JAKARTA, CB - Di awal era 1980-an
Pemerintahan Presiden Soeharto menerapkan program Perkebunan Inti Rakyat
(PIR) untuk percepatan peningkatan kesejahteraan petani atau masyarakat
di daerah.
Program tersebut mengharuskan masyarakat untuk melakukan imigrasi
dari pulau satu ke pulau lainnya untuk mengembangkan komoditas, salah
satunya kelapa sawit.
Disadari, mengadu nasib menjadi transmigran ke luar pulau tak cukup dengan modal nekat saja.
Melakukan transmigrasi memerlukan perhitungan yang matang, keberanian, keuletan, kegigihan, dan kesabaran.
Tidak semua transmigran memilikinya. Namun Rachmat Samekto, bapak
tiga orang anak ini, telah berhasil mengubah nasibnya dari pekerja
bengkel miskin di Yogyakarta menjadi petani sejahtera di Riau.
Kompas.com mewawancarai secuil perjalanan hidupnya saat menjadi transmigran hingga kini.
Berikut adalah petikan wawancara
Kompas.com saat menyambangi kediamannya di Desa Genduang Kecamatan Pangkalan Lesung, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Bagaimana ceritanya bapak dan keluarga bisa sampai di Pelalawan, Riau?
Jadi waktu saya di Yogyakarta, ada sosialiasi program dari Presiden Soeharto terkait Perkebunan Inti Rakyat transmigrasi.
Waktu itu saya belum mengerti program apa itu, yang ada di pikiran
saya adalah saya dan keluarga akan dibuang atau ditelantarkan.
Hampir dua tahun saya berunding dengan istri, saya memiliki keyakinan
kalau saya dan keluarga berangkat, kehidupan kita bisa jadi lebih baik.
Setelah saya pahami, ternyata para transmigran nantinya akan
mengelola lahan sawit sebanyak 2 hektar (ha) milik pemerintah yang
dikelola Koperasi Unit Desa (KUD).
Lantas, apa yang membuat bapak dan keluarga memutuskan untuk berangkat ke Riau?
Saya bercita-cita anak saya bisa sekolah tinggi, kalau bertahan di Jawa mungkin hanya cukup untuk makan saja waktu itu.
Maka dari itu, tahun 1988 kami sekeluarga memutuskan untuk berangkat.
Dari Yogyakarta ada sekitar 517 orang dari 88 kepala keluarga yang
ikut, dan itu juga tidak berbarengan semua, karena penempatannya juga
beda-beda.
Kami naik kapal perang dari titik kumpul di Pelabuhan Merak untuk
menuju ke Pelabuhan Dumai, lamanya sekitar satu minggu kita di kapal,
lalu setelah sampai Dumai kami didistribusikan Dinas Transmigrasi ke
beberapa pondokan yang tersebar di beberapa wilayah.
Di desa inilah kami memulai kehidupan baru. Anak saya waktu itu baru ada dua dengan usia yang masih balita.
Dipondokan, kita diberikan penyuluhan untuk mengelola setengah hektar
tanah untuk tempat tinggal dan 2 Ha untuk garapan lahan sawit.
Selama tiga tahun kami dibina oleh KUD dan PT Sari Lembah Subur (anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk).
Selama masa penyuluhan apa yang bapak dapatkan untuk menghidupi keluarga?
Dari tahun 1988 sampai tahun 1991, tiga tahun masa penyuluhan, saya
menerima gaji dari pemerintah sebesar Rp 48.000 per kepala keluarga yang
diberikan KUD.
Kita juga dikasih beras dan ikan asin, selama tiga tahun itu juga
kita bekerja dan melakukan apa yang kita bisa lakukan terkait program
pemerintah.
Pada tahun keempat, setelah kondisi kebun dinyatakan SLS dan KUD
layak dan bisa digarap oleh transmigran, barulah yang dua hektar itu
digarap petani yang hasilnya dijual petani transmigran ke KUD kemudian
KUD menjualnya ke SLS.
Sistem perjanjian bagi hasilnya seperti apa?
Jadi kita itu masing-masing kepala keluarga ada plafon kreditnya
sebesar Rp 9.025.000 untuk menggarap lahan seluas 2 Ha yang harus
dilunasi selama 15 tahun ke PT Bank Negara Indonesia (Persero) yang
disalurkan melalui KUD.
Kita mulai penghitungan cicilan tahun 1991, dalam perjanjian tertulis
dari 100 persen hasil sawit, 30 persen dibayarkan petani ke pemerintah
untuk mencicil kredit dan 70 persen dikembalikan pada petani.
Pada tahun ke empat tepatnya tahun 1992, pemerintah melakukan
konversi penyerahan lahan dua hektar kebun sawit kepada masing-masing
petani transmigran, sehingga para petani secara penuh bisa mengelola
kebunnya sendiri.
Dan seiring berjalannya waktu ternyata kita bisa melunasinya hanya
dalam waktu enam tahun dan lahan dua hektar itu menjadi milik kita.
Iwan Supriyatna Rachmat Samekto, salah satu transmigran sawit era Soeharto
Pernah mencicip masa jaya setelah bisa mengelola sawit sendiri?
Penghasilan sawit tertinggi waktu krisis moneter tahun 1998.
Saat itu dollar kan naik sehingga harga sawit juga ikut naik,
transmigran sawit pada saat itu kalau belanja ke kota tidak pakai
dompet, tapi pakai kantong plastik atau dikantongi begitu saja uangnya.
Sebelum krisis paling kami bisa dapat keuntungan Rp 400.000 penjualan
sawit ke KUD, tapi waktu krisis kita bisa dapat Rp 10 juta.
Yang membuat kami sukses begini ya karena Pak Harto.
Sampai saat ini masih ada sekitar 60 persen transmigran yang bertahan
di Riau, ada untungnya juga transmigran pulang ke kampung halaman
saingan kita berkurang.
Kalau transmigran pulang ke kampung halamannya, lalu lahan yang ditinggalkan bagaimana?
Lahan yang ditinggalkan biasanya dijual ke petani-petani yang mau.
Makanya jangan heran kalau petani transmigran di sini ada yang punya lahan sampai 100 hektar.
Selain itu ada juga yang buka usaha sampingan seperti buka cuci steam mobil atau bertani sayuran.
Kalau saya sudah cukup dua hektar saja. Dari dua hektar yang saya
kelola juga sudah bisa menyekolahkan anak sampai ke jenjang kuliah
seperti cita-cita saya di awal, berangkat ke sini tujuannya supaya bisa
menyekolahkan anak sampai kuliah.
Anak saya yang pertama alumni Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan
antropologi, pernah bekerja di Astra Agro Lestari, dan pernah ke Jerman
juga.
Lalu ada juga yang alumni hukum di UGM, yang terakhir ambil pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian tahap akhir.
Saat menyekolahkan anak memang ada suka dukanya juga, karena pada
saat itu kalau teman sekolahnya tahu bahwa anak saya anak petani
transmigran. Itu pasti jadi bahan ejekan.
Tapi saya tetap menguatkan anak-anak supaya tetap fokus belajar, jangan seperti bapaknya yang hanya seorang petani.
Alhamdulillah sekarang anak-anak saya jadi sesuai apa yang saya harapkan, saya punya anak-anak yang sukses dan punya tiga cucu.
Punya pengalaman menarik lainnya pak?
Pernah, pengalaman lucu itu. Jadi waktu itu kami pernah diundang
Presiden Megawati untuk berkunjung ke Istana Kepresidenan, waktunya
kapan saya lupa.
Dari pagi saya dan teman-teman tidak makan, berharap bisa makan banyak nanti di Istana yang makanannya enak-enak.
Tapi begitu sampai di meja makan berhadapan dengan Presiden, saya dan teman-teman malah grogi.
Jangankan makan banyak, makan camilan pun rasanya susah masuk ke tenggorokan.
Kami bercerita pada Presiden, jadi pilihan kami untuk menjadi
transmigran dan mengelola lahan sawit di Riau bukan keputusan yang
salah.
Malah berkat itu kami bisa lebih sejahtera, bisa menghidupi keluarga
dan memberdayakan masyarakat-masyarakat sekitar untuk menggerakan
ekonomi daerah khususnya.