CB — Mata laki-laki itu tak berkedip. Lama ia memandangi benda di tangannya yang mirip mainan anak-anak.
Diutak-atiknya sebentar, lalu terbanglah "mainan" itu ke udara. Kedua tangannya sibuk, seolah sedang mengendarai kendaraan. Benda itu pelan-pelan terus naik ke langit.
Hanya beberapa detik kemudian, "mainan" yang tak lain adalah drone atau pesawat tak berawak yang dilengkapi kamera dan dikendalikan dari jarak jauh itu sudah hilang dari pandangan. Sambil merunduk, mata lelaki bernama Irendra Radjawali itu melihat-lihat layar komputer, mengawasi peredaran drone itu di udara.
"Dengan merakit drone sendiri, kami bisa mereduksi biaya dan secara otomatis ilmunya juga didapat dan bisa dibagikan kepada masyarakat demi kepentingan sosial kemasyarakatan," tutur Radja, Rabu (13/4/2016) pekan lalu.
Harga drone yang saat ini beredar di pasaran memang terbilang mahal. Namun, dengan daya kreativitasnya, Radja berhasil merakit pesawat tak berawak itu dengan biaya jauh lebih murah. Drone buatannya hanya dijual seharga Rp 15 juta sampai Rp 20 juta, sementara di pasaran harganya bisa lebih dari itu.
"Saya ingin Indonesia tidak ketinggalan dalam perkembangan teknologi dan bisa memproduksi drone sendiri," ujar Radja.
Lompatan
Radja menamatkan pendidikan tingginya di Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Teknik Sipil, pada 2002. Pada 2004, laki-laki kelahiran Malang, 8 September 1974, itu kemudian melanjutkan studi S-2 planologi di perguruan tinggi yang sama (2004).
Setahun kemudian, Radja mendapat beasiswa ke Perancis. Tamat dari Perancis, pada 2008, dia juga menerima beasiswa ke Jerman (2008) untuk belajar S-3 mengenai ekologi politik.
Selesai tamat S-3, Radja mengerjakan beberapa proyek pemetaan kawasan di Kalimantan. Saat itulah, dia melihat kebutuhan untuk bisa memanfaatkan drone, sebelum akhirnya menemukan jalan yang lebih terbuka lebar lewat DSC.
Memang, lompatan dalam "karier" Radja dengan drone terjadi saat dia memenangi Wismilak Diplomat Success Challenge (DSC) 2015 lalu. Dia memenangi kompetisi itu lewat desain MATA atau Mesin Terbang Tanpa Awak atau drone.
Atas kemenangannya itu, Radja mendapat dana hibah sebesar Rp 500 juta. Lewat DSC, pria kelahiran Malang yang tinggal di Bandung itu kemudian merealisasikan ide-ide bisnisnya, yaitu membuat drone berbiaya jauh lebih murah dari yang kini beredar di pasaran.
"Manusia merupakan pusat dari teknologi itu sendiri. Ketika teknologi tak lagi melayani manusia atau malah menjadikan orang terlalu bergantung pada teknologi tersebut, maka hal tersebut menjadi paradoks," ujar Radja.
"Saya tidak percaya bahwa untuk berteknologi itu, orang harus selalu bersekolah setinggi mungkin. Namun, saya juga tidak mengatakan bahwa orang tidak perlu sekolah. Intinya, berteknologi itu bisa dilakukan oleh siapa saja, yang mau berpikir dan peduli terhadap suatu gagasan-gagasan yang timbul dari dalam diri," tambahnya.
Hal itulah yang memicu Radja mencoba menularkan semua ilmu yang telah didapatnya kepada masyarakat. Dia ingin menerapkan transfer of knowledge kepada siapa pun anggota masyarakat yang membutuhkan di berbagai pelosok daerah, khususnya dalam bidang pengolahan data. Dia tak peduli apa pun latar belakang pendidikan masyarakat tersebut.
Mulailah dia membangun kelompok-kelompok masyarakat di beberapa daerah dengan nama Akademi Drone. Lewat komunitas itu, dia berharap bisa menularkan kepedulian dan keberhasilannya dalam menyederhanakan teknologi pembuatan drone.
"Saya ingin Indonesia tidak ketinggalan dalam perkembangan teknologi dan bisa memproduksi drone sendiri,” ungkap Radja.
Tak terbilang, daerah-daerah di pelosok sudah dijelajahinya dengan drone buatannya itu. Sejumlah daerah di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, serta beberapa pulau lainnya sudah merasakan manfaat drone buatannya.
Melalui berbagai institusi di daerah-daerah tersebut, drone buatan Radja menjadi begitu memasyarakat. Drone, teknologi mutakhir yang tak terjangkau harganya itu, kini dia perkenalkan secara akrab kepada masyarakat.
Gunung api
Sukses dengan Akademi Drone di beberapa daerah Indonesia, nama Radja semakin berkibar. Bahkan, Aliansi Masyarakat Adat Amerika Tengah langsung memintanya membuat Akademi Drone di wilayah tersebut untuk membantu menyelesaikan permasalahan di daerah-daerah tapal batas Indonesia dengan teknologi drone murah buatannya.
Tak hanya itu. Kini Radja tengah disibukkan dengan persiapan proyek kerja sama dengan Balai Sabo, Kementerian Pekerjaan Umum RI, untuk mitigasi bencana longsor letusan gunung api dengan menggunakan drone. Proyek berskala nasional tersebut akan dimulai dari Gunung Sinabung di Sumatera Utara, dan selanjutnya 129 gunung api di seluruh Indonesia.
Radja menuturkan, kepiawaiannya mengolah data memang dimanfaatkannya untuk membantu mencarikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi, khususnya dari sisi data spasial. Data spasial merupakan data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference). Dalam hal itu, berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit spasial.
Saat ini, data spasial menjadi media penting untuk perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan pada cakupan wilayah kontinental, nasional, regional, ataupun lokal. Pemanfaatan data spasial itu kian meningkat setelah adanya teknologi pemetaan digital dan pemanfaatannya pada sistem informasi geografis.
Menurut Radja, metodologi data penginderaan jarak jauh yang bersumber dari citra satelit memang bagus. Hanya, data hasil metodologi itu masih memiliki keterbatasan dari sisi presisi.
"Kalau selama ini data dipahami hanya sekadar numerik dan tekstual, saya melihat ada data lain yang juga sangat penting untuk melengkapi proses pembangunan, yaitu data spasial atau ruang," ujarnya.
"Ruang itu mengejawantah dalam bentuk peta. Jadi, saya fokus ke data spasial dengan memanfaatkan drone karena adanya kebutuhan kami sebagai peneliti terhadap data spasial yang bisa diproduksi sendiri dengan metode ilmiah, dan cukup murah, dengan presisi yang tinggi," tambahnya.
Dengan merakit drone sendiri, lanjut Radja, dia bisa mereduksi biaya. Selain itu, secara otomatis, ilmunya pun bisa dia bagikan kepada masyarakat demi kepentingan sosial kemasyarakatan.
Radja mengaku tidak menampik soal banyaknya tawaran mengalir dari luar negeri. Proses metodologi pemetaannya dianggap unik dan tidak bisa didapatkan secara sembarangan.
Contohnya adalah data yang dia dapatkan dari aplikasi kamera near infrared (NIR). Radja mengaplikasikan NIR itu pada drone buatannya.
"Dengan ini (NIR), kami bisa memetakan misalnya pada lahan pertanian untuk mengetahui mana tanaman padi yang sakit. Jadi, petani tidak perlu memberi pupuk pada keseluruhan lahan padi tersebut, tetapi cukup pada tanaman yang sakit sehingga bisa menghemat biaya cukup besar," katanya.
Kini, Radja juga sibuk menggarap proyek-proyek yang sudah berjalan di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu yang akan dia garap adalah pemetaan wilayah adat di Republik Indonesia, yang diprakarsai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama pemerintah. Bersama-sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO lainnya, dia juga tengah sibuk mempersiapkan proyek pemetaan ekosistem gambut dan mitigasi bencana letusan gunung api.
"Saya juga berharap, akan muncul lebih banyak lagi para entrepreneur sosial yang tidak hanya berorientasi profit, tetapi juga benefit, dalam arti bisa bermanfaat bagi orang lain. Harapan saya, ketimpangan sosial bisa diminimalkan di negeri ini," ujarnya.
Diutak-atiknya sebentar, lalu terbanglah "mainan" itu ke udara. Kedua tangannya sibuk, seolah sedang mengendarai kendaraan. Benda itu pelan-pelan terus naik ke langit.
Hanya beberapa detik kemudian, "mainan" yang tak lain adalah drone atau pesawat tak berawak yang dilengkapi kamera dan dikendalikan dari jarak jauh itu sudah hilang dari pandangan. Sambil merunduk, mata lelaki bernama Irendra Radjawali itu melihat-lihat layar komputer, mengawasi peredaran drone itu di udara.
"Dengan merakit drone sendiri, kami bisa mereduksi biaya dan secara otomatis ilmunya juga didapat dan bisa dibagikan kepada masyarakat demi kepentingan sosial kemasyarakatan," tutur Radja, Rabu (13/4/2016) pekan lalu.
Harga drone yang saat ini beredar di pasaran memang terbilang mahal. Namun, dengan daya kreativitasnya, Radja berhasil merakit pesawat tak berawak itu dengan biaya jauh lebih murah. Drone buatannya hanya dijual seharga Rp 15 juta sampai Rp 20 juta, sementara di pasaran harganya bisa lebih dari itu.
"Saya ingin Indonesia tidak ketinggalan dalam perkembangan teknologi dan bisa memproduksi drone sendiri," ujar Radja.
Lompatan
Radja menamatkan pendidikan tingginya di Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Teknik Sipil, pada 2002. Pada 2004, laki-laki kelahiran Malang, 8 September 1974, itu kemudian melanjutkan studi S-2 planologi di perguruan tinggi yang sama (2004).
Setahun kemudian, Radja mendapat beasiswa ke Perancis. Tamat dari Perancis, pada 2008, dia juga menerima beasiswa ke Jerman (2008) untuk belajar S-3 mengenai ekologi politik.
Selesai tamat S-3, Radja mengerjakan beberapa proyek pemetaan kawasan di Kalimantan. Saat itulah, dia melihat kebutuhan untuk bisa memanfaatkan drone, sebelum akhirnya menemukan jalan yang lebih terbuka lebar lewat DSC.
Memang, lompatan dalam "karier" Radja dengan drone terjadi saat dia memenangi Wismilak Diplomat Success Challenge (DSC) 2015 lalu. Dia memenangi kompetisi itu lewat desain MATA atau Mesin Terbang Tanpa Awak atau drone.
Atas kemenangannya itu, Radja mendapat dana hibah sebesar Rp 500 juta. Lewat DSC, pria kelahiran Malang yang tinggal di Bandung itu kemudian merealisasikan ide-ide bisnisnya, yaitu membuat drone berbiaya jauh lebih murah dari yang kini beredar di pasaran.
"Manusia merupakan pusat dari teknologi itu sendiri. Ketika teknologi tak lagi melayani manusia atau malah menjadikan orang terlalu bergantung pada teknologi tersebut, maka hal tersebut menjadi paradoks," ujar Radja.
"Saya tidak percaya bahwa untuk berteknologi itu, orang harus selalu bersekolah setinggi mungkin. Namun, saya juga tidak mengatakan bahwa orang tidak perlu sekolah. Intinya, berteknologi itu bisa dilakukan oleh siapa saja, yang mau berpikir dan peduli terhadap suatu gagasan-gagasan yang timbul dari dalam diri," tambahnya.
Hal itulah yang memicu Radja mencoba menularkan semua ilmu yang telah didapatnya kepada masyarakat. Dia ingin menerapkan transfer of knowledge kepada siapa pun anggota masyarakat yang membutuhkan di berbagai pelosok daerah, khususnya dalam bidang pengolahan data. Dia tak peduli apa pun latar belakang pendidikan masyarakat tersebut.
Mulailah dia membangun kelompok-kelompok masyarakat di beberapa daerah dengan nama Akademi Drone. Lewat komunitas itu, dia berharap bisa menularkan kepedulian dan keberhasilannya dalam menyederhanakan teknologi pembuatan drone.
"Saya ingin Indonesia tidak ketinggalan dalam perkembangan teknologi dan bisa memproduksi drone sendiri,” ungkap Radja.
Tak terbilang, daerah-daerah di pelosok sudah dijelajahinya dengan drone buatannya itu. Sejumlah daerah di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, serta beberapa pulau lainnya sudah merasakan manfaat drone buatannya.
Melalui berbagai institusi di daerah-daerah tersebut, drone buatan Radja menjadi begitu memasyarakat. Drone, teknologi mutakhir yang tak terjangkau harganya itu, kini dia perkenalkan secara akrab kepada masyarakat.
Gunung api
Sukses dengan Akademi Drone di beberapa daerah Indonesia, nama Radja semakin berkibar. Bahkan, Aliansi Masyarakat Adat Amerika Tengah langsung memintanya membuat Akademi Drone di wilayah tersebut untuk membantu menyelesaikan permasalahan di daerah-daerah tapal batas Indonesia dengan teknologi drone murah buatannya.
Tak hanya itu. Kini Radja tengah disibukkan dengan persiapan proyek kerja sama dengan Balai Sabo, Kementerian Pekerjaan Umum RI, untuk mitigasi bencana longsor letusan gunung api dengan menggunakan drone. Proyek berskala nasional tersebut akan dimulai dari Gunung Sinabung di Sumatera Utara, dan selanjutnya 129 gunung api di seluruh Indonesia.
Radja menuturkan, kepiawaiannya mengolah data memang dimanfaatkannya untuk membantu mencarikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi, khususnya dari sisi data spasial. Data spasial merupakan data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference). Dalam hal itu, berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit spasial.
Saat ini, data spasial menjadi media penting untuk perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan pada cakupan wilayah kontinental, nasional, regional, ataupun lokal. Pemanfaatan data spasial itu kian meningkat setelah adanya teknologi pemetaan digital dan pemanfaatannya pada sistem informasi geografis.
Menurut Radja, metodologi data penginderaan jarak jauh yang bersumber dari citra satelit memang bagus. Hanya, data hasil metodologi itu masih memiliki keterbatasan dari sisi presisi.
"Kalau selama ini data dipahami hanya sekadar numerik dan tekstual, saya melihat ada data lain yang juga sangat penting untuk melengkapi proses pembangunan, yaitu data spasial atau ruang," ujarnya.
"Ruang itu mengejawantah dalam bentuk peta. Jadi, saya fokus ke data spasial dengan memanfaatkan drone karena adanya kebutuhan kami sebagai peneliti terhadap data spasial yang bisa diproduksi sendiri dengan metode ilmiah, dan cukup murah, dengan presisi yang tinggi," tambahnya.
Dengan merakit drone sendiri, lanjut Radja, dia bisa mereduksi biaya. Selain itu, secara otomatis, ilmunya pun bisa dia bagikan kepada masyarakat demi kepentingan sosial kemasyarakatan.
Radja mengaku tidak menampik soal banyaknya tawaran mengalir dari luar negeri. Proses metodologi pemetaannya dianggap unik dan tidak bisa didapatkan secara sembarangan.
Contohnya adalah data yang dia dapatkan dari aplikasi kamera near infrared (NIR). Radja mengaplikasikan NIR itu pada drone buatannya.
"Dengan ini (NIR), kami bisa memetakan misalnya pada lahan pertanian untuk mengetahui mana tanaman padi yang sakit. Jadi, petani tidak perlu memberi pupuk pada keseluruhan lahan padi tersebut, tetapi cukup pada tanaman yang sakit sehingga bisa menghemat biaya cukup besar," katanya.
Kini, Radja juga sibuk menggarap proyek-proyek yang sudah berjalan di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu yang akan dia garap adalah pemetaan wilayah adat di Republik Indonesia, yang diprakarsai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama pemerintah. Bersama-sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO lainnya, dia juga tengah sibuk mempersiapkan proyek pemetaan ekosistem gambut dan mitigasi bencana letusan gunung api.
"Saya juga berharap, akan muncul lebih banyak lagi para entrepreneur sosial yang tidak hanya berorientasi profit, tetapi juga benefit, dalam arti bisa bermanfaat bagi orang lain. Harapan saya, ketimpangan sosial bisa diminimalkan di negeri ini," ujarnya.
Credit KOMPAS.com