khamenei --yang dikutip kantor berita Tasnim.
Pemilihan presiden AS ditetapkan dilaksanakan pada 8 November.
Credit ANTARA News
Presiden Iran sebut Clinton dan Trump pilihan buruk dan lebih buruk
"Di PBB, pemimpin sebuah negara bertanya kepada saya kandidat mana yang saya jagokan. Saya menjawab: 'Saya memilih yang buruk ketimbang yang lebih buruk, atau yang lebih buruk ketimbang yang buruk?'" ujar Rouhani dalam pidato di daerah Arak, Iran tengah, seperti dilansir AFP.
Pemimpin Iran tersebut mengatakan ia muak dengan cara kedua kandidat yang saling menuduh dan menghina.
"Apa kita menginginkan demokrasi semacam ini di negara kita? Pemilu semacam ini?” ujar Rouhani.
Rouhani menyebut tidak ada moralitas di AS dan menuding negara tersebut berpura-pura menerapkan demokrasi selama 200 tahun.
Rouhani melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat termasuk menandatangani kesepakatan nuklir pada tahun lalu dengan negara-negara adidaya. Kesepakatan tersebut berujung dengan pencabutan sanksi dan memberikan secercah harapan Iran akan kembali ke kancah internasional.
Dalam kampanyenya, Trump berjanji membatalkan kesepakatan nuklir dengan Teheran dan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei kemudian merespons ia akan dengan senang hati memusnahkan kesepakatan tersebut jika seperti itu kemauan presiden baru Amerika Serikat.
Credit ANTARA News