Rabu, 29 Juli 2015

Serangan Legendaris Cureng yang Melahirkan Hari Bhakti TNI AU

Ilustrasi diorama Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, tentang pemberangkatan rombongan penyerangan Semarang, Salatiga dan Ambarawa (Foto: Randy Wirayudha/Okezone)
Ilustrasi diorama Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, tentang pemberangkatan rombongan penyerangan Semarang, Salatiga dan Ambarawa (Foto: Randy Wirayudha/Okezone)
SETELAH pangkalan Pearl Harbor jadi sasaran “pembantaian” Jepang lewat serangan mendadak pada 7 Desember 1941, Amerika Serikat (AS) segera mencanangkan dan kemudian balas membombardir Tokyo sebagai jantungnya Jepang.
Sedikitnya hal itu pula yang dilakukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU), pasca-Belanda melancarkan Clash Pertama atau agresi militer I, 21 Juli 1947.
Tapi lantaran keterbatasan alutsista, jangan bandingkan dahsyatnya pemboman Tokyo oleh Amerika, maupun pemboman Kota Rotterdam di Belanda oleh Luftwaffe (AU Jerman) atau pemboman kota-kota di Jerman oleh sekutu pada Perang Dunia II – dengan upaya serangan AURI pada 29 Juli 1947 yang saat ini diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU.
Pangkalan Udara Maguwo di Yogyakarta, merupakan satu pusat kekuatan udara republik yang melulu coba diserang Belanda. Sempat selamat dengan bantuan alam berupa kabut pada hari pertama agresi militer, tapi pangkalan itu tetap bisa diserang lagi di kemudian hari.
Akibatnya, dari 40 sisa pesawat peninggalan Jepang di Maguwo, tinggal tersisa empat unit saja, yakni dua unit pesawat latih Cureng (Yokosuka K5Y), satu unit Pesawat Guntai (Ki-51), dan satu lagi Pembom Hayabusha (Nakajima Ki-43) yang diberi nama Pangeran Diponegoro I.
Di mana-mana kekuatan militer republik harus mundur. Serangan Belanda ke berbagai wilayah tak terbendung dan membuat para kombatan republik mesti menyingkir ke pedalaman untuk bergerilya.
Tapi di satu sisi perlu ada shock therapy (terapi kejut), untuk membuktikan kekuatan republik tak serta-merta habis, akibat agresi militer Belanda berkode “Operatie Product” itu.
Serangan revans pun mulai mucul di benak para kadet yang kemudian, disampaikan ke Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma oleh perwakilan kadet, Suharnoko Harbani.
Seperti dikutip dari buku ‘Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950’, awalnya gagasan itu ditentang KSAU lantaran menganggap para kadet masih terlalu muda.
Tapi karena pendirian yang teguh dan merasa sudah mampu terbang, para kadet keukeuh ingin unjuk gigi seperti para kombatan republik lainnya yang bergerilya di pedalaman. “Saya tidak memerintahkan, tapi juga tidak melarang,” jawab KSAU kala itu dengan menatap tajam mata Kadet Suharnoko.
Seolah mendapat lampu hijau, dua pesawat Cureng, satu Guntei dan satu Pembom Hayabusa pun dipersiapkan dengan tingkat kerahasiaan tinggi. Para teknisi pun tak tahu alasan mereka memodifikasi sejumlah pesawat agar bisa dipasangi sejumlah bom di bawah sayap pesawat, hingga hari H serangan, 29 Juli.
Tapi sayangnya, Pesawat Hayabusa “Pangeran Diponegoro I” hingga beberapa jam pemberangkatan serangan, belum juga bisa diperbaiki.
Alhasil, hanya akan diterbangkan dua Pesawat Cureng dan satu Guntai dengan sasaran militer Belanda di Semarang dan Salatiga, Jawa Tengah, sebagaimana rancangan Wakil KSAU Urusan Operasi, Komodor Udara Abdul Halim Perdanakusuma.
Pagi-pagi buta pada 29 Juli 1947, tiga pesawat yang dipiloti Kadet Mulyono, Sutardjo Sigit, Suharnoko serta ditemani Gunner (penembak) Abdulrachman, Sutardjo dan Kaput itu, mulai lepas landas dari Pangkalan Maguwo menuju dua sasaran mereka di Semarang dan Salatiga.
Pengalihan rute (dogleg) sempat mereka lakoni untuk menghindari kecurigaan Belanda. Singkat kata dengan unsur pendadakan, serangan mereka ke Semarang dan Salatiga berhasil.
Ada yang unik dari cara mereka membom dua sasaran itu. Setelah bom-bom Brisant atau bom yang terfragmentasi yang dipasang di bawah sayap habis, pemboman diteruskan secara “manual”, di mana para penembak menjatuhkan bom-bom sisa yang dibawa di kokpit mereka!
Pos-pos militer di Ambarawa kemudian turut jadi sasaran, kendati tak masuk dalam rencana penyerangan. Kadet Suharnoko yang sebelumnya terpisah dari rombongan, memilih Kota Ambarawa yang juga diduduki musuh, sebagai sasaran pembomannya, ketimbang kehabisan waktu untuk mencari dua pesawat lainnya.
Reaksi Belanda? Jelas terkejut. Militer Belanda tak menduga republik masih mampu menyerang balik, terlebih lewat udara hingga akhirnya tak sempat memberi perlawanan.
Kendati begitu, serangan ini tak punya banyak arti dalam hal taktis. Tapi serangan mereka menyadarkan dunia internasional bahwa kekuatan Indonesia, terlebih kekuatan udara, mampu memberi kejutan berarti dalam operasi pertama mereka.
Bahkan kabar serangan itu sampai ke siaran radio di Singapura, di mana serangan itu disebutkan sebagai headline dalam siaran mereka. Dari prestasi ini pula untuk mengenang serangan para kadet AURI itu, diperingati Hari Bhakti TNI AU setiap tanggal 29 Juli.


Credit  Okezone