Sebanyak 13.840 pengungsi asing di Indonesia
terancam tak bisa ditempatkan di negara ketiga, UNHCR mencari peluang
buat pengungsi yang tak boleh bekerja. ( CNN Indonesia/Natalia Santi)
Jakarta, CB -- Sebagian besar dari 13.840 pengungsi asing di Indonesia terancam tak bisa ditempatkan di negara ketiga.
Kepala Misi Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNHCR) untuk Indonesia, Thomas Vargas, mengatakan peluang resettlement
atau penempatan pengungsi semakin kecil setelah sejumlah negara besar
yang semula berkomitmen menerima pencari suaka menutup diri dan
mengurangi kuota penerimaan pengungsi.
"Penempatan membutuhkan
persetujuan negara ketiga yang menerima pengungsi. Situasi saat ini
menjadikan peluang penempatan terus berkurang. Negara seperti Australia
dan Amerika Serikat yang secara tradisional selalu menerima, sekarang
mengurangi kuota mereka," ucap Vargas kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Vargas
mengatakan ada sekitar 22,5 juta pengungsi di dunia yang lari dari
negaranya karena konflik dan perang. Namun, hanya segelintir negara yang
bersedia menjadi negara ketiga yang menerima mereka.
Sebab,
negara penerima pengungsi harus bisa menyediakan advokasi dan
perlindungan bagi pengungsi termasuk akses publik, kesehatan,
pendidikan, ekonomi, hingga politik. Singkatnya, negara tersebut harus
bisa menjamin hidup para pengungsi sebagaimana pemerintah menjamin
warganya sendiri.
Selama ini, Vargas mengatakan Amerika Serikat
menjadi negara penerima pengungsi dengan kuota terbanyak. Sementara itu,
sejumlah negara lainnya seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, dan
negara Nordik juga membuka peluang penempatan bagi pengungsi meski tak
sebanyak AS.
Di masa pemerintahan Barack Obama, Vargas mengatakan Washington
bisa menerima hingga 120.000 pengungsi untuk ditempatkan per tahunnya.
Namun, sejak Donald Trump mengambil alih Gedung Putih, kuota penerimaan
pengungsi dipangkas menjadi hanya 45.000 orang per tahun.
Di
selatan Pasifik, Australia juga mulai membatasi kuota penerimaan
pengungsi dengan menutup sejumlah pusat penampungan pencari suaka
seperti di Pulau Nauru dan Pulau Manus.
Perubahan kebijakan
sejumlah negara itu, papar Vargas, membuat kesempatan penempatan
pengungsi di dunia termasuk Indonesia kian kecil. Ia mengatakan tahun
lalu UNHCR hanya bisa menempatkan sedikitnya 322 pengungsi di Indonesia.
Padahal,
sebelum krisis pengungsi kian memburuk, Vargas mengatakan UNHCR bisa
memproses 800 proses penempatan pengungsi di Indonesia setiap tahunnya.
"Ada
17,2 juta pengungsi di dunia yang menjadi perhatian UNHCR pada 2016
lalu, tapi hanya 1 persen yang bisa ditempatkan pada tahun itu. Pada
2017 lalu, kami juga hanya bisa menempatkan sekitar 322 pengungsi dari
Indonesia," uajr Vargas.
"Jika kita bandingkan angka pengungsi dengan kuota penerimaan
negara ketiga itu terlihat bahwa peluang penempatan kurang dari 1
persen. Kita harus bisa cari opsi lain selain penempatan," lanjutnya.
Izinkan Pengungsi BekerjaVargas mengatakan minimnya peluang penempatan membuat para pengungsi harus mencari jalan lain membangun hidup mereka. Selain
resettlement, ia mengatakan UNHCR kerap membujuk para pengungsi dan pencari suaka untuk pulang ke kampung halamannya.
"Beberapa
orang memutuskan untuk kembali ke negara asalnya secara sukarela. Jika
mereka menginginkan itu, UNHCR tidak bisa menyetop mereka, kami coba
bantu sebisa mungkin untuk memulangkan mereka. Yang utama adalah mereka
pulang bukan karena dipaksa, jika dipaksa itu melanggar hukum
internasional," ujarnya.
Vargas mengatakan UNHCR juga tengah
mencari solusi jangka pendek bagi para pengungsi selama menunggu
penempatan. Ia mengatakan organisasinya sedang bernegosiasi dengan
pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan yang bisa memberdayakan
para pengungsi agar dapat bertahan selama menunggu kejelasan nasib
mereka, termasuk izin bekerja.
Sebab, selama terdampar di Indonesia, Vargas mengatakan para
pengungsi tak memiliki hak untuk bekerja, sekolah, dan menerima akses
lainnya seperti kesehatan. Seluruh kebutuhan pengungsi ditanggung oleh
UNHCR dan juga Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
"Di
situasi yang tidak pasti seperti ini, kami tengah mencoba mengajukan
proposal kepada pemerintah di kawasan termasuk Indonesia agar
mengizinkan para pengungsi bisa berkontribusi terhadap komunitasnya
dengan keterampilan yang mereka punya supaya tidak hanya bergantung pada
bantuan organisasi," kata Vargas.
"Kami tidak meminta pemerintah
mengizinkan pengungsi untuk bekerja. Kami hanya ingin pemerintah
memberikan kesempatan pengungsi dilibatkan dengan proyek-proyek
wiraswasta lokal yang dapat membantu kelancaran bisnis dan di saat
bersamaan bisa membantu dirinya sendiri dan keluarganya untuk bertahan
hidup," lanjutnya.
Selain itu, Vargas mengatakan masih ada
beberapa pilihan yang tersedia bagi pengungsi seperti mencari sponsor
negara yang ingin menempatkan mereka. Beberapa negara bahkan menggelar
program reuni bagi pengungsi yang masih terdampar di negara transit
dengan keluarganya yang telah lebih dulu ditempatkan di negara ketiga.
Namun, kedua cara itu tetap membutuhkan persetujuan negara ketiga dengan proses yang cukup panjang.
"Yang
utama adalah bagaimana kita semua bisa meyakinkan para pengungsi bahwa
masih ada harapan selain opsi penempatan. Jika penempatan tidak
memungkinkan, masih ada opsi lain sehingga jangan putus harapan. Itu
tugas paling sulit kami, adalah meyakinkan mereka [pengungsi] bahwa
masih ada harapan ke depan," katanya.
Credit
cnnindonesia.com