MANAMA
- Bahrain mengaku menyesali keputusan Amerika Serikat (AS) yang
mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan. Manama menyerukan
AS untuk menghormati hukum internasional.
"Kementerian
Luar Negeri Bahrain menegaskan kembali posisinya bahwa Dataran Tinggi
Golan adalah wilayah Arab dan Suriah, diduduki oleh Israel sejak Juni
1967, seperti yang dikonfirmasi oleh resolusi Dewan Keamanan PBB," kata
kementerian itu, seperti dilansir Al Arabiya pada Selasa (26/3).
Sebelumnya,
kecaman dan penolakan juga telah disampaikan oleh sejumlah negara.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri menegaskan menolak
keputusan yang dibuat oleh Amerika Serikat (AS) terkait dengan Dataran
Tinggi Golan.
"Indonesia
tetap mengakui Dataran tinggi Golan sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari wilayah kedaulatan Republik Suriah, yang saat ini diduduki Israel
pasca perang 1967," kata Kemlu RI.
Juru bicara
Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova menyatakan Moskow
menyayangkan keputusan yang diambil oleh Presiden AS, Donald Trump itu.
Dia menyebut langka Trump untuk menandatangani dekrit yang mengakui
kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan dapat memperburuk situasi di
Timur Tengah.
Sementara itu, Turki menyebut keputusan merupakan pelanggaran berat
hukum internasional, khususnya Resolusi 497 Dewan Keamanan PBB tahun
1981.
"Ini menunjukkan bahwa Pemerintah AS melanjutkan
pendekatannya untuk menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari
solusi di Timur Tengah," kata Kementerian Luar Negeri Turki.
Bahrain berpendapat Saudi telah berupaya menjaga keamanan dan stabilitas Arab.
CB, RIYADH
-- Menteri Urusan Informasi Bahrain, Ali Al Romaihi, menegaskan bahwa
mendukung Arab Saudi menentang kampanye media ofensif adalah tugas Arab
dan umat Islam.
Hal ini disampaikannya di sela-sela
pertemuan yang diselenggarakan Menteri Informasi Saudi Dr Awad bin
Saleh Al Awad dengan rekan-rekan negara Arab.
Dilansir di News of Bahrain, Rabu (19/12), pertemuan tersebut menandai pemilihan Riyadh sebagai Ibu kota Media Arab untuk 2018-2019.
Al
Romaihi mengatakan ada media yang didukung negara-negara kawasan yang
berusaha untuk merusak kemampuan negara-negara Arab dan berupaya
mengguncang kawasan itu.
Sementara itu, ia memuji
peran utama yang dimainkan oleh Arab Saudi di bawah kepemimpinan Raja
Salman bin Abdulaziz Al-Saud dan Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri
Pertahanan Saudi Putra Mahkota Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al
Saud.
Menurutnya, Saudi telah berupaya menjaga
keamanan dan stabilitas kawasan Arab dan mencegah media asing ikut
campur dalam komunitas mereka.
Al Romaihi juga
menyampaikan ucapan selamat kepada Penjaga Dua Masjid Suci Raja Salman
atas pemilihan Riyadh sebagai ibu kota Media Arab.
Sebelumnya, Arab Saudi menjadi sorotan dunia internasional dalam kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi dan Perang Yaman.
AL MANAMAH
- Parlemen Bahrain membuat sejarah pada Rabu kemarin ketika seorang
politisi perempuan terpilih sebagai orang nomor satu di lembaga
legislatif itu. Fawzia Zainal menjadi perempuan pertama yang memimpin
parlemen Bahrain.
Dalam pemilihan ketua parlemen, Zainal
mendapatkan 25 suara dari 40 anggota majelis rendah. Zainal menjadi
wanita kedua yang memimpin parlemen di kawasan Teluk Arab setelah Uni
Emirat Arab (UEA) membuat sejarah pada 2015 ketika menunjuk Amal
al-Qubaisi sebagai presiden Dewan Nasional Federal negara (FNC).
Dewan
Tertinggi untuk Perempuan di Bahrain memuji pencapaian tinggi oleh
seorang wanita Bahrain yang memimpin parlemen melalui pemilihan dan
pemilihan langsung.
"Saya akan bekerja dengan sesama anggota
parlemen untuk menerapkan implikasi politik, ekonomi dan sosial yang
ditetapkan dalam pidato Yang Mulia, dan akan menggunakan semua instrumen
konstitusional dan hukum yang tersedia yang mengangkat Kerajaan Bahrain
kita yang berharga dan mempertahankan keamanan, stabilitas dan
memajukan posisi di bidang pembangunan berkelanjutan dan manusia,” kata
Zainal dalam pernyataan pertamanya sebagai Ketua parlemen seperti
dikutip dari Al Arabiya, Kamis (13/12/2018).
Zainal
untuk ketiga kalinya bertarung dalam pemilu lokal. Ia sebelumnya hampir
memenangkan kursi pada 2014 lalu tetapi gagal karena hanya mendapatkan
228 suara dalam putaran kedua di distrik Riffa Timur melawan pesaingnya.
Zainal mengatakan sudah lama terjun ketika dia melihat basis dukungannya tumbuh selama bertahun-tahun.
“Pada
tahun 2006 ketika saya pertama kalinya turun, pemilu penuh sesak oleh
masyarakat politik dan gender adalah topik utama diskusi di kalangan
pemilih. Seiring waktu, itu menjadi masalah yang kurang karena kesadaran
pemilih tentang politik dan masyarakat tumbuh dan matang di mana mereka
dapat melihat calon melewati gender sebagai faktor tetapi lebih kepada
apa yang bisa mereka bawa ke meja,” tuturnya.
Perempuan
Bahrain akhirnya memecahkan langit-langit kaca tahun ini. Enam anggota
parlemen perempuan Bahrain memecahkan rekor negara itu tentang
perwakilan perempuan di parlemen ketika hasil resmi diumumkan pada 2
Desember lalu. Hal ini menegaskan bahwa mereka, bersama dengan beberapa
muka baru tokoh independen, akan menjadi bagian dari legislatif kelima
pulau kerajaan itu.
Tidak seperti negara-negara lain di kawasan
itu, Bahrain tidak memiliki kuota untuk perwakilan perempuan di
parlemen. Banyak warga Bahrain memandang sistem semacam itu bertentangan
dengan konstitusi Bahrain dan Piagam Aksi Nasional, sebuah dokumen yang
disahkan pada tahun 2001 yang menggerakkan politik, reformasi sosial
dan ekonomi di kerajaan, yang memperoleh persetujuan 98,4 persen rakyat
dalam referendum nasional pada saat itu.
CB, Dubai – Menteri Luar Negeri Bahrain, Sheikh Khalid Bin Ahmed Al Khalifa, mengkritik keputusan pemerintah Qatar
yang tidak mengirim delegasi tertinggi pada Konferensi Tingkat Tinggi
Dewan Kerjasama Teluk atau Gulf Cooperation Countries Summit di Riyadh,
Arab Saudi.
Pertemuan puncak tahunan ini digelar sehari pada Ahad, 9 Desember 2018.
“Emir
Qatar seharusnya menerima permintaan sederhana (dari negara yang
memboikot) dan menghadiri pertemuan puncak ini,” kata Sheikh Khalid Bin
Ahmed Al Khalifa lewat cuitan di Twitter seperti dilansir Reuters pada Ahad, 9 Desember 2018 waktu setempat.
Emir Qatar, Sheikh Tamim Bin Hamad Al Thani, yang hadir pada
pertemuan puncak GCC di Kuwait pada 2017, kali ini mengirimkan delegasi
setingkat menteri, yang dipimpin Menteri Luar Negeri Soltan Bin Saad
Al-Muraikhi.
Soal
ini, Direktur Informasi Kemenlu Qatar, Ahmed Bin Saeed AlRumaihi,
mengatakan pemerintah Qatar membuat keputusan sendiri soal ini. Dia
menyebut saat Sheikh Tamim hadir di Kuwait pada 2017, sejumlah pemimpin
negara Teluk justru tidak hadir.
“Qatar telah menghadiri
pertemuan (tahun lalu) di Kuwait sementara para pemimpin dari negara
yang memboikot tidak hadir,” kata Ahmed seperti dilansir Reuters.
Seperti
dilansir Aljazeera, GCC merupakan forum yang dibentuk pada tahun 1980an
untuk mempersatukan sejumlah negara Arab dan mengimbangi dua negara
dominan di kawasan Teluk yaitu Irak dan Iran. Dewan ini beranggotakan
enam negara yaitu Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, dan
Bahrain. Organisasi ini bertemu tiap tahun untuk membahas berbagai
kerjasama dan urusan regional.
Pada pertemuan puncak kali ini,
sejumlah isu penting bakal dibahas seperti kerja sama regional, solusi
politik untuk perang di Yaman, dan pengaruh Iran.
Pengamat
mengatakan, pemerintah Qatar sengaja mengirim delegasi level menteri
untuk memberi kesan bahwa negara itu tidak ingin menjaga jarak dengan
GCC.
Luciano
Zaccara, seorang peneliti politik Teluk dari Qatar University,
mengatakan kepada Aljazeera bahwa,”Pengiriman delegasi tingkat menteri
ini untuk menunjukkan pemerintah Qatar tidak pernah enggan untuk
melakukan dialog langsung.”
Pengamat lainnya, Jocelyn Sage
Mitchell, yang merupakan profesor di Northwester University di Qatar
meyakini partisipasi negara ini di pertemuan puncak GCC memberikan
posisi lebih tinggi dalam konteks krisis diplomatik yang sedang terjadi.
“Baik Arab Saudi dan Qatar sama-sama memperoleh manfaat dari terus berpartisipasi di organisasi ini,” kata dia kepada Aljazeera.
Pemerintah AS telah menekan pemerintah Saudi agar mau berdamai dengan Qatar dan membangun persatuan antara sesama negara Teluk. AS berharap GCC bisa mengimbangi aktivitas Iran di Timur Tengah.
Jakarta, CB -- Komandan Armada Ke-5
Angkatan Laut Amerika Serikat, Laksamana Madya Scott Stearney ditemukan
meninggal di tempat tinggalnya di Bahrain. Meski hingga saat ini belum
disebut penyebab dia meninggal, menurut sumber dia diduga bunuh diri.
Seperti dilansir The Guardian,
Senin (3/12), jasad Stearney ditemukan pada Sabtu (1/2) pekan lalu di
kediamannya. Angkatan Laut AS menyatakan mereka kehilangan Stearney yang
dianggap salah satu perwira tinggi yang cakap.
"Kabar ini sangat
menyedihkan bagi keluarga mendiang, seluruh Armada Ke-5, dan Angkatan
Laut AS. Scott Stearney adalah perwira pejuang yang berprestasi,"
demikian pernyataan dari Kepala Staf Angkatan Laut AS, Laksamana John
Richardson.
Richardson menyatakan saat ini Badan Penyelidikan Kejahatan Angkatan
Laut AS dan Kementerian Dalam Negeri Bahrain menggelar investigasi
gabungan. Tim itu dipimpin oleh Wakil Komandan Armada Ke-5, Laksamana
Muda Paul Schlise. Meski demikian, mereka menyatakan sementara ini belum
menemukan kejanggalan.
"Sampai saat ini kami belum mencurigai apapun," kata Richardson.
Stearney
masuk dalam pendidikan Angkatan Laut AS sebagai sarjana ekonomi dari
Universitas Notre Dame. Beberapa tahun kemudian dia meraih gelar S-2
daro Universitas Pertahanan Nasional.
Dalam masa dinas, Stearney
sempat bergabung dengan skadron tempur Angkatan Laut AS menerbangkan jet
FA-18 Hornet di Kabul, Afghanistan. Kemudian dia menjadi kepala staf
gabungan Satgas Terpadu 435, yang berubah menjadi Satgas Terpadu
Antarlembaga 435.
Selain itu, Stearney juga sempat menjadi pelatih dan perwira di Sekolah
Persenjataan dan Tempur Angkatan Laut, dan sempat mencicipi jabatan
Direktur Operasi di Komando Pusat AS.
Pada Mei lalu, Stearney
dilantik menjadi Komandan Komando Pusat Angkatan Laut AS. Gugus tugasnya
mencakup Armada Ke-5 dan Pasukan Laut Gabungan dengan wilayah di Timur
Tengah.
Jakarta, CB -- Pengadilan banding Bahrain mengajukan hukuman seumur hidup kepala gerakan oposisi Syiah pada Minggu (4/11). Hukuman diberikan atas tuduhan menjadi memata Qatar.
Syeikh
Ali Salman, pemimpin gerakan Al-Wefaq yang sekarang dilarang, telah
dibebaskan oleh pengadilan pidana tinggi pada Juni lalu. Namun, masih
bisa dilakukan banding atas putusan tersebut.
Bahrain, bersama
dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, memutuskan semua hubungan dengan
Qatar pada 2017. Negara tersebut melarang warga mereka melakukan
perjalanan atau komunikasi karena hubungan Doha dengan Iran dan kelompok
Islam radikal.
Salman saat ini menjalani hukuman empat tahun dalam kasus terpisah yakni
"menghasut kebencian" di kerajaan itu, yang telah menyaksikan sebagian
besar protes Syiah terhadap monarki Sunni sejak 2011.
Pada
bulan November, Salman dan dua anggota Al-Wefaq lainnya dituduh bekerja
untuk intelijen Qatar dengan tujuan menggulingkan pemerintah Bahrain.
Raja
Hamad telah mengumumkan pemilihan parlemen pada 24 November di Bahrain.
Anggota partai oposisi yang dibubarkan, termasuk Al-Wefaq dan kelompok
Al-Waad sekuler.
Negara Teluk yang diperintah Sunni telah dilanda
gelombang kerusuhan sejak 2011, ketika pasukan keamanan menghancurkan
protes yang dipimpin Syiah menuntut monarki konstitusional dan seorang
perdana menteri terpilih.
Gerakan oposisi telah dilarang dan ratusan pembangkang telah
dipenjarakan. Bahrain tahun lalu meratifikasi amandemen konstitusi yang
memberikan pengadilan militer wewenang untuk mengadili warga sipil yang
dituduh melakukan terorisme.
Bahrain, sekutu penting Amerika
Serikat dan rumah bagi Armada Kelima AS, menuduh Syiah Iran memprovokasi
kerusuhan di kerajaan itu. Iran membantah tuduhan tersebut.
PBB
dan kelompok-kelompok hak asasi manusia termasuk Amnesty International
dan Human Rights Watch mengkritik monarki Bahrain atas perlakuannya
terhadap para pengunjuk rasa.
RIYADH
- Arab Saudi mengatakan bahwa negara itu dan Bahrain telah memasukkan
Korps Garda Revolusi Iran ke dalam daftar kelompok terorisme. Kedua
negara itu juga telah memasukkan perwira senior dari Pasukan Quds ke
daftar orang-orang dan organisasi yang dicurigai terlibat dalam
terorisme.
Kantor berita negara Saudi, SPA, mengutip pernyataan
dari dinas keamanan negara kerajaan itu yang mengatakan Qassem
Soleimani, komandan Pasukan Quds, dan Hamed Abdollahi dan Abdul Reza
Shahlai telah dimasukkan dalam daftar terorisme seperti disitir dari Reuters, Rabu (24/10/2018).
Untuk diketahui, Pasukan Quds adalah cabang Garda Revolusi yang beroperasi di luar negeri.
Departemen
Keuangan Amerika Serikat (AS) pada tahun 2011 menduga keras Soleimani,
Abdollahi dan Shahlai terkait dengan rencana untuk membunuh mantan Duta
Besar Arab Saudi untuk AS, Adel al-Jubeir, dan menjatuhkan sanksi kepada
mereka.
Iran pada saat itu menepis tuduhan tersebut sebagai tuduhan palsu dan menuntut permintaan maaf dari Washington.
Kantor Garda Revolusi dan Kementerian Luar Negeri Iran tidak segera bersedia untuk dimintai komentar.
Di
Washington, Departemen Keuangan AS menargetkan pemberontak Taliban
Afghanistan dengan sanksi terhadap delapan orang yang ditetapkan sebagai
teroris global, termasuk dua orang yang terkait dengan Pasukan Quds
bernama Mohammad Ebrahim Owhadi dan Esma'il Razavi.
Sanksi yang
terkait dengan Taliban juga dikenakan oleh tujuh anggota Pusat Pendanaan
Pembiayaan Terorisme (TFTC), prakarsa Teluk-AS untuk membendung
keuangan kepada kelompok-kelompok militan.
Pusat ini didirikan
pada Mei 2017 selama perjalanan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi.
Arab Saudi dan AS bersama-sama memimpin kelompok dan Bahrain, Kuwait,
Oman, Qatar serta Uni Emirat Arab menjadi anggotanya.
Pemerintah
Trump bertujuan untuk menciptakan aliansi keamanan dan politik dengan
negara-negara Teluk Arab untuk melawan pengaruh Iran di wilayah
tersebut, terutama di Suriah dan Irak.
Trump
pada Mei menarik AS dari kesepakatan nuklir dengan Iran yang mencabut
sebagian besar sanksi internasional terhadap Teheran sebagai imbalan
atas pembatasan program nuklirnya.
Trump mengatakan, kesepakatan
itu tidak membahas program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya di
luar 2025 atau perannya dalam konflik regional.
Arab Saudi
menyambut keputusan Trump dan mengatakan akan bekerja dengan AS untuk
mengatasi dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok militan di wilayah
tersebut dan program rudal balistiknya yang dijalankan oleh Garda
Revolusi.
Dubai CB - Kementerian Dalam Negeri Bahrain, Selasa,
menyatakan pihaknya akan berhenti mengeluarkan visa baru bagi para warga
negara Qatar.
Langkah itu merupakan peningkatan tindakan terhadap Qatar di tengah
perselisihan diplomatik yang sudah berlangsung lebih dari setahun.
Pernyataan Kementerian Dalam Negeri Bahrain, yang dikutip dari Reuters,
menyebutkan bahwa mahasiswa-mahasiswa Qatar yang sedang menempuh
pendidikan di Bahrain dan para warga negara Qatar lainnya yang sudah
mendapatkan visa tidak akan terkena dampak dari kebijakan baru tersebut.
Kementerian itu juga mengatakan langkah tersebut diambil sebagai
tanggapan terhadap "tindakan bermusuhan" yang ditunjukkan pihak
berwenang Qatar. Kementerian tidak menjelaskan lebih lanjut soal
pernyataannya itu.
Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir pada Juni 2017 memutuskan
hubungan diplomatik, transportasi dan perdagangan dengan Qatar.
Arab Saudi dan sekutunya itu menuduh Qatar mendanai terorisme. Doha
membantah tudingan tersebut dan mengatakan boikot yang dilancarkan
negara-negara itu merupakan upaya untuk mengekang dukungannya bagi
reformasi.
Pada Oktober 2017, Bahrain mengatakan akan mengharuskan warga negara
Qatar untuk memiliki visa sebagai langkah pengamanan jika ingin masuk ke
negaranya.
Sementara itu, para warga enam negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk
(GCC) diperbolehkan untuk melakukan perjalanan di negara-negara GCC
hanya dengan membawa kartu tanda penduduk.
MANAMA
- Bahrain menuturkan, pihaknya belum melihat adanya sinyal dari Qatar
untuk menyelesaikan masalah dengan negara Teluk. Qatar dan negara Teluk
sudah terlibat ketegangan selama kurang lebih setahun terakhir.
"Informasi
di tangan kami hari ini tidak menunjukkan secercah harapan untuk adanya
sebuah solusi, karena masalah ini tidak terjadi tiba-tiba," kata
Menteri Luar Negeri Bahrain, Sheikh Khalid bin Ahmed al-Khalifa.
Sheikh
Khalid kemudian mengatakan, Qatar memperpanjang krisis dengan membawa
masalah kepada negara-negara Barat dan bukannya melakukan komunikasi
dengan negara Teluk untuk menyelesaikan masalah yang ada.
"Kami
mengharapkan dari awal krisis dengan Qatar bahwa Emir Qatar akan pergi
ke Arab Saudi, tetapi ini tidak terjadi," sambungnya, seperti dilansir
Reuters pada Minggu (27/5).
Para pejabat Saudi dan Uni Emirat
Arab (UAE) mengatakan bahwa Doha belum memenuhi 13 tuntutan yang dibuat
oleh empat negara Teluk, termasuk menutup stasiun televisi Al Jazeera
yang didanai negara dan mengurangi hubungan dengan Iran.
Menteri
Negara Urusan Luar Negeri UEA, Anwar Gargash mengatakan pekan lalu di
Twitter bahwa Qatar tidak menangani secara bijaksana tuntutan tersebut.
"Mungkin boikot yang hampir berlangsung selama satu tahun akan
menghasilkan pemikiran baru dan pendekatan yang lebih bijaksana dari
Doha," ucapnya.
WASHINGTON
- Pemerintah Amerika Serikat (AS) setuju 3.200 bom senilai sekitar
USD45 juta (sekitar Rp637 miliar), termasuk bunker buster, Bahrain.
Monarki di Teluk Persia itu menjadi rumah bagi Armada ke-5 AS dan telah
terlibat dalam pemboman koalisi Arab di Yaman.
Badan Kerja Sama
Keamanan Pertahanan AS mengumumkan penjualan puluhan ribu bom di situs
resminya pada 18 Mei 2018. Senjata yang dijual ke Bahrain terdiri dari
1.500 bom Mark-82; 600 bom Mark-83; 600 bom Mark-84; dan 500 BLU-109.
Bom
BLU-109 dijuluki sebagai bunker buster, yakni bom yang dilengkapi hulu
ledak khusus yang dirancang untuk menembus target yang mengeras seperti
bunker.
Bom-bom yang dijual itu ditujukan untuk jet tempur F-16 buatan AS yang dioperasikan Bahrain.
"Bahrain
akan menggunakan amunisi ini sebagai penghalang untuk ancaman regional,
memperkuat pertahanan negerinya, dan melaksanakan operasi
kontra-terorisme," kata Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS dalam pernyataan pers-nya.
"Serta beroperasi dengan operasi koalisi yang dipimpin dan didukung AS," lanjut pernyataan tersebut.
Belum
jelas, pasokan bom AS itu akan digunakan Bahrain untuk melawan siapa.
Bahrain adalah bagian dari koalisi pimpinan AS yang berperang melawan
kelompok Islamic State (IS, sebelumnya ISIS). Militer Bahrain
juga menjadi bagian dari koalisi Arab pimpinan Arab Saudi yang
membombardir Yaman sejak 2015 untuk memerangi kelompok Houthi.
AS
selama tidak melacak apakah persenjataan yang disuplai ke Saudi dan
sekutu Arab-nya digunakan di Yaman dan kerap menyasar warga sipil. Hal
ini membuat Washington dikecam para aktivitas HAM AS.
Pada bulan
Maret lalu, AS mengumumkan akan menjual senjata senilai USD1 miliar ke
Arab Saudi, termasuk rudal anti-tank senilai USD670 juta, setelah ketua
Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Bob Corker, mencabut moratorium
penjualan senjata ke negara-negara Dewan Kerjasama Teluk selama delapan
bulan terakhir.
Kehadiran dua negara Teluk dalam balap sepeda melanggar boikot terhadap Israel.
CB,
RAMALLAH -- Otoritas Palestina mengecam Bahrain dan Uni Emirat Arab
(UEA) karena telah ikut serta dalam pembukaan balap sepeda Giro d'Italia
di Israel akhir pekan ini. Kehadiran tim dari dua negara Teluk dalam
acara balap sepeda bergengsi itu melanggar boikot terhadap Israel yang
telah diberlakukan sejak dimulainya konflik Arab-Israel pada 1948.
Israel menjadi tuan rumah dari tiga tahap pembukaan acara Giro
d'Italia tahun ini, sebelum kemudian pindah ke negara tuan rumah
utamanya di Italia. Dalam sebuah pernyataan yang ditujukan kepada
negara-negara Arab lainnya, Komite Olimpiade Palestina mengatakan
partisipasi Bahrain dan UEA bagaikan 'menusuk dari belakang' terhadap
pengorbanan besar yang dilakukan oleh rakyat Palestina.
Dilansir di The Independent,
tak satu pun dari delapan atlet sepeda di tim Bahrain Merida dan UAE
Team Emirates, yang berkewarganegaraan Bahrain atau UEA. Namun para
atlet akan tetap mengenakan kaus yang dihiasi dengan bendera nasional
dan sponsor-sponsor milik negara, seperti Emirates Airlines dan Bahrain
Petroleum Company. Belum ada tim yang menanggapi permintaan komentar
yang dikirim melalui email terkait keikutsertaan mereka.
Malak
Hassan, pendiri klub Cycling Palestine, mengutuk langkah itu dan
mengatakan pos-pos pemeriksaan Israel telah melarang dia dan sesama
penggemar sepeda untuk bepergian dengan bebas. "Kami terkejut, Israel
mencoba untuk memoles citranya dengan menyelenggarakan perlombaan ini,"
kata Hassan.
"UEA dan Bahrain tahu banyak tentang tujuan
kami dan kami tidak perlu menjelaskan kepada mereka mengapa mereka tidak
seharusnya ikut serta," ujarnya.
Atlet individu
Israel secara berkala telah berpartisipasi dalam acara-acara olah raga
di negara-negara Teluk Arab, seperti Qatar Open pada Januari lalu.
Namun, partisipasi dalam bentuk tim yang menampilkan bendera Israel
sangat jarang terjadi.
"Ini adalah sebuah kesalahan.
Normalisasi dengan entitas pendudukan tidak boleh dilakukan, tak peduli
apapun bentuknya," kata Abdullah al-Shayji, profesor di Universitas
Kuwait, yang menanggapi keikutsertaan tim-tim negara Teluk di Israel.
Keikutsertaan
tim-tim Teluk dalam perlombaan itu mungkin menandakan hubungan yang
mencair di antara negara-negara sekutu AS. Mereka sama-sama memusuhi
Iran, tetapi juga memicu tuduhan bahwa mereka telah meninggalkan
Palestina.
Bersama dengan sebagian besar negara Arab dan
negara Muslim lainnya, kedua negara Teluk itu tidak mengakui Israel
karena solidaritas terhadap Palestina. Arab Saudi, sekutu utama Bahrain
dan UEA, juga telah bekerja sama erat dengan AS terkait rencana
perdamaian Timur Tengah.
Pada November lalu, seorang
anggota kabinet Israel membeberkan kontak-kontak rahasia dengan Riyadh.
Pengakuan dari transaksi rahasia ini masih disangkal oleh kerajaan.
Putra
Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengatakan dalam sebuah
wawancara yang dipublikasikan bulan lalu, penduduk Israel berhak untuk
hidup damai di tanah mereka sendiri. Pengakuan tentang hak Israel
semacam itu sangat jarang dikemukakan oleh seorang pemimpin senior Arab.
WASHINGTON
- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan
banyak senjata, termasuk 12 helikopter tempur dan lusinan rudal kepada
Bahrain. Nilai penjualan senjata ini mencapai USD911,4 juta atau lebih
dari Rp12,6 triliun.
Badan Kerja Sama Pertahanan AS (DSCA) dalam
situsnya merinci berbagai senjata yang hendak dijual ke Bahrain. Di
antaranya, 12 helikopter tempur AH-1Z, 26 mesin, lusinan misil dan roket
dari berbagai jenis dan berbagai navigasi, misil planning, serta sistem komunikasi dan peperangan elektronik.
"Penjualan
yang diusulkan ini akan berkontribusi pada kebijakan luar negeri dan
keamanan nasional Amerika Serikat dengan membantu meningkatkan keamanan
sekutu utama non-NATO yang merupakan mitra keamanan penting di kawasan
itu," bunyi pernyataan DSCA, seperti dikutip Arabian Business, Senin (30/4/2018).
"Hubungan kami dan Angkatan Udara Kerajaan Bahrain memainkan peran penting dalam pertahanan Bahrain," lanjut DCSA.
Kesepakatan
tersebut juga mencakup pelatihan personel dan peralatan, dukungan
pemerintah dan kontraktor AS, serta layanan teknis dan logistik.
DSCA
dan Departemen Luar Negeri sekarang telah menyampaikan pemberitahuan
yang diperlukan kepada Kongres AS untuk diinformasikan kepada para
anggotanya tentang rencana penjualan senjata tersebut.
Pada bulan
September lalu, Departemen Luar Negeri AS telah menyetujui penjualan 19
pesawat tempur F-16V ke Bahrain dalam sebuah kesepakatan senilai
USD2,78 miliar.
RIYADH
- Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah memerintahkan warganya yang
tinggal di Libanon untuk segera meninggalkan negara itu. Langkah yang
diambil di tengah ketegangan ini diikuti Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA)
dan Bahrain.
Riyadh juga mengeluarkan travel warning
(peringatan perjalanan), di mana warga Saudi diminta untuk tidak
melakukan perjalanan ke negara yang beribu kota di Beirut tersebut dari
tempat asal manapun. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan,
alasan keputusan pemerintah itu karena mempertimbangkan situasi di
negara tersebut.
”Kerajaan meminta agar semua warga tidak
melakukan perjalanan ke Libanon dari destinasi internasional manapun,”
bunyi pernyataan kementerian itu, yang dikutip dari Al Arabiya, Jumat (10/11/2017).
Pemerintah
Kuwait pada hari Kamis malam juga memerintahkan warganya yang tinggal
di Libanon untuk pulang. Kuwait juga menerbitkan travel warning agar
warganya tak bepergian ke negara itu.
Sedangkan UEA yang telah mengeluarkan travel warning serupa sejak Februari 2016 ikut memperbaruinya, mengikuti langkah yang diambil Saudi.
Sementara
itu, Kerajaan Bahrain sudah lebih dulu mengambil keputusan serupa,
yakni sejak 5 November 2017. Pemerintah negara itu meminta warganya yang
tinggal di Libanon untuk segera pergi dan “berhati-hati”.
“Demi
keamanan warga dan untuk menghindari risiko yang mungkin mereka hadapi
karena kondisi dan perkembangan yang akan dilalui Libanon,” bunyi
pernyataan Kementerian Luar Negeri Bahrain yang diterima AFP, menjelaskan alasan perintah pemerintah itu dikeluarkan.
Sebelumnya,
Menteri Urusan Teluk Arab Saudi, Thamer al-Sabhan, mengatakan bahwa
pemerintah Beirut telah menyatakan perang melawan Kerajaan Arab Saudi.
Pernyataan menteri tersebut merujuk pada tindakan Hizbullah Libanon yang
dia anggap sudah melakukan agresi terhadap Riyadh.
”Kami akan
memperlakukan pemerintah Libanon sebagai pemerintah yang menyatakan
perang terhadap Arab Saudi karena agresi Hizbullah,” katanya.
Mengutip laporan Al Arabiya, Raja Arab Saudi Salman bin
Abdulaziz al-Saud telah mengungkapkan bahwa Saad Hariri—Perdana Menteri
Libabon yang mengumumkan mengundurkan diri—merinci agresi Hizbullah
terhadap Riyadh. Kerajaan Saudi menekankan bahwa pemerintah Libanon
harus menyadari bahaya yang dipaksakan oleh milisi sekutu Iran tersebut.
Sabhan
melanjutkan, milisi Hizbullah terlibat dalam tindakan “teroris” yang
mengancam Kerajaan. Dia menegaskan bahwa Arab Saudi akan menggunakan
semua cara politik dan lainnya untuk menghadapi faksi yang dia sebut
sebagai “Partai Setan” itu.
”Kami mengharapkan pemerintah Libanon bertindak untuk mencegah Hizbullah,” katanya.
Sabhan juga menuduh Hizbullah menyelundupkan narkoba ke Arab Saudi dan melatih pemuda Saudi dalam tindakan terorisme.
Menteri
tersebut mengatakan bahwa Hariri dan pemerintah Libanon tidak akan
menerima posisi milisi Hizbullah. ”Libanon diculik oleh milisi Hizbullah
dan di belakangnya adalah Iran,” katanya.
Saudi, UEA, Kuwait Minta Warganya Tinggalkan Lebanon
Rep: Marniati/
Red: Ani Nursalikah
SPA
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud
menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri di
Riyadh pada Senin (6/11).
CB, RIYADH -- Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan
Kuwait telah menyarankan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke
Lebanon dan mendesak orang-orang yang berada di negara tersebut untuk
pergi sesegera mungkin.
"Karena situasi di Republik Lebanon, sumber resmi di Kementerian
Luar Negeri menyatakan bahwa warga negara Saudi yang berkunjung atau
tinggal di Lebanon diminta untuk meninggalkan negara sesegera mungkin,"
ujar sumber Kementerian Luar Negeri Saudi seperti dilansir Aljazirah, Jumat (10/11).
Kerajaan menasihati semua warga agar tidak melakukan perjalanan ke
Lebanon dari destinasi internasional lainnya. Hanya beberapa jam
kemudian, Kuwait dan UEA juga mendesak warga negaranya untuk segera
meninggalkan Lebanon.
Bahrain - sekutu Arab Saudi - telah memerintahkan warganya
meninggalkan Lebanon pada Ahad. Kementerian luar negeri Bahrain
mengeluarkan sebuah travel advisory yang menyebutkan "alasan keamanan".
Lebanon sedang berada dalam kekacauan setelah pengunduran diri
tiba-tiba Perdana Menteri Saad al-Hariri saat berkunjung ke Arab Saudi
pada Sabtu. Keberadaannya sejak saat itu belum diketahui. Namun, pejabat
mengatakan Hariri mungkin berada di bawah tahanan rumah atau untuk
sementara ditahan di ibu kota Saudi, Riyadh.
Partai Lebanon's Future Movement, yang diketuai oleh Hariri,
menuntut Hariri segera kembali dari Arab Saudi pascapengunduran dirinya.
"Kembalinya perdana menteri Lebanon, pemimpin nasional, Saad
al-Hariri, dan kepala Lebanon's Future Movement, diperlukan untuk
memulihkan martabat dan penghormatan Lebanon di dalam dan luar negeri,"
kata seorang mantan perdana menteri, Fouad Siniora , dalam sebuah
pernyataan di TV.
Presiden Lebanon, Michel Aoun, akan segera meminta bantuan dari
masyarakat internasional, Liga Arab, Amerika Serikat, Inggris, Cina dan
Rusia untuk membantu mengungkap alasan di balik pengunduran diri Hariri.
Kantor berita Reuters melaporkan pada Kamis, mengutip seorang pejabat senior Lebanon, bahwa pemerintah Lebanon belum menerima
surat pengunduran diri Hariri secara resmi, dan karena itu masih
menganggapnya sebagai perdana menteri. Pejabat tersebut menambahkan
pembatasan yang diberlakukan oleh Arab Saudi dinilai sebagai serangan
terhadap para pemimpin Lebanon.
Riyadh telah membantah perdana menteri berada di bawah tahanan rumah.
Dalam pengunduran dirinya pada 4 November, Hariri secara implisit
menyalahkan Iran dan sekutunya Lebanon, Hizbullah, atas keputusannya.
Dalam sambutannya, dia mengatakan ada ancaman terkait keselamatannya.
Ayahnya, Rafik Hariri - yang juga menjabat sebagai perdana menteri -
tewas dalam serangan bom pada 2005. Banyak pendukung Hariri menyalahkan
Hizbullah atas insiden tersebut. Namun Hizbullah membantah
terlibat.Dalam pidatonya dari Riyadh, Saad al-Hariri mengatakan Iran
menanam kekacauan dan perusakan di negara tersebut dan ikut campur dalam
masalah internal Lebanon dan juga negara-negara Arab lainnya.
"Mereka telah membangun sebuah negara di dalam sebuah negara," kata Hariri dari Riyadh.
Langkahnya yang tak terduga juga memicu kekhawatiran akan adanya
eskalasi di wilayah antara Iran dan negara-negara Teluk, terutama Arab
Saudi, dengan Lebanon di garis depan.
Menteri perminyakan Saudi, Thamer al-Sabhanmengatakan Hizbullah
terlibat dalam setiap tindakan teroris yang mengancam Arab Saudi.
Hariri, seorang politikus Sunni terkemuka, telah menjabat kurang dari
satu tahun, namun sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri antara
tahun 2009 dan 2011.
CB, MANAMA -- Bahrain mengatakan pada Selasa
(31/10) akan memberlakukan visa masuk pada warga negara Qatar dalam apa
yang disebutnya sebagai tindakan pengamanan.
Bahrain, Arab Saudi,
Uni Emirat Arab dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik, transportasi
dan perdagangan dengan Qatar pada Juni, dengan menuduhnya membiayai
terorisme. Doha membantah tuduhan itu dan mengatakan boikot tersebut
merupakan upaya untuk mengendalikan dukungannya terhadap reformasi.
"Langkah-langkah
baru ini bertujuan untuk mencegah gangguan keamanan dan stabilitas
kerajaan Bahrain terutama sehubungan dengan dampak terbaru dari krisis
tersebut dengan Qatar," kata sebuah pernyataan dari kantor berita resmi
Bahrain BNA.
Warga negara dari enam negara anggota Dewan
Kerja Sama Teluk (GCC) seharusnya dapat melakukan perjalanan di antara
negara-negara GCC dengan hanya membawa kartu identitas. Persyaratan visa
Bahrain akan berlaku mulai 10 November.
Duta Besar Ali Khalfan
Al Mansouri, Perwakilan Tetap Qatar untuk Kantor Perserikatan Bangsa
Bangsa di Jenewa, mengatakan visa tersebut merupakan pelanggaran
mencolok terhadap kesepakatan dan resolusi GCC. "Langkah-langkah ini
benar-benar bertentangan dengan pernyataan pejabat negara-negara
pengepungan untuk tidak menyakiti warga Qatar saat mengambil keputusan
dalam konteks krisis ini," kata Mansouri kepada kantor berita Qatar.
Bahrain
percaya Qatar mengobarkan kerusuhan di kerajaan pulau itu dengan
mendukung demonstrasi dan bahkan penembakan sporadis dan serangan bom
terhadap pasukan keamanan. Menteri Luar Negeri Bahrain mengatakan pada
Ahad negaranya tidak akan menghadiri pertemuan puncak GCC pada Desember
jika Qatar tidak mengubah kebijakannya, dan bahwa seharusnya keanggotaan
GCC Qatar ditangguhkan.
CB, MANAMA -- Penuntut umum Bahrain mendakwa dua
pemimpin partai oposisi utama yang dilarang di negara itu karena
melakukan kegiatan mata-mata bagi Qatar pada Rabu (1/11), beberapa bulan
setelah memutus hubungan dengan kerajaan Teluk yang bertetangga itu di
tengah-tengah pertikaian diplomatik regional.
Sekretaris Jenderal
partai al-Wafaq, Sheikh Ali Salman dan Sheikh Hassan Sultan dituduh
berkolusi dengan Qatar melakukan aksi-aksi permusuhan di Bahrain dan
merusak kepentingan nasional dan prestisenya, demikian pernyataan yang
disiarkan kantor berita BNA.
Kedua pria tersebut bertemu
para pejabat Qatar dan juga agen-agen di dalam milisi Hizbullah yang
berhaluan Syiah dari Lebanon. Mereka dituduh mengirim informasi rahasia
dan menerima dukungan finansial dari Qatar.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari al-Wafaq. Penuntut memerintahkan kedua orang itu ditahan.
Salman
sudah menjalani hukuman empat tahun penjara karena menyulut kebencian
dan menghina Kementerian Dalam Negeri, setelah ia ditangkap pada 2015.
Ia dipanggil dan diinterogasi tentang tuduhan-tuduhan baru dengan
didampingi pengacaranya, kata pernyataan tersebut.
Pernyataan itu
tidak menyebutkan apakah Sultan ditahan. Bahrain, Arab Saudi, Uni
Emirat Arab dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik, transportasi dan
perdagangan dengan Qatar pada Juni, dengan menuduhnya membiayai
terorisme.
Bahrain dan sekutu dekatnya Arab Saudi yakin Qatar
mendukung huru-hara di kerajaan pulau itu dengan sokongan protes-protes
dan serangan-serangan sporadis terhadap pasukan keamanan, didukung oleh
Iran sebagai musuh bebuyutan.
Kedua negara membantah
tuduhan-tuduhan dan mengatakan boikot itu sebagai usaha mengekang
dukungan bagi reformasi di Bahrain. Kerajaan yang diperintah raja
beraliran Sunni, tempat Armada Kelima AS berpangkalan, telah berada di
jurang sejak protes-protes "Musim Semi Arab" tahun 2011 dipimpin oleh
mayoritas Syiah dipadamkan oleh pemerintah dengan bantuan negara-negara
Teluk Arab.
Pemerintah melarang al-Wafaq dan mencabut
kewarganegaraan ulama Syiah yang tersohor di negara itu sebagai bagian
penumpasan oposisi. Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Bahrain
membungkam mereka yang beroposisi dan menumpas protes-protes dengan
bengis. Tuduhan-tuduhan itu ditolak pemerintah.
Peta sejumlah negara kawasan Jazirah Arab. (Repro: World Atlas)
Kairo (CB) - Bahrain tidak akan menghadiri KTT Dewan Kerja
Sama Teluk (GCC) jika Qatar tidak mengubah pendiriannya dan menyatakan
langkah yang tepat dilakukan GCC adalah membekukan keanggotaan Qatar,
kata Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa via Twitter
seperti dikutip Reuters.
Dalam akun Twitternya, Khalid bin Ahmed
Al Khalifa juga berkata, "Jika Qatar menganggap saatnya memainkan waktu
sampai KTT GCC mendatang, maka mereka keliru. Jika situasi tetap tak
berubah maka kami tidak akan menghadiri KTT."
Dia menambahkan
"langkah yang tepat untuk melindungi GCC adalah membekukan keanggotaan
Qatar di dewan ini. Jika tidak kita baik-baik saja dengan keluarnya
mereka dari dewan ini."
Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Mesir telah memutuskan hubungan diplomatik, transportasi dan perdagangan dengan Qatar.
Negara produsen utama gas alam cari ini dituduh oleh Saudi cs telah mendanai terorisme. Qatar membantah tudingan ini.
CB, MANAMA -- Bahrain menyatakan tidak akan
menghadiri KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), jika Qatar tak mengubah
pendiriannya. Bahrain juga meminta GCC agar segera membekukan
keanggotaan Qatar.
"Jika Qatar berpikir saat ini mereka hanya bermain
dengan waktu dan menghindar sampai KTT GCC yang akan datang, maka itu
salah. Jika situasinya tetap seperti ini, kami tidak akan menghadiri
pertemuan puncak tersebut," ujar Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin
Ahmed Al Khalifa, di akun Twitter pribadinya, Ahad (29/10).
"Langkah yang tepat untuk melestarikan GCC adalah dengan
membekukan keanggotaan Qatar di dewan tersebut. Jika tidak, kami setuju
Qatar keluar dari dewan," tambah dia.
Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir
telah memutuskan hubungan diplomatik, transportasi, dan perdagangan
dengan Qatar. Mereka menuduh Qatar telah membiayai terorisme, yang tentu
saja telah dibantah oleh Doha. Qatar juga dianggap menjalin hubungan
dengan Iran.
MANAMA
- Pemerintah Bahrain menyatakan, mereka memiliki rencana untuk membeli
sistem pertahanan udara S-400 buatan Rusia. Manama menuturkan, negosiasi
mengenai pembelian sistem pertahanan udara itu saat ini sudah
berlangsung.
"Kami saat ini dalam tahap negosiasi, tapi dengan
bantuan Tuhan kami akan menyelesaikan proses ini," kata Komandan Garda
Kerajaan Bahrain, Nasser bin Hamad Al Khalifa, seperti dilansir Sputnik
pada Senin (16/10).
"Bahrain dan Rusia telah menjalin kerja sama
yang luas di sektor militer. Pertemuan sudah dilakukan, dan negosiasi
sedang berlangsung, hubungan juga telah terjalin antara pemimpin dua
negara. Kami ingin memperkuat hubungan kita, dan meningkatkan jumlah
senjata Rusia di militer Bahrain," sambungnya.
Pernyataan
tersebut muncul tidak lama setelah Rusia dan Arab Saudi telah
menyepakati pembelian S-400. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov
mengatakan pada tanggal 9 Oktober bahwa kesepakatan untuk memasok Arab
Saudi dengan S-400 SAM memiliki prospek bagus.
Sementara itu,
Vladimir Kozhin, pembantu presiden Rusia yang bertugas dengan kerja sama
teknis militer, mengatakan bahwa kesepakatan S-400 dengan Saudi akan
berlangsung dalam waktu dekat, dan menambahkan bahwa negosiasi terus
berjalan.
Selain Saudi, negara lain di kawasan Timur Tengah yang
turut membeli S-400 buatan Rusia adalan Turki. Ankara diketahui telah
menyelesaikan pembyaran, dan akan menerima sistem pertahanan udara itu
paling cepat dua tahun mendatang.
Foto Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al-Khalifa (Foto: Reuters)
MANAMA – Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al-Khalifa,
dilaporkan mengeluarkan dekret baru terkait perombakan Badan Keamanan
Nasionalnya. Salah satu perintah perombakan itu adalah mengangkat Letnan
Jenderal Adel bin Khalifa Al-Fadhel sebagai pimpinan barunya.
Sebagaimana dikutip dari Reuters, Rabu (13/9/2017) Badan
Keamanan Nasional di Bahrain merupakan bagian usaha kerajaan tersebut
untuk menekan demonstrasi dalam negeri serta kekerasan yang dipicu oleh
warga Syiah di sana. Lembaga ini memiliki hubungan dengan Kementerian
Dalam Negeri Bahrain.
Pada dekrit itu, Raja Hamad juga menunjuk Sheikh Talal bin Mohammed
bin Khalifa Al-Khalifa sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri Bahrain.
Terkait Badan Keamanan Nasional di Bahrain, ada tiga kelompok Ham
yang menuding pihak kerajaan menggunakan siksaan sistematis pada
Agustus 2017. Otoritas keamanan Bahrain pun mengklaim akan menyelidiki
tuduhan tersebut.
Reuters mewartakan pada 2011, Bahrain menekan pemberontakan yang
dilakukan oleh para aktivis pro-demokrasi dengan mayoritasnya merupakan
warga Syiah. Pihak Kerajaan Bahrain menduga usaha itu didorong oposisi
yang ingin menggulingkan kerajaan secara paksa serta menuding Iran
berada di belakang pemberontakan tersebut.
Bahrain yang mayoritasnya merupakan warga Syiah juga kerap
dituding melakukan tindakan tidak adil. Pasalnya pihak oposisi mengklaim
Kerajaan Bahrain melakukan marginalisasi terhadap warga Syiah di sana
secara ekonomi dan politik.