Kamis, 18 Februari 2016

Pesawat UAV masih belum mampu gantikan pesawat MPA


Pesawat UAV masih belum mampu gantikan pesawat MPA
Swordfish MPA dari Saab dengan basis Bombardier Global 6000 tengah mengudara. Dia diterbangkan dua pilot dengan empat operator alat, untuk melksanakan multi misi sekaligus pada saat bersamaan, di antaranya misi anti kapal permukaan dan kapal selam, SAR maritim, dan anti terorisme dari laut. (saab.com)
 
Changi, SIngapura (CB) - "UAV dengan segala perkembangannya memang telah dan terus terjadi sampai hari ini dan ke depan. Namun untuk fungsi MPA dan sistem lain terkait yang lebih kompleks, UAV masih belum bisa menggantikan pesawat terbang MPA ini," kata VP Bisnis Unit Airborne Saab, Joakim Mevius, menjawab wartawan antaranews.com, di sela Singapore Air Show 2016, Rabu. 

Saab sebagai salah satu produsen sistem pertahanan dari Swedia pada Singapore Air Show 2016 mengenalkan beberapa sistem mereka, di antaranya sistem GlobalEye (pengembangan jauh lebih canggih ketimbang pendahulunya, EriEye), dan Swordfish MPA, sebagai kesatuan sistem patroli udara maritim. 

Sejak awal disadari oleh kalangan penginderaan dan pengamatan pada dunia kemiliteran bahwa untuk patroli maritim, masalah ketahanan operasional dalam jangka waktu lama —baik dari sisi pesawat terbang ataupun manusia pengawaknya— menjadi hal krusial yang harus dipecahkan. 

Demikian juga dengan ketinggian jelajah operasional, dengan prinsip penting: presisi dan ketepatan data yang diperoleh ada pada ketinggian rendah. 

Swordfish MPA diberi motto See First Act First, yang memang menjadi semboyan banyak konsep dan doktrin pertahanan modern pada perang masa kini. Peran sektor digital dan pengolahan data digital menjadi sangat sentral, dan sensor-sensor dan sistem analisis tentang ini menjadi medan perang tersendiri di kalangan pabrikan alat-alat pertahanan dunia. 

Sebagai misal, rasar AESA 360 derajad dengan moda multi fungsi, sistem penjejakan data akustik, head-up display bersensor optik electronik/infra merah dengan panduan laser terpadu, dan sistem misi sistem C4, komunikasi satelit yang mumpuni, dan opsi data link, dan sebagainya dibenamkan dalam sistem Swordfish MPA ini. 

Produk akhirnya adalah peningkatan dalam hal kesiapsiagaan dan kewaspadaan lingkungan maritim operatornya, yang diinginkan lebih unggul ketimbang lawan. Inilah sebabnya, kata Melvius, pijakannya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu memakai pesawat jet bisnis Bombardier Global 6000 atau Bombardier Dash 8 Q400 yang berbaling-baling. 

Istimewa pada Bombardier Global, yang diberi empat cantelan untuk menggantungkan senjata pamungkas torpedo anti kapal permukaan dan kapal selam, sehingga dia juga bisa melaksanakan operasi preemptif jauh dari pangkalannya. 

Dilihat dari data teknis yang diberikan, sistem Swordfish MPA berbasis Bombardier Global ini memiliki jarak operasi hingga 4.400 mil laut, kecepatan maksimal 450 knot/jam, dan ketinggian hingga 37.000 kaki dari permukaan laut, serta lama penerbangan misi hingga belasan jam. 

“Namun harap diingat bahwa ketinggian rendah menjadi kunci jawaban atas tuntutan hasil pengamatan yang akurat dan analisis yang bisa dijadikan pegangan. Operasi pesawat terbang MPA kebanyakan ada pada ketinggian rendah,” katanya. 

Pesawat terbang militer UAV (Unmanned Aerial Vehicle) saat ini memang sudah sangat canggih dan mematikan. Contohnya adalah MQ-9 Reaper dari General Atomics, Amerika Serikat, yang dikatakan sebagai pijakan penting dalam misi intelijen, pengamatan, dan penyerbuan terbatas yang sebelumnya banyak dilakukan pesawat terbang militer konvensional. 

Perang Dingin menghasilkan banyak lompatan teknologi, di antaranya teknologi pengamatan dan intelijen jarak jauh, dengan produk-produknya semisal SR-71A Blackbird dari Lockheed, dan U-2 Dragonlady

Namun kehilangan pilot —karena kecelakaan misi atau malah ditembak jatuh lawan— jelas hal yang sangat merugikan, karena mereka terbang jauh di belakang garis pertahanan lawan. Mereka disandera dan menjadi materi kampanye yang sangat menguntungkan lawan. 

UAV membantu mencegah hal ini terus terjadi. 

Akan tetapi, untuk misi patroli maritim, ceritanya bisa sangat berbeda. Laut menjadi wilayah yang jauh dari pengamatan manusia secara langsung namun justru menjadi arena pertarungan kepentingan dan wahana yang sangat kompleks, rumit, dan menentukan. Bisakah diramalkan kehadiran kapal selam hanya dengan mengandalkan pengamatan visual? 

Untuk itulah maka hadir pesawat terbang militer dengan kemampuan patroli maritim, dengan fungsi utama pada masa-masa awalnya adalah mendeteksi kehadiran kapal-kapal perang lawan di permukaan.

Dan lalu dikembangkan menjadi patroli anti kapal selam dengan penerapan subsistem deteksi akustik melalui ambangan (buoy) yang ditarik atau dilepas begitu saja namun mampu memancarkan gelombang hasil tangkapan alat itu. 

Akan tetapi, kemudian cukup jarang sistem MPA yang mampu melakukan misi dengan multi kemampuan, mulai dari anti kapal selam, SAR maritim, kontra terorisme dari laut, anti pembajakan dan penyelundupan, dukungan pasukan dan operasi khusus, pemantauan ZEE, hingga menghalau anasir yang membahayakan kepentingan nasional operatornya. 

“Berbagai alat dan subsistem yang terlibat untuk itu sangat banyak, rumit, besar, dan berat. Inilah yang menyatakan, mengapa UAV belum bisa dijadikan pijakan pokok menggantikan pesawat terbang militer MPA,” kata Mevius.



Credit  ANTARA News