Rabu, 15 Juli 2015

Demi Hal Ini Anak Perempuan Afganistan Menyamar Jadi Pria

Demi Hal Ini Anak Perempuan Afganistan Menyamar Jadi Pria
Seorang perempuan Afganistan menggendong bayinya setelah tiba di pulau Kos, setelah mengarungi laut Aegean Sea antara Turki dan Yunani, 27 Mei 2015. Meskipun cuaca buruk para migran Afganistan tetap mengarungi laut Aegean. REUTERS/Yannis Behrakis
 
CB, Kabul - Tak hanya di Mesir anak perempuan terpaksa menyamar jadi laki-laki . Di Kabul, Afganistan, para orang tua sengaja mengubah penampilan anak perempuannya  layaknya pria.

Seorang anak perempuan usia  6 tahun baru mendaftar di taman kanak-kanak sebagai Mahnoush di Kabul, Afganistan. Ibunya kemudian  menggunting rambutnya hingga pendek, diberi dasi, dan bahkan ia diberi nama baru yang  lebih maskulin di antara anak-anak. Mehran begitu nama barunya.

Gurunya, Momand, menyadari perubahan Mehran yang tidak biasa. Ia lalu menanyakan alasannya kepada Azita, ibu Mahren. Azita kemudian menuturkan  tentang anak-anaknya yang semua perempuan. Ia dan suaminya kemudian memilih putrinya itu menjadi laki-laki.  Momand tidak terkejut, dulu ia juga punya teman yang mengalami hal sama seperti Mahren.

Di Afganistan,  banyak keluarga  yang   pernah membesarkan anak perempuannya sebagai anak laki-laki. Penduduk setempat menyebutnya sebagai 'bacha posh' yang artinya    'berpakaian seperti anak laki-laki'.

Menurut para pegiat kesehatan,  fenomena ini terjadi di semua kalangan baik itu kaya, miskin, terdidik, tidak terdidik, atau kelompok etnis Afghanistas lainnya. Satu-satunya persamaan di antara mereka adalah kebutuhan keluarga akan bocah laki-laki yang keberadaannya sangat penting di masyarakat yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki.

Mengubah anak perempuan jadi laki-laki dilakukan agar mereka bisa melakukan pekerjaan yang tak bisa dilakukan perempuan sehingga bisa membantu keluarga. Juga karena memberi rasa aman bagi anak itu sendiri atau karena keluarga yang tak punya anak laki-laki ingin anggotanya lengkap. Di Kabul, semua faktor bisa terjadi bersamaan.

Fenomena ini biasa di Kabul atau Afghanistan. Salah satu yang menyebabkan fenomena ini mudah diterima karena anak perempuan harus menjaga kehormatannya sebelum menikah. Mereka tidak boleh bergaul dengan anak laki-laki atau bersentuhan yang disengaja dan tidak. Jika itu semua terjadi, kesempatan mereka menikah akan mengecil. Reputasi keluarga rusak karena mereka sudah ternoda.

Mehran sadar ia seorang perempuan namun selalu memperkenalkan diri sebagai laki-laki ke orang baru. Status orangtuanya membuat guru-gurunya di sekolah juga membantu menyembunyikan identitas asli Mehran.

Psikoanalis Eleanor Galenson dan Herman Roiphe membuktikan anak-anak mengenal identitas seksualnya sejak umur 15 bulan.Sedangkan di Afghanistan, orangtua berusaha mengaburkan identitas gender itu agar anak mereka -terutama yang perempuan- 'suci' sebelum menikah.

Beda lagi dengan Niima bocah perempuan berusia 10 tahun berambut pendek dan abu-abu namun bersuara sangat feminim. Di luar namanya Abdul Mateen. Ia tinggal di daerah yang sangat miskin di Kabul. Setelah sekolah -hanya dua jam sehari- ia pulang dan berganti pakaian untuk bekerja di toko sayur-mayur dekat rumahnya. Dalam satu hari ia bisa membawa pulang rata-rata US$ 1,3 atau Rp 17,299. Jumlah itu mampu menyokong kehidupan keluarganya yang terdiri dari 8 bersaudara (perempuan semua) dan ibunya.

Niima menjadi laki-laki untuk keberlangsungan hidup keluarganya semata. Sebagai wanita Pasthun, Niima mustahil bisa bekerja di mana pun dengan aturan keluarga yang berlaku. Tak ada yang ingin melakukannya dengan senang hati. Jika Niima semakin besar hingga tidak bisa menyamarkan identitas aslinya lagi, adik-adiknya akan menggantikan perannya.

Ada lagi Shubnum yang mengalami bacha posh. Namun sebelum usianya yang ke-13, identitasnya aslinya terbongkar di sekolah. Teman-teman sekolahnya merasa Shubnum memalukan dan menjadikannya bahan ejekan. Keadaan mengharuskan Nahid, ibu Shubnum- memintanya menjadi bacha posh. Nahid berpisah dengan suaminya meski tidak bercerai. Dengan tiga anaknya, ia perlu seorang laki-laki untuk menutupi kebutuhan keluarganya.

Shubnum termasuk yang tidak menikmati perubahan perannya dari perempuan menjadi anak laki-laki. Ketika ditanya mana yang ia lebih suka di antara keduanya, ia menjawab: "Perempuan. Jadi aku bisa mengenakan perhiasan dan menari."

Mereka adalah minoritas tapi bukan hal aneh melihat mereka di seluruh Afghanistan. Ada satu atau dua di tiap sekolah maupun di toko-toko sebagai pesuruh. Menurut pekerja kesehatan di sana, keluarga dengan putri tunggal cenderung menyulap anaknya menjadi laki-laki.

Konsep wanita di benak pria Afghanistan paling sering ditemui berputar di sifat-sifat seperti sensitif, peduli, lemah secara fisik. Namun perempuan Afghanistan baik kaya, miskin, terdidik atau tidak, menyebut perbedaan perempuan dan pria hanya dengan satu kata: kebebasan. Seorang penulis dari Amerika Serikat Robin Morgan mengatakan, "Jenis kelamin adalah realita, sedang gender dan kebebasan adalah gagasan," terkait fenomena bacha posh ini.

Mehran, Shubnum, Niima, dan perempuan lain di Afghanistan yang terpaksa hidup sebagai pria tidak terlalu peduli dengan status gender mereka. Kebebasan lebih besar artinya dari gender. Masalah gender baru ada jika kebebasan sudah mereka raih. Dengan kebebasan mereka bisa terhindar dari pernikahan yang mereka tak inginkan, meninggalkan rumah, punya kuasa penuh atas tubuh sendiri, memperoleh pendidikan, bekerja, atau kapan mau hamil.

Credit  TEMPO.CO