Credit republika.co.id
Tampilkan postingan dengan label MALADEWA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MALADEWA. Tampilkan semua postingan
Selasa, 25 September 2018
Kandidat Oposisi Jadi Kejutan dan Menangkan Pemilu Presiden di Maladewa
Kandidat
oposisi, Ibrahim Mohamed Solih menyatakan kemenangan dalam pemilihan
presiden Maladewa setelah hasil perhitungan awal dilaporkan berbagai
surat kabar. Prediksi awal secara mengejutkan menunjukkan kemenangan
Solih, padahal dalam jajak pendapat sebelum pemilu, Presiden Abdulla
Yameen disebut-sebut sebagai "orang kuat" dan selalu memimpin..
Namun Komisi pemilihan Maladewa merilis hasil penghitungan sementara dan menyatakan Ibrahim Mohamed Solih memenangkan pemilu cukup telak dengan 58,3 persen suara.
India dan Sri Lanka menyatakan menyambut kemenangan calon dari oposisi itu. Kementerian Luar Negeri Maladewa juga mengakui kemenangan Solih di tengah tekanan internasional yang mendesak Yameen untuk menyerah.
"Saya meminta Yameen untuk menghormati kehendak rakyat dan mewujudkan peralihan kekuasaan yang damai dan lancar," katanya. "Pesan (pemilu)nya tegas dan jelas. Warga ingin keadilan dan stabilitas dan kami akan memastikan akuntabilitas."
Kelompok pengawas pemilu Transparency Maldives juga men-tweet pernyataan yang menyatakan kemenanghan Solih: "Berdasarkan hitungan cepat kami, kami yakin untuk mengumumkan bahwa Ibrahim Mohamed Solih telah memenangkan pemilihan presiden 2018."
Presiden Yameen dalam sebuah pidato televisi mengakui kekalahan dalam pemilu Maladewa tersebut. Ia mengatakan, selama lima tahun mengabdi kepada rakyat. Tapi rakyat sudah memutuskan apa yang mereka inginkan. Yameen mengatakan, ia sudah memberikan ucapan selamat kepada Solih.
Kepala komisi pemiu Maladewa mengatakan, hasil akhir akan diumumkan dalam waktu tujuh hari, sebagaimana diamanatkan oleh hukum.
Sebagai kandidat oposisi, Ibrahim Mohamed Solih menggalang kampanye dengan platform anti-korupsi dan terus menerus memperingatkan ancaman kecurangan oleh para pendukung kubu presiden.
Lebih dari seperempat juta dari sekitar 400.000 penduduk Maladewa berhak memilih. Beberapa pemilih menyatakan mereka memberikan suara kepada calon oposisi karena ingin melihat perubahan.
"Saya memilih untuk mengoreksi kesalahan yang saya buat pada 2013," kata warga bernama Nazima Hassan kepada kantor berita Reuters. "Saat pemilu lalu, saya memilih untuk menurunkan Presiden Maumoon Gayoom", tambahnya.
Namun Komisi pemilihan Maladewa merilis hasil penghitungan sementara dan menyatakan Ibrahim Mohamed Solih memenangkan pemilu cukup telak dengan 58,3 persen suara.
India dan Sri Lanka menyatakan menyambut kemenangan calon dari oposisi itu. Kementerian Luar Negeri Maladewa juga mengakui kemenangan Solih di tengah tekanan internasional yang mendesak Yameen untuk menyerah.
Kejutan besar
Dalam pidato kemenangannya, Solih menggambarkan kemenangan itu sebagai "momen kebahagiaan, harapan, dan sejarah.""Saya meminta Yameen untuk menghormati kehendak rakyat dan mewujudkan peralihan kekuasaan yang damai dan lancar," katanya. "Pesan (pemilu)nya tegas dan jelas. Warga ingin keadilan dan stabilitas dan kami akan memastikan akuntabilitas."
Kelompok pengawas pemilu Transparency Maldives juga men-tweet pernyataan yang menyatakan kemenanghan Solih: "Berdasarkan hitungan cepat kami, kami yakin untuk mengumumkan bahwa Ibrahim Mohamed Solih telah memenangkan pemilihan presiden 2018."
Presiden Yameen dalam sebuah pidato televisi mengakui kekalahan dalam pemilu Maladewa tersebut. Ia mengatakan, selama lima tahun mengabdi kepada rakyat. Tapi rakyat sudah memutuskan apa yang mereka inginkan. Yameen mengatakan, ia sudah memberikan ucapan selamat kepada Solih.
Kepala komisi pemiu Maladewa mengatakan, hasil akhir akan diumumkan dalam waktu tujuh hari, sebagaimana diamanatkan oleh hukum.
Pemilu kontroversial
Pemerintahan di bawah Abdulla Yameen melakukan aksi pembersihan lawan politik, dan telah memenjarakan banyak pesaingnya. Termasuk saudara tiri presiden, Maumoon Abdul Gayoom, yang sebelumnya memerintah negara itu selama 30 tahun.Sebagai kandidat oposisi, Ibrahim Mohamed Solih menggalang kampanye dengan platform anti-korupsi dan terus menerus memperingatkan ancaman kecurangan oleh para pendukung kubu presiden.
Lebih dari seperempat juta dari sekitar 400.000 penduduk Maladewa berhak memilih. Beberapa pemilih menyatakan mereka memberikan suara kepada calon oposisi karena ingin melihat perubahan.
"Saya memilih untuk mengoreksi kesalahan yang saya buat pada 2013," kata warga bernama Nazima Hassan kepada kantor berita Reuters. "Saat pemilu lalu, saya memilih untuk menurunkan Presiden Maumoon Gayoom", tambahnya.
Credit sindonews.com/dw
Jumat, 23 Maret 2018
Eks Presiden Maladewa Didakwa Terlibat Terorisme
Ilustrasi tahanan. (Thinkstock/nito100)
Dakwaan yang sama turut dijatuhkan pada Putra Gayoom yang merupakan anggota parlemen, Faris Mumoon. Selain itu, menantu mantan Presiden dan menteri kehakiman negara tersebut pun ikut dijerat.
Ada pula delapan hakim yang sama-sama dituding terkait terorisme. Di antaranya adalah hakim dari Mahkamah Agung.
Dikutip AFP, Kantor Kejaksaan Agung menuding mantan presiden yang memerintah Maladewa selama 30 tahun dari 1978-2008 itu melakukan tindakan "terorisme dan merintangi proses hukum."
Gayoom ditahan sejak 5 Februari lalu, saat pemerintah Maladewa memberlakukan status darurat. Pengadilan memutuskan Gayoom mesti ditahan sampai vonis ditetapkan.
Status darurat ditetapkan Yameen pada 5 Februari sebagai bentuk penolakannya terhadap keputusan Mahkamah Agung yang mencabut tuduhan terorisme terhadap sembilan tokoh oposisi, empat hari sebelumnya.
Salah satu tokoh oposisi yang tuduhannya dicabut adalah Mohamad Nasheed, presiden Maladewa pertama yang terpilih secara demokratis dan selama ini berada di pengasingan.
Kebebasan Nasheed dikhawatirkan mengancam rencana Yameen untuk kembali menjabat sebagai presiden setelah menang dengan kontroversial pada pemilihan umum 2013 lalu.
|
Alih-alih menjalankan keputusan Mahkamah Agung, Yameen malah menangkap sejumlah hakim senior di lembaga hukum tersebut dan oposisi yang dianggap mengancam kekuasaannya.
Credit cnnindonesia.com
Kamis, 08 Maret 2018
Kapal Perang Cina dan India Beradu Pengaruh di Maladewa
CB, Jakarta - Kapal Angkatan Laut Cina,
yang memasuki Samudra India untuk pertama kalinya dalam empat tahun
terakhir, kemungkinan bertujuan mencegah intervensi India di Maladewa.
Ini terjadi setelah Presiden Maladewa, Abdulla Yameen, menyatakan negara
itu berstatus darurat.
Sejumlah analis keamanan mengatakan kepada Reuters pada Rabu, 7 Maret 2018, Beijing tampaknya memberi sinyalemen tidak akan membiarkan adanya keterlibatan asing dalam krisis politik di Maladewa. Pada saat yang sama, kehadiran kapal Cina itu juga untuk menguatkan kehadiran Beijing di wilayah timur samudra India.
Petugas kepolisian Maladewa menahan seorang pengunjuk rasa yang menuntut pembebasan tahanan politik dalam sebuah demonstrasi di Male, Maldives, 2 Februari 2018. (AP Photo/Mohamed Sharuhaan)
Kementerian Pertahanan Cina mengatakan keberadaan kapal perangnya di
Samudra India untuk melakukan latihan rutin. Kapal laut itu bukan
ditujukan sebagai pihak ketiga dalam kegaduhan politik Maladewa saat
ini.
Sedangkan Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan pihaknya memantau ketat setiap peristiwa yang terjadi di Maladewa dan telah meminta pemerintah Maladewa melindungi kepentingan-kepentingan Cina di sana.
Sumber di Angkatan Laut Cina mengkonfirmasi kapal laut Cina sudah memasuki wilayah Samudra India, tetapi jaraknya masih ribuan mill dari Maladewa.
Saat dikonfirmasi mengenai keberadaan kapal Angkatan Laut Cina tersebut, Kementerian Pertahanan India enggan memberikan komentar. India secara tradisional adalah pemain terbesar di negara kepulauan Maladewa.
Namun keberadaan negara itu mendapat perlawanan dari kubu oposisi Maladewa. Para pemimpin kelompok-kelompok oposisi di Maladewa pada bulan lalu mengerahkan kekerasan untuk melawan Presiden Yameen dan menghidupkan kembali demokrasi.
Sejumlah analis keamanan mengatakan kepada Reuters pada Rabu, 7 Maret 2018, Beijing tampaknya memberi sinyalemen tidak akan membiarkan adanya keterlibatan asing dalam krisis politik di Maladewa. Pada saat yang sama, kehadiran kapal Cina itu juga untuk menguatkan kehadiran Beijing di wilayah timur samudra India.
Petugas kepolisian Maladewa menahan seorang pengunjuk rasa yang menuntut pembebasan tahanan politik dalam sebuah demonstrasi di Male, Maldives, 2 Februari 2018. (AP Photo/Mohamed Sharuhaan)
Sedangkan Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan pihaknya memantau ketat setiap peristiwa yang terjadi di Maladewa dan telah meminta pemerintah Maladewa melindungi kepentingan-kepentingan Cina di sana.
Sumber di Angkatan Laut Cina mengkonfirmasi kapal laut Cina sudah memasuki wilayah Samudra India, tetapi jaraknya masih ribuan mill dari Maladewa.
Saat dikonfirmasi mengenai keberadaan kapal Angkatan Laut Cina tersebut, Kementerian Pertahanan India enggan memberikan komentar. India secara tradisional adalah pemain terbesar di negara kepulauan Maladewa.
Namun keberadaan negara itu mendapat perlawanan dari kubu oposisi Maladewa. Para pemimpin kelompok-kelompok oposisi di Maladewa pada bulan lalu mengerahkan kekerasan untuk melawan Presiden Yameen dan menghidupkan kembali demokrasi.
Credit TEMPO.CO
Senin, 19 Februari 2018
China Bantah akan Ambil Alih Maladewa karena Tak Bayar Utang
NEW DELHI
- Pemerintah China membantah tuduhan bahwa Beijing akan mengambil alih
wilayah Maladewa karena negara itu tidak bisa membayar utang. Tuduhan
itu dilontarkan mantan presiden Maladewa, Mohamed Nasheed.
Tuduhan ini muncul di tengah krisis politik di negara kepulauan di Samudra Hindia. Nasheed yang berada di pengasingan mengisyaratkan diri meminta bantuan India untuk membantu memecahkan krisis di negaranya.
“Baru-baru ini, mantan Presiden Maladewa Nasheed membuat banyak komentar salah di media India. Dia mengarahkan jari pada kerja sama praktis antara China dan Maladewa dan menuduh bahwa China terlibat dalam apa yang disebut perebutan tanah di pulau-pulau Maladewa, yang merongrong keamanan Wilayah Samudra Hindia,” kata juru bicara Kedutaan Besar China di India, Ji Rong, dalam sebuah pernyataan.
”Tuduhan ini tampaknya tidak berdasar tanpa memperhatikan fakta,” lanjut Ji Rong, seperti dikutip NDTV.
Seperti diberitakan sebelumnya, Nasheed dalam wawancara dengan media Asia lainnya mengatakan bahwa utang besar-besaran kepada China membuat negaranya terancam diserahkan kepada Beijing pada awal tahun 2019. Dia memperingatkan bahwa pemilihan presiden yang cacat pada tahun ini akan mengarah pada pengambilalihan China terhadap Maladewa.
”Kami tidak dapat membayar utang sebesar USD1,5 sampai USD2 miliar ke China,” kata Nasheed kepada Nikkei Asian Review dalam sebuah wawancara di Sri Lanka.
Dia berargumen bahwa negara di Samudra Hindia yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata itu berpenghasilan kurang dari USD100 juta sebulan. Angka yang dia maksud itu adalah pendapatan pemerintah.
Nasheed, yang menjabat dari tahun 2008 sampai 2012, melarikan diri ke Inggris pada tahun 2016 karena hendak ditangkap dan dihukum di bawah undang-undang anti-terorisme. Dia dituduh telah memerintahkan penangkapan seorang hakim. Dia sekarang membagi waktunya di pengasingan antara Inggris dan Sri Lanka.
Menurut Nasheed, pada Januari lalu Maladewa memiliki kewajiban menyumbang ke China hampir 80 persen dari total hutang luar negerinya.
Sebagian besar utang masuk ke infrastruktur, termasuk jalan, jembatan dan bandara. “Tapi ini adalah proyek kesombongan,” kritik Nasheed.”Jalan tidak ke mana-mana, bandara yang (akan mangkrak) kosong,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Nasheed, utang Maladewa dibebani bunga tinggi. Menurutnya, Maladewa harus mulai melakukan pembayaran atas utangnya pada tahun 2019 atau 2020.
“Jika Maladewa jatuh, China akan ‘menuntut keadilan’ dari pemilik berbagai pulau dan operator infrastruktur, dan Beijing kemudian akan bebas memegang tanah itu,” katanya.
Ji Rong, dalam pernyataannya, mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, atas dasar saling menghormati, kesetaraan dan keuntungan bersama, China dan Maladewa telah bekerja sama dalam proyek infrastruktur dan penghidupan.”Dan langkah-langkah ini telah disambut secara luas oleh orang-orang Maladewa,” ujarnya.
”Sebenarnya, ketika Nasheed menjabat Presiden, China dan Maladewa telah meluncurkan proyek kerja sama yang relevan. Tuduhan yang disengketakan oleh Nasheed tampaknya dimaksudkan untuk melayani tujuan politik tertentu,” imbuh pernyataan Ri Jong.
Credit sindonews.com
Nasheed: Tak Bisa Bayar Utang, Maladewa Terancam Diambil Alih China
KOLOMBO
- Mantan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed mengatakan utang
besar-besaran kepada China membuat negaranya terancam diserahkan kepada
Beijing pada awal tahun 2019. Dia memperingatkan bahwa pemilihan
presiden yang cacat pada tahun ini akan mengarah pada pengambilalihan
China terhadap Maladewa.
”Kami tidak dapat membayar utang sebesar USD1,5 sampai USD2 miliar ke China,” kata Nasheed kepada Nikkei Asian Review dalam sebuah wawancara di Sri Lanka.
Dia berargumen bahwa negara di Samudra Hindia yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata itu berpenghasilan kurang dari USD100 juta sebulan. Angka yang dia maksud itu adalah pendapatan pemerintah.
Nasheed, yang menjabat dari tahun 2008 sampai 2012, melarikan diri ke Inggris pada tahun 2016 karena hendak ditangkap dan dihukum di bawah undang-undang anti-terorisme. Dia dituduh telah memerintahkan penangkapan seorang hakim. Dia sekarang membagi waktunya di pengasingan antara Inggris dan Sri Lanka.
Menurut Nasheed, pada Januari lalu Maladewa memiliki kewajiban menyumbang ke China hampir 80 persen dari total hutang luar negerinya.
Sebagian besar utang masuk ke infrastruktur, termasuk jalan, jembatan dan bandara. “Tapi ini adalah proyek kesombongan,” kritik Nasheed.”Jalan tidak ke mana-mana, bandara yang (akan mangkrak) kosong,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Nasheed, utang Maladewa dibebani bunga tinggi. Menurutnya, Maladewa harus mulai melakukan pembayaran atas utangnya pada tahun 2019 atau 2020.
“Jika Maladewa jatuh, China akan ‘menuntut keadilan’ dari pemilik berbagai pulau dan operator infrastruktur, dan Beijing kemudian akan bebas memegang tanah itu,” katanya.
”Tanpa meletuskan satu tembakan pun, China telah menguasai lebih banyak lahan daripada East India Company pada puncak abad ke-19,” kata Nasheed, yang menuduh bahwa pembangkit kekuatan ekonomi Asia itu telah mengambil alih 16 pulau yang sudah di bawah presiden saat ini Maladewa, Abdulla Yameen.
“Latihan mengambil tanah ini sudah keluar dari kedaulatan kita,” papar Nasheed tanpa merinci nama pulau yang dia duga telah diambil alih China.
Pemerintahan Yameen yang didukung China telah menindak oposisi politik selama beberapa tahun terakhir. Namun pada 1 Februari, Mahkamah Agung Maladewa memerintahkan pembebasan dan pemulihan anggota parlemen dari kubu oposisi.
Pemerintah Yameen menanggapi dengan mengumumkan keadaan darurat dan menjebloskan dua hakim ke penjara.
”Kita perlu membebaskan hakim,” kata Nasheed. ”Kami membutuhkan pemerintah untuk mematuhi keputusan pengadilan,” katanya lagi.
”Kami tidak dapat membayar utang sebesar USD1,5 sampai USD2 miliar ke China,” kata Nasheed kepada Nikkei Asian Review dalam sebuah wawancara di Sri Lanka.
Dia berargumen bahwa negara di Samudra Hindia yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata itu berpenghasilan kurang dari USD100 juta sebulan. Angka yang dia maksud itu adalah pendapatan pemerintah.
Nasheed, yang menjabat dari tahun 2008 sampai 2012, melarikan diri ke Inggris pada tahun 2016 karena hendak ditangkap dan dihukum di bawah undang-undang anti-terorisme. Dia dituduh telah memerintahkan penangkapan seorang hakim. Dia sekarang membagi waktunya di pengasingan antara Inggris dan Sri Lanka.
Menurut Nasheed, pada Januari lalu Maladewa memiliki kewajiban menyumbang ke China hampir 80 persen dari total hutang luar negerinya.
Sebagian besar utang masuk ke infrastruktur, termasuk jalan, jembatan dan bandara. “Tapi ini adalah proyek kesombongan,” kritik Nasheed.”Jalan tidak ke mana-mana, bandara yang (akan mangkrak) kosong,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Nasheed, utang Maladewa dibebani bunga tinggi. Menurutnya, Maladewa harus mulai melakukan pembayaran atas utangnya pada tahun 2019 atau 2020.
“Jika Maladewa jatuh, China akan ‘menuntut keadilan’ dari pemilik berbagai pulau dan operator infrastruktur, dan Beijing kemudian akan bebas memegang tanah itu,” katanya.
”Tanpa meletuskan satu tembakan pun, China telah menguasai lebih banyak lahan daripada East India Company pada puncak abad ke-19,” kata Nasheed, yang menuduh bahwa pembangkit kekuatan ekonomi Asia itu telah mengambil alih 16 pulau yang sudah di bawah presiden saat ini Maladewa, Abdulla Yameen.
“Latihan mengambil tanah ini sudah keluar dari kedaulatan kita,” papar Nasheed tanpa merinci nama pulau yang dia duga telah diambil alih China.
Pemerintahan Yameen yang didukung China telah menindak oposisi politik selama beberapa tahun terakhir. Namun pada 1 Februari, Mahkamah Agung Maladewa memerintahkan pembebasan dan pemulihan anggota parlemen dari kubu oposisi.
Pemerintah Yameen menanggapi dengan mengumumkan keadaan darurat dan menjebloskan dua hakim ke penjara.
”Kita perlu membebaskan hakim,” kata Nasheed. ”Kami membutuhkan pemerintah untuk mematuhi keputusan pengadilan,” katanya lagi.
China seperti dilaporkan Firstpost telah membantah tuduhan akan mengambil alih Maladewa melalui perangkap utang.
Credit sindonews.com
Senin, 05 Februari 2018
Mahkamah Agung Maladewa Berupaya Makzulkan Presiden
Presiden Maladewa Abdulla Yameen dianggap
tidak mematuhi perintah Mahkamahh Agung untuk membebaskan pemimpin
oposisi. (REUTERS/Waheed Mohamed)
Jaksa Agung Mohamed Anil mengatakan, pemerintah telah menerima informasi bahwa Mahkamah Agung sedang mempersiapkan diri untuk memecat Yameen. Namun, langkah tersebut akan menjadi ilegal dan ditolak oleh aparat penegak hukum pemerintah.
"Kami telah menerima informasi bahwa hal-hal yang mungkin terjadi yang akan menyebabkan krisis keamanan nasional," kata Anil, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (4/2).
Informasi tersebut, menurut Anil, mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat mengeluarkan keputusan untuk menjatuhkan atau melepaskan presiden dari kekuasaan. Namun, ia menambahkan bahwa badan pemerintah telah diberi instruksi untuk tidak melakukan perintah semacam itu.
Polisi anti huru hara berjaga di luar kantor pemerintah di Male dan Republic Square, sebuah lokasi demonstrasi oleh aktivis oposisi.
Pihak oposisi gabungan mengaku khawatir adanya pengambilalihan kekuasaan oleh militer di kepulauan tersebut untuk melestarikan cengkeraman Yameen.
"Maldivians takut bahwa Presiden Yameen akan segera memerintahkan pengambilalihan militer penuh negara tersebut, dalam upaya untuk memastikan bahwa dia tidak dikeluarkan dari jabatannya," ujar pihak oposisi dalam keterangan resmi.
Krisis tersebut merupakan ancaman terbesar bagi kendali Yameen terhadap Maladewa sejak dia berkuasa pada 2013. Yameen telah berhenti mengatakan bahwa dia tidak akan mematuhi perintah pengadilan. Dia mengatakan pada sebuah pertemuan partai pada Sabtu, bahwa dia tak lagi mengharapkan keputusan Mahkamah Agung.
Kritik terhadap pemerintah terus terjadi. Pada hari Minggu, polisi menggerebek rumah Hassan Saeed, kepala departemen administrasi peradilan, yang menurut pihak oposisi sedang mempertimbangkan penyelidikan korupsi terhadap Yameen.
Polisi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka ingin menangkap Saeed atas penyelidikan pembelian apartemen.
Mereka juga menanyakan apakah anggota keluarga Ketua Mahkamah Agung Abdulla Saeed dan Hakim Agung Ali Hameed, yang menjatuhkan keputusan pekan lalu, terlibat dalam pembelian apartemen tersebut, kata polisi.
Selain perselisihan politik, Maladewa menghadapi masalah berupa sejumlah besar pemuda radikal yang terdaftar untuk memperjuangkan kelompok militan Islam di Timur Tengah.
Credit cnnindonesia.com
Langganan:
Postingan (Atom)