Kamis, 30 Juli 2015

Ini Alasan MUI Beri Fatwa Haram BPJS Kesehatan

Ini Alasan MUI Beri Fatwa Haram BPJS Kesehatan
Petugas melakukan sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional di RS Fatmawati, Jakarta (01/01). Mulai 1 Januari 2014, pemerintah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), JKN merupakan program jaminan kesehatan yang akan diterapkan secara nasional dan ditangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). TEMPO/Dasril Roszandi
 
 CB, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan keputusan bersama hasil ijtima soal sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). MUI menilai sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai fikih.

"MUI berkesimpulan BPJS saat ini tak sesuai syariah karena diduga kuat mengandung gharar atau ketidakjelasan akad, yang memicu potensi mayesir, dan melahirkan riba," kata Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional MUI Jaih Mubarok kepada Tempo melalui telepon, Rabu, 29 Juli 2015.

Menurut Jaih, keputusan ini lahir sebulan lalu dalam ijtima ulama Komisi Fatwa MUI di Tegal. Acara itu melahirkan beberapa keputusan dan fatwa baru di berbagai bidang, salah satunya soal BPJS Kesehatan. Jaih turut hadir dalam pembahasan di ijtima.

Menurut Jaih, tiga alasan yang mendorong keluarnya keputusan tersebut antara lain ketidakjelasan status iuran atau premi BPJS. "Kedudukan akadnya atau iuran itu apa? Apa bahasa hukumnya? Apakah termasuk hibah?" kata Jaih.

Sebab, kata Jaih, dalam prinsip syariah harus diatur bagaimana status, kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak, maka BPJS telah melakukan gharar atau penipuan.

Kedua, menurut Jaih, iuran yang disetorkan para peserta tak jelas kedudukannya. "Setelah disetorkan, apakah itu milik negara, BPJS, atau peserta?" kata dia.

Selanjutnya: prinsip asuransi syariah
 

Menurut Jaih, dalam prinsip asuransi syariah--untuk menggambarkan kondisi iuran BPJS--iuran adalah hibah kelompok peserta asuransi. Maka, perusahaan asuransi atau BPJS seharusnya berlaku sebagai wakil kolektif. Ketika risiko terjadi, maka perwakilan akan menjadi perpanjangan tangan dari peserta kolektif ke individu.


Berikutnya, MUI mempertanyakan investasi iuran peserta yang dikelola BPJS. MUI khawatir BPJS mengelola iuran tersebut dengan deposito, saham, dan cara lain di bank non-syariah. "Ke sektor yang halal tidak? Potensi riba bisa terjadi kalau ternyata didepositokan ke bank yang memberi bunga," kata Jaih.

MUI mengetok palu keputusan ini menjadi fatwa karena mereka belum mendiskusikan kembali dengan BPJS dan pemerintah. Tim Dewan Syariah Nasional MUI mendorong pemerintah segera memperbaiki penyelenggaraan BPJS Kesehatan sesuai syariah.


Credit TEMPO.CO

 

Fatwa Haram, Dirut BPJS Akan Temui MUI

Fatwa Haram, Dirut BPJS Akan Temui MUI
Petugas melayani warga di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Sulsel, 1 Juli 2015. BPJS akhirnya secara resmi beroperasi penuh mulai 1 Juli 2015, yang ditandai dengan tambahan program Jaminan Pensiun. TEMPO/Hariandi Hafid
 
 CBJakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Fahmi Idris akan melakukan audiensi dengan Majelis Ulama Indonesia terkait dengan isu haramnya BPJS. Menurut dia, audiensi bersama MUI ini dihadiri pula oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional.

"Informasi yang ada di media masih simpang-siur. Karena itu, kami akan lakukan audiensi dengan MUI terlebih dahulu," kata Fahmi melalui keterangan tertulis, Kamis, 30 Juli 2015.

Menurut Fahmi, MUI belum mengeluarkan fatwa haram, yang ada adalah rekomendasi hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang dikeluarkan beberapa hari lalu. "Sifatnya terkait dengan panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan," ucap Fahmi.

Isi rekomendasi Ijtima Ulama, menurut yang dipahami BPJS, ada dua. Pertama, agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka jaminan kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk tanpa melihat latar belakangnya.

Kedua, agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan format modus operandi BPJS Kesehatan supaya sesuai dengan prinsip syariah. "Secara tekstual, belum ada fatwa haram itu," ujar Fahmi.

Sebelumnya, MUI mengeluarkan keputusan bersama hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V di Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari lalu. MUI menilai sistem premi dan pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai dengan fikih.

"MUI berkesimpulan, BPJS saat ini tak sesuai dengan syariah karena diduga kuat mengandung gharar atau ketidakjelasan akad, yang memicu potensi mayesir, dan melahirkan riba," tutur Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional MUI Jaih Mubarok kepada Tempo.

Dalam prinsip syariah, kata Jaih, segala dana dalam BPJS harus diatur bagaimana status, kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak, BPJS telah melakukan gharar atau penipuan.



 Credit TEMPO.CO



MUI Anggap BPJS Haram, JK: Apanya yang Haram?

MUI Anggap BPJS Haram, JK: Apanya yang Haram?
Mantan Wapres Jusuf Kalla (kiri) bersama Ibu Mufidah (kanan) menunjukan kertas suara ketika mengikuti Pilkada DKI Jakarta di sekitar kediamannya, Jl Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (11/7). ANTARA/Saptono
 
 
CB, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan masih akan menyelidiki lebih lanjut soal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak sesuai dengan prinsip syariah. Jusuf Kalla mengaku belum membaca secara keseluruhan soal fatwa tersebut.

"Saya memang belum baca, tapi yang dimaksud halal itu jelas, agama Islam itu sederhana. Selama tidak haram ya halal," kata Kalla, di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rabu, 29 Juli 2015. "Pertanyaannya apanya yang haram. Itu masih kami kaji."

MUI menyatakan penyelenggaraan BPJS Kesehatan tak sesuai dengan prinsip syariah. Pemerintah diminta untuk membenahi pelaksanaan BPJS Kesehatan ini agar lebih syariah.

Fatwa itu diputus pada sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V tahun 2015 yang berlangsung di Pesantren At-Tauhidiyah pada 7-10 Juni lalu. Putusan dikeluarkan pada 9 Juni.

Dalam keputusan tersebut, Islam bertujuan untuk merealisasikan jaminan yang bersifat umum dan mencakup semua umat Islam. Dengan demikian, masyarakat dapat hidup dalam keadaan aman, damai, dan saling menolong. Sejumlah hadis yang dilampirkan juga menyatakan hal serupa.

MUI juga merujuk pada ijma ulama, dalil aqli, AAOIFI Tahun 2010 Nomor 26 tentang Al-Ta'min Al-Islamy; Fatwa DSN MUI Nomor 21 tentang pedoman asuransi syariah; Fatwa DSN-MUI Nomor 52 tentang akad wakalah bil ujrah pada asuransi syariah dan reasuransi syariah; dan Fatwa DSN-MUI Nomor 43 tentang ganti rugi (ta'widh). Semuanya merujuk pada asuransi yang adil merata untuk semua penduduk tanpa pengecualian. Asuransi juga harus menjamin hal-hal pokok, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, sarana kesehatan, dan pengobatan agar terpenuhi.



 Credit TEMPO.CO



Fatwa Haram, MUI Dorong Pemerintah Bentuk BPJS Syariah  

Fatwa Haram, MUI Dorong Pemerintah Bentuk BPJS Syariah  
Wakil Ketua MUI Pusat, Ma`ruf Amin (tengah), memberikan keterangan kepada awak media, di Gedung Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 13 November 2014. MUI secara tegas menyatakan menolak wacana penghapusan kolom agama ataupun penambahan agama. TEMPO/Imam Sukamto
 
 CB, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Jaih Mubarok meminta pemerintah segera membahas putusan MUI terkait sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang tak sesuai syariah. Musababnya, banyak masyarakat yang membutuhkan solusi syariah untuk BPJS.

"Pemerintah punya kewajiban melayani masyarakat yang menginginkan terjaminnya sistem syariah di BPJS. Jadi ulama, BPJS, dan pemerintah perlu duduk bersama," kata Jaih saat dihubungi Tempo, Rabu, 29 Juli 2015.
Sama seperti terbentuknya bank syariah, Jaih meminta pemerintah membentuk BPJS syariah yang bebas dari penipuan dan riba. Menurut dia, lahirnya keputusan BPJS dianggap haram atau tak sesuai syariah karena MUI menduga pengelolaan iuran atau akad BPJS tidak jelas dan berpotensi riba karena dikelola bank konvensional.
"Pengelolaannya harus pakai parameter syariah. Misal pasar modal dan saham yang terdaftar di syariah," kata Jaih. "Keadaan darurat ini harus diselesaikan. Tidak bisa terus-menerus seperti ini."
Pekan lalu MUI mengeluarkan fatwa bahwa sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai fikih atau haram. Keputusan ini lahir sebulan lalu dalam ijtima ulama Komisi Fatwa MUI di Tegal.
Tiga alasan yang mendorong keluarnya keputusan tersebut antara lain ketidakjelasan status iuran atau premi BPJS. "Kedudukan akadnya atau iuran itu apa? Apa bahasa hukumnya? Apakah termasuk hibah?" kata Jaih. Sebab, kata dia, dalam prinsip syariah harus diatur bagaimana status, kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak, maka BPJS telah melakukan gharar atau penipuan.
Kedua, Jaih mengatakan iuran yang disetorkan para peserta tak jelas kedudukannya. "Setelah disetorkan, apakah itu milik negara, BPJS, atau peserta?" kata dia.
Menurut dia, dalam prinsip asuransi syariah--untuk menggambarkan kondisi iuran BPJS-- iuran adalah hibah kelompok peserta asuransi. Maka perusahaan asuransi atau BPJS seharusnya berlaku sebagai wakil kolektif. Ketika risiko terjadi, maka perwakilan akan menjadi perpanjangan tangan dari peserta kolektif ke individu.
Berikutnya, MUI mempertanyakan investasi iuran peserta yang dikelola BPJS. MUI khawatir BPJS mengelola iuran tersebut dengan deposito, saham, dan cara lain di bank non-syariah. "Ke sektor yang halal tidak? Potensi riba bisa terjadi kalau ternyata didepositokan ke bank yang memberi bunga," kata Jaih.




 Credit  TEMPO.CO