Taman Lorentz, Papua. (Ebbie Vebri Adrian)
Jakarta, CB
--
Hampir lima tahun Wahyu Sunyoto mengelilingi 2,5
juta hektare areal hutan di kawasan Timika, Papua, dari atas udara.
Ketika itu, pada periode 1989-1994, Wahyu bekerja melakukan survei udara
untuk membuat peta geologi di wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia.
“Saat
itu saya masih muda, berusia 31-32 tahun,” kata Wahyu, Praktisi
Eksplorasi dan Pertambangan Mineral Berharga dan Logam Dasar kepada
CNNIndonesia.com, pertengahan April 2016.
Saat itu Wahyu menjadi
bagian dari Tim Divisi Eksplorasi PT Freeport Indonesia. Dia bersama 12
orang lainnya secara kontinyu melakukan survei aeromagnetic atau survei
membuat peta geologi dengan menggunakan pesawat atau helikopter.
“Kami menggunakan tiga helikopter dan tim bergerak berpencar,” kata Wahyu.
Survei
udara dilakukan dengan bermodal foto lanskap dan peta topografi Timika
yang dicetak pada tahun 1967. Peta topografi itu pernah dibuat oleh
Angkatan Udara Amerika Serikat.
Dari atas helikopter dengan ketinggian 200-400 meter dari tanah, Wahyu berperan sebagai navigator sembari membuat pemetaan.
“Dari atas helikopter saya sembari membuat peta sungai,” katanya.
Selain membuat survei udara, tim juga turun ke lapangan untuk memeriksa
bebatuan. Daerah yang menjadi sasaran salah satunya sungai, biasanya
apabila sebuah gunung atau bukit memiliki cadangan emas, akan terbawa ke
aliran sungai.
Freeport membuat peta geologi untuk mengetahui potensi tambang di wilayah konsesi.
|
Batu-batu yang dikumpulkan ini kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa kadungannya.
Dari
hasil survei, tim eksplorasi menemukan beberapa titik sebaran intrusi
atau batuan beku yang berpotensi mengandung mineral. Intrusi ini di
antaranya tersebar di beberapa wilayah Ilaga, yang berjarak antara 16
hingga 60 kilometer dari kawasan tambang Grasberg yang dikelola
Freeport.
Freeport membuat peta geologi untuk mengetahui potensi
di wilayah konsesi. Sesuai perjanjian kontrak karya, Freeport secara
bertahap melepaskan konsesinya. Setelah membuat pemetaan, Freeport
melepaskan daerah yang dianggap kurang menguntungkan.
Freeport
yang pada masa awal kontrak karya 1967 memiliki wilayah konsesi seluas
2,5 juta hektare, kini menguranginya menjadi 212 ribu hektare.
Pengurangan luas wilayah secara otomatis mengurangi beban Freeport atas
pajak wilayah konsesi.
Pertambangan Freeport Indonesia. (Dok. Akun Facebook Freeport Indonesia)
|
Tiga Titik IntrusiHasil survei udara yang
dilakukan Freeport kini menjadi bagian dari peta geologi nasional yang
dikeluarkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi pada 1995. Hingga
saat ini belum ada peta tandingan yang memperbaharui survei udara yang
dibuat Freeport.
Berdasarkan pengamatan CNNIndonesia.com dari
peta geologi lembar Timika dengan skala 1:250.000 itu, terlihat tiga
intrusi yang ditandai dengan warna cokelat kemerahan. Dilihat dari peta,
tiga titik itu berjarak antara 16 hingga 60 kilometer dari wilayah
penambangan Grasberg.
Intrusi serupa mirip terdapat di Grasberg,
Erstberg dan wilayah penambangan Freeport lainnya. Ketinggian titik
intrusi pun serupa sekitar 3.000-4.000 meter di atas permukaan laut dan
berada di deretan Pegunungan Tengah.
Intrusi ini mendapat
perhatian ilmuwan dalam negeri. Sekelompok ilmuwan memperkirakan,
potensi mineralisasi pada intrusi itu tidak berbeda jauh dengan yang ada
di Grasberg atau Erstberg.
Dalam peta geologi itu disebutkan
keterangan adanya intrusi diorite, diorite kuarsa, monzonit, monzonit
kuarsa, stok, retas, sill. Sedangkan intrusi utama batuan beku pada
Grasberg dan Erstberg adalah adalah monzodiorit dan diorite.
Menurut Direktur
Centre for Indonesian Resources Strategic Studies
(Ciruss) Budi Santoso, pada 1990an kalangan ilmuwan pertambangan dan
geologi pernah santer menyebutkan adanya potensi mineralisasi di wilayah
dekat pertambangan Freeport.
“Pernah ramai menjadi bahan perbincangan, namun kemudian tak dibahas kembali,” katanya.
Menurut
Budi, perbincangan itu terhenti karena pada saat bersamaan muncul
desakan dari aktivis lingkungan untuk menjadikan wilayah itu sebagai
kawasan konservasi. Pada 1997, kawasan itu ditetapkan sebagai Taman
Nasional Lorentz, termasuk didalamnya tiga titik intrusi yang memiliki
potensi mineralisasi.
Taman Lorentz, Papua. (Ebbie Vebri Adrian)
|
Taman Nasional LorentzPenetapan Taman Nasional
Lorentz, hanya dua tahun berselang setelah lembar peta geologi Timika
dari hasil survei Freeport itu dipublikasikan. Kawasan hutan sebagai
taman nasional itu secara otomatis membatasi akses publik, terutama bagi
mereka yang berniat mengeksplorasi.
Dua tahun setelah ditetapkan sebagai kawasan nasional atau pada 1999,
United Nations Educational, Scientific dan Cultural Organizations (UNESCO) menetapkannya sebagai Situs Warisan Dunia dengan cakupan areal sekitar 2,4 juta hektare.
Taman
Nasional itu menjadi kawasan lindung terbesar di Asia Tenggara,
membentang dari puncak Pegunungan Jayawijaya berselimut salju dengan
ketinggian 5.030 meter di bawah permukaan laut, hingga membujur ke batas
tepi perairan Laut Arafuru.
Nama Lorentz diambil dari nama
penjelajah asal Belanda, Hendrikus Albertus Lorentz, yang pernah
menyambangi daerah itu pada 1909. Selain keanekaragaman hayati, kawasan
hutan lindung itu juga menjadi tempat kehidupan sembilan suku asli
Papua.
Menurut mantan Dirjen Mineral, Simon Sembiring, kawasan Taman Lorentz
merupakan kawasan tundra yang mirip dengan wilayah Grasberg.
Simon menyatakan, dari kemiripan wilayah, kemungkinan tersimpan potensi mineralisasi termasuk emas dan tembaga.
“Apalagi pulau Papua secara keseluruhan memang terbukti memiliki kekayaan mineral,” kata Simon.
Menurut Wahyu Sunyoto, untuk memastikan kandungan di wilayah intrusi itu memerlukan eksplorasi lanjutan.
Sejak ditetapkan sebagai daerah konservasi, Freeport tak berani mengutak-atik wilayah itu.
“Freeport tidak boleh menyentuh Taman Nasional Lorentz dari nilai lingkungan dan akuntabilitas publik. Bahkan
buffer zone yang ada dalam kontrak karya, luasnya kami sesuaikan dengan Taman Nasional sehingga menjadi tidak rata kayak gergaji,” katanya.
Eksplorasi
meliputi pengambilan sampel batuan, endapan sungai, menganalisis
kondisi magnet kontur permukaan tanah, ataupun mengebor hingga kedalaman
100-200 meter. Selain itu, eksplorasi ini membutuhkan biaya mahal dan
waktu yang tidak singkat.
Pada 2012, Dinas Pertambangan dan
Energi, Mimika, Timika memberikan pernyataan kepada media bahwa Kawasan
Taman Nasional Lorentz memiliki potensi pertambangan yang sangat
melimpah namun sulit untuk dieksploitasi.
Beberapa investor
telah menyatakan niatnya mengeksplorasi Lorentz. Namun kegiatan ini
terhambat aturan yang melindungi wilayah yang menjadi kawasan
konservasi.
Credit
CNN Indonesia