Jumat, 03 Juli 2015

Afghanistan Ancam Kontraktor Pertahanan AS


Afghanistan Ancam Kontraktor Pertahanan AS 
 Kontraktor Keamanan AS di Afghanistan mengeruk untung dari kontrak Departemen Keamanan AS bernilai Rp26 T.(Reuters/Mohammad Ismail)
 
 
Kabul, CB -- Afghanistan mengancam akan menindak keras para kontraktor pertahanan AS yang berhutang pajak berjumlah ratusan juta dolar dengan membekukan rekening bank mereka, dan menolak memberi ijin bisnis tahunan baru ketika ijin yang lama habis masa berlakunya.

Amerika Serikat mempertanyakan tuntutan pembayaran pajak itu, dengan mengatakan bahwa berdasarkan kesepakatan militer yang disepakati saat itu perusahaan-perusahaan tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak.

Kedua negara juga sedang berusaha memecahkan perselisihan ini sebelum tenggat waktu membuat kesepakatan baru dengan berbagai negara tiba.


Tenggat waktu itu sendiri telah diperpanjang selama tiga bulan hingga 1 September.

Perusahaan-perusahaan pertahanan besar yang disasar antara lain Raytheon, DynCorp Internasional dan Supreme Group, dan mereka menyediakan berbagai layanan penting bagi pasukan NATO, misi diplomatik dan sektor bantuan.

“Jika posisi pajak mereka tidak diselesaikan, kami tidak bisa mengeluarkan ijin baru,” ujar Gul Maqsood Sabit, wakil menteri keuangan Afghanisan, kepada Reuters.

“Kami tidak ingin mengganggu pergerakan barang untuk militer AS karena mereka sedang berperang…(tetapi) jika itu terjadi, kami akan melaporkannya ke Interpol,” tambahnya.

Sabid tidak secara khusus menjelaskan alasan Afghanistan akan memanfaatkan organisasi polisi internasional ini dalam masalah pejak tersebut, tetapi dia menjelaskan bahwa langkah tegas seperti larangan bepergian bagi para pejabat perusahaan bisa diterapkan jika mereka tetap tidak mau membayar pajak.

Salah satu sasaran utama kementerian keuangan Afghanistan adalah Supreme Group, dan perusahaan ini telah memutuskan untuk keluar dari Afghanistan setelah kontraknya berakhir tahun ini. Perusahaan itu tidak menjelaskan alasannya.

Pasar Afghanistan untuk kontraktor asing turun drastis dalam beberapa tahun terakhir setelah pasukan NATO pimpinan AS berkurang dari 100 ribu lebih menjadi 9.800 tentara yang kini hanya bertugas melatih pasukan negara itu, dan menjalankan operasi terbatas.

Tetapi membantu misi asing masih merupakan bisnis besar, dan banyak perusahaan keamanan ingin tetap berada di Afghanistan jika masalah pajak ini telah diselesaikan.

Dari 2002 hingga 2014  nilai kontrak keamanan dari Departemen Pertahanan AS di Afghanistan bernilai lebih dari US$20 miliar dolar.

“Sulit Beralih”

Bagi Kabul, perselisihan ini menjadi situasi yang sulit.

Di satu pihak, dengan kebutuhan mendesak akan pemasukan bagi negara ini, pembayaran pajak dalam jumlah besar akan sangat membantu.

Afghanistan juga berupaya mengendalikan kembali sektor-sektor perekonomian yang didominasi oleh perusahaan asing dan kelompok-kelompo bantuan.

Di lain pihak, negara ini sangat tergantung pada kontraktor Departemen Pertahanan AS yang diperkirakan berjumlah 30 ribu orang.

Sangat sulit beralih kontraktor, karena “militer AS memiliki prosedur pemberian kontrak yang sangat ketat,” ujar Sabit. “Saya selalu memiliki masalah dengan para kontraktor; mereka bertindak semena-mena.”
 
Pasukan NATO pimpinan AS kini tinggal 9.800 orang dan bertugas melatih tentara nasional Afghanistan. (Reuters/Omar Sobhani)
Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perselisihan ini mengatakan pemerintah AS memimpin perundingan dengan pemerintah Afghanistan.

“Ini adalah perselisihan kebijakan terkait pengecualian pajak antara pemerintah AS dan Afghanistan. Kami tahu bahwa kedua pemerintah masih berusaha menghasilkan jalan keluarnya,” ujar juru bicara DynCorp.

Seorang pejabat AS di Kabul mengatakan jenis kewajiban yang harus ditanggung perusahaan-perusahaan itu sangat beragam, dan Washington berupaya agar hukum diterapkan dengan adil.

“Kami berupaya keras agar pemerintah Afghanistan menerapkan pengecualian pajak sesuai dengan kesepakatan bilateral antara AS dan Afghanistan,” kata pejabat itu.

Proses Lamban

Asosiasi Operasi Stabilitas Internasional, ISOA, yang mewakili satu jaringan perusahaan global sepeti DynCorp, mengatakan bahwa upaya untuk mencapai solusi berjalan lamban.

“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi,” kata Presiden ISOA Ado Machida, sembari menambahkan bahwa akan ada lebih banyak kasus semacam ini sementara traktat keamanan Afghanistan-AS yang baru tidak menegaskan posisi kontraktor yang bekerja untuk beberapa departemen pemerintah AS ini.

Machida juga mengatakan bahwa sebagian kontraktor menjadi sasaran para pejabat pemerintah Afghanistan.

“Birokrat tingkat menengah mulai keluar…dan menyebutkan masalah-masalah yang telah diselesaikan di masa lalu, mereka membuka kembali kasus-kasus itu,” ujarnya kepada Reuters.

Menurut Wakil Menteri Keuangan Sabit, sebagian besar pajak itu belum dibayar oleh tiga perusahaan dan satu komisi khusus telah ditunjuk untuk menyelesaikannya.

Sabit menolak menyebut ketiga perusahaan itu, tetapi para pejabat perusahaan mengatakan bahwa ada upaya keras untuk menyerang Supreme Group, DynCorp dan Raytheon.

Supreme Group belum mendaftarkan diri untuk ijin bisnis baru agar bisa beroperasi di Afghanistan setelah ijin sebelumnya berakhir pada Maret 2015,” kata juru bicara perusahaan itu.

Supreme Group pernah menjadi pemasok air dan makanan bagi tentara AS terbesar, tetapi kehilangan kontrak bernilai US$8,8 miliar itu setelah mengaku bersalah dalam dakwaan kriminal.

Credit   CNN Indonesia