Jumat, 05 Februari 2016

Indonesia Simpan Potensi Thorium Hingga 270.000 Ton



Ilustrasi Thorium.
Ilustrasi Thorium. (The Telegraph) 

Jakarta - Indonesia ternyata menyimpan potensi thorium yang diperkirakan akan menjadi sumber energi masa depan pada logam tanah jarang yang berada di Bangka, Kalimantan Barat, Mamuju Sulawesi Barat. Potensi thorium di Indonesia bahkan diperkirakan mencapai 270.000 ton.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan, di Indonesia dan di berbagai negara belahan dunia, kandungan thorium lebih banyak 3-4 kali dibanding uranium.
"Hal ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa thorium lebih mempunyai prospek masa depan," katanya di kantor Batan, Jakarta, Kamis (4/2).
Namun ketika akan dikembangkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) masih harus melewati kajian panjang. Sebab thorium saat bereaksi tetap membutuhkan peran uranium.
Di samping itu, untuk mengetahui potensi dan ekuivalensinya menjadi sumber energi listrik masih perlu diteliti lebih lanjut. Djarot menambahkan, untuk mengali potensi thorium di Indonesia membutuhkan biaya besar sekitar Rp 3 miliar per tahunnya.
Apalagi saat ini Batan sedang mempersiapkan dengan matang pembangunan reaktor daya eksperimental (RDE) berkapasitas 10 megawatt yang rencananya di bangun di Serpong, Tangerang Selatan.
"Kita akan fokus pada RDE dulu. RDE ini akan diujicoba dengan uranium baru nantinya dengan thorium," ucap Djarot.
Saat ini lanjutnya, memang belum ada satu pun negara di dunia yang mengoperasikan PLTT. Hanya ada perusahaan-perusahaan kecil di Tiongkok dan India yang memanfaatkan thorium namun belum berupa PLTT.
Djarot mengungkapkan, dengan dimunculkannya potensi thorium ini, Batan ingin memperlihatkan perhatian dunia yang juga mulai melihat potensi thorium sebagai sumber energi masa depan.




Credit  Beritasatu

Energi dari Thorium Belum Dikomersilkan

Jakarta - Pemanfaatan thorium untuk energi nampaknya masih perlu jalan panjang. Sebab, meski penelitian thorium sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada yang secara penuh mengaplikasikannya secara komersial.
Pakar International Atomic Energy Agency (IAEA), Matt Krause, berpendapat, bahwa dari sisi fisik thorium jauh lebih bagus dari uranium. Potensi thorium di dunia pun bisa mencapai 3-4 kali lipat dari uranium.
"Namun thorium bukan fisil yang bisa membelah dan butuh neutron. Karena titik leburnya tinggi ada kerumetan sifat kimia tapi sifatnya lebih stabil," katanya di kantor Batan, Kamis (4/2).
Bahkan menurutnya, jika dikombinasikan dengan uranium kemanfaatannya thorium lebih lama. Namun untuk sampai ke arah sana, banyak tantangan yang harus dipecahkan.
Ia menambahkan, mengenai aspek keselamatan amat bergantung teknologi yang digunakan. Aspek keamanan dan keselamatan merupakan hal utama yang IAEA tekankan.
Pembangkit listrik berbahan bakar thorium sudah mulai dikembangkan pada tahun 1965 oleh Glen Seaborg di Oak Ridge National Laboratory, Amerika Serikat dengan memanfaatkan thorium dalam bentuk cair.
Setelah beberapa tahun pengoperasiannya dihentikan. Tahun 1967 Jerman berinisiatif untuk mengembangkan teknologi yang sama dan kemudian diikuti oleh India. Pada perkembangan selanjutnya Tiongkok dan Jepang juga ikut mengembangkan pembangkit listrik tenaga thorium.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan, masih butuh beberapa dekade sampai pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis thorium terwujud.
Djarot berpendapat, yang perlu dibangun adalah infrastruktur pendukung, termasuk bagaimana melakukan fabrikasi serta siklus daur ulang bahan bakarnya.
"Tugas Batan adalah meneliti dan mengkaji kegiatan tersebut. Reaktor Daya Eksperimental menjadi jembatan penelitian thorium, sebelum implementasi secara komersial," ucapnya.



Credit  Beritasatu