Selandia Baru melarang penyebaran manifesto pelaku penembakan di Christchurch.
CB,
DUNEFIN -- Selandia Baru melarang penyebaran manifesto pelaku
penembakan dua masjid di Christchurch yang menewaskan 50 muslim.
Larangan tersebut dikeluarkan pada Sabtu (23/3).
Siapa pun yang tertangkap memiliki manifesto itu di komputernya dapat
menghadapi tuntutan 10 tahun penjara sementara siapa pun yang
menyebarnya dituntut 14 tahun penjara. Larangan itu menuai perdebatan di
Selandia Baru.
Banyak yang mengkritiknya karena larangan
ini terlalu berlebihan dan berisiko membuat dokumen dan pelaku
penembakan menjadi mistik dan terkultuskan. Perdana Menteri Jacinda
Ardern telah bersumpah untuk tidak akan menyebut nama pelaku.
Di
sisi lain manifesto itu menyediakan gambaran terbaik atas karakter dan
cara berpikir pelaku. Karena tetangga dan orang-orang yang bertemu
dengannya gym tempat pelaku pernah bekerja mengatakan pelaku adalah
orang baik.
Kepala Sensor Selandia Baru David Shanks
mengatakan manifesto tersebut berisi justifikasi atas aksi kejamnya
membunuh anak-anak dan mendorong orang lain untuk melakukan aksi teror
yang sama. Manifesto itu berisi tempat-tempat yang bisa disasar dan
metode untuk melakukan serangan.
Dalam
dokumen larangan tersebut, Shanks mengatakan mereka khawatir larangan
dapat membuat pelaku menarik banyak perhatian. Tapi pada akhirnya mereka
memutuskanharus memperlakukan manifesto itu selayaknya propaganda
kelompok teror lainnya seperti ISIS.
Shanks juga sudah
melarang kepemilikan dan penyebaran video penembakan berdurasi 17 menit
yang dilakukan pelaku penembakan. Ia mengatakan peneliti dan jurnalis
dapat mengajukan pengecualian untuk mendapat dua dokumen terlarang
tersebut.
Sementara itu, pembela kebebasan berbicara
mengatakan larangan manifesto tersebut terlalu berlebihan. Walaupun
mereka tidak mempertanyakan tentang larangan kepemilikan dan penyebaran
video.
"Orang akan lebih percaya satu sama lain dan
pemimpin mereka ketika tidak ada ruang untuk konspirasi teori, tidak ada
yang disembunyikan," kata juru bicara Free Speech Coalition dan
pengacara konstitusi Stephen Franks, Senin (25/3).
"Kerusakan
dan risiko yang disebabkan tekanan ini akan jauh lebih besar daripada
mempercayai masyarakat untuk membuat kesimpulan dan melihat kebiadapan
dan kegilaan itu sendiri," tambahnya.
Frank mengatakan ia
tidak tertarik untuk membaca manifesto tersebut sebelum dilarang.
Sekarang justru ia penasaran. Frank mengatakan manifesto itu menjadi
seperti 'buah terlarang'. Ia khawatir banyak orang yang merasakan hal
yang sama seperti dia.
Frank mengatakan larangan tersebut
tidak masuk akal karena sementara di sisi lain warga Selandia Baru dapat
dengan bebas membeli buku Adolf Hitler Mein Kampf. Sebelumnya pada
pekan lalu Ardern mengatakan ia tidak akan memberikan apa yang pelaku
inginkan.
"Ia mencari banyak hal dari tindakan terornya,
salah satunya menjadi terkenal, itulah mengapa Anda tidak akan mendengar
saya menyebut namanya," kata Ardern.