Ilustrasi perangkat asisten pribadi virtual pada film Her yang dirilis tahun 2013. (Dok. Warner Bros. Pictures)
Surat yang dibuat pada Konferensi Internasional Bersama tentang Kecerdasan Buatan di Buenos Aires, Argentina, ditandatangani antara lain oleh pendiri Tesla Motors Elon Musk, pendiri Apple Steve Wozniak, fisikawan Stephen Hawking, sampai pendiri DeepMind Demis Hassabis.
Surat itu menyatakan kecerdasan buatan sebagai senjata otonom ofensif punya taruhan tinggi. Mereka menggambarkan senjata otonom sebagai revolusi ketiga dalam peperangan, setelah mesiu dan senjata nuklir.
Para ahli berpendapat kecerdasan buatan bisa menciptakan medan perang yang aman untuk personel militer, tapi jika digunakan untuk menyerang maka akan mengakibatkan kerugian lebih besar bagi kehidupan manusia.
Jika salah satu kekuatan militer mulai mengembangkan sistem yang mampu memilih target dan beroperasi secara mandiri tanpa kontrol langsung dari manusia, itu akan memulai lomba senjata mirip bom atom, dan sulit untuk dipantau.
"Titik akhir dari lintasan teknologi ini jelas: senjata otonom akan menjadi Kalashnikov esok hari. Pertanyaan kunci untuk kemanusiaan hari ini adalah; apakah akan memulai perlombaan senjata kecerdasan buatan global atau untuk mencegahnya dari awal," demikian potongan isi surat itu, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (27/7).
|
"Kami mendukung upaya sejumlah organisasi kemanusiaan yang meminta PBB melarang senjata otonom ofensif," katanya.
Sebelumnya, Elon Musk dan Stephen Hawking, telah memeringatkan kecerdasan buatan merupakan "ancaman ekstensial terbesar manusia" dan pengembangan kecerdasan buatan "berarti akhir dari umat manusia."
Tetapi ahli lain, termasuk Steve Wozniak, mengatakan bahwa robot adalah baik untuk manusia karena membuatnya seperti "hewan peliharaan keluarga dan perawat sepanjang waktu."
Pada salah satu konferensi PBB di Jenewa, Swiss, pada April lalu, membahas persenjataan masa depan di mana salah satunya termasuk "robot pembunuh." Inggris merupakan negara yang menentang pengembangan senjata otonom.
Credit CNN Indonesia